Seantara

[Terima kasih]

Hari ini Jeno lebih baik dari hari kemarin. Pancaran wajahnya benar-benar seperti orang yang sangat sehat. Ia sudah mulai meminta ini dan itu, mengomel, bahkan tertawa lepas. Seperti halnya hari ini, Jeno merengek pada dokter Tama agar ia bisa bertemu dengan Hadin, Naran, Juan, dan Isva serta Marven sekaligus. Awalnya dokter Tama menolak karena bocah itu benar masih dalam perawatan intensif, namun perkembangan yang baik membuat dokter Tama mengabulkan permintaan Jeno.

“What’s upp broo!!!” Suara Juan langsung menggema memenuhi ruang inap.

“Jangan ramai-ramai njir, ini bukan habitat lo ya.” Naran menyahuti suara Juan.

“HEH! NGATAIN HABITAT. LO KIRA GUE MONYED?” Juan tak terima. “ Syukur deh, paham.” Hadinata juga menjawab membuat Juan semakin ngambek.

“Sialan” ucap Juan yang membuat orang-orang di dalam ruangan itu terkekeh.

“Gimana, Jen? Ada yang masih sakit? Jahat bener kamu nggak ngebolehin Hadin masuk ruangan dari kemarin.” Hadinata bertanya dan menyalangkan protes. Jeno hanya tersenyum memperlihatkan eye smilenya menanggapi Hadin.

“Bokap gue baik gak sama lo? Bilang aja kalau dia aneh-aneh, emang agak freak orangnya.” Naran berucap.

“Ayah Naran? Dokter Tama? Wahhh enggak kok. Dokter Tama baik banget sama Jeno. Buktinya nih, Jeno udah baikan. Lagipun beliau yang udah kasih kalian izin masuk ke sini” Jeno tersenyum manis.

“Izin apanya? 15 menit doang anjer? Itu mah buat sepikap sepikap cuman dapet satu topik aja udah selesai” Dume Juan lagi.

“Lo mah gatau rasa berterima kasih mending diem aja, Nyet” Isva jengah dengan Juan.

“lima belas menit itu berharga lho, Ju. Jangan disia-siain.” Jeno menyahut.

“Oh iya! Jeno apa kabar? Buruan sembuh ya! Isvaa kangen nih bisa ngantin bareng” Isva berkata antusias dan lagi, Jeno hanya tersenyum.

“Cepat sembuh, Bro! Gue masih ada janji nih mau beliin lo seblak segrobaknya.” Juan tersenyum hangat kepada Jeno dan Jeno hanya mengangguk.

“Sorry kita datang gak bawa apa-apa. Kata bokap gue gak boleh bawa makanan dari luar.” Ungkap Naran sedikit menunduk.

“Kata siapa? Kedatangan kalian hari ini itu oleh-oleh kok buat Jeno.” Jeno menyahut dengan senyuman yang ramah.

Perlahan Jeno menatap wajah teman-temannya satu persatu. Ia tamati dengan lekat bagaimana senyum terukir di wajah indah mereka. Hanya menatap lekat namun tak terasa waktu beputar begitu cepat. Saatnya ketiga temannya harus pergi meninggalkan ruangan Jeno. Tepat sebelum menyentuh pintu keluar, suara Jeno kembali menguar dalam ruangan.

“Juan, Narayan, Isvara, terima kasih ya sudah menjadi teman Jeno”


-sea

[Doa yang Belum Terwujud]

Malam ini, suasana terasa begitu damai bagi Jeno. Untuk pertama kalinya, ia tidur di tengah Jeffrey dan Anne. Meski dengan merengek dan menampilkan raut yang sangat membuat iba. Sejujurnya, Jeffrey menolak untuk ikut tidur di bed pasien Jeno. Bukan karena ukuran bed — karena ia memesankan kamar VVIP yang mempunyai bed cukup luas— namun karena takut akan menyenggol peralatan yang masih digunakan bocah itu. Semenjak bangun kemarin, Jeno memang masih menggunakan alat bantu pernapasan karena ia masih sulit bernapas sendiri. Bahkan bocah itu seharusnya masih dilarang banyak berbicara dahulu, namun entah mengapa dia menjadi cerewet sekali semenjak Jeff memeluknya kemarin.

“Yah?” suara Jeno mencuat memanggil sang ayah karena bunda sudah tertidur di sampingnya.

“hm?”

“Kak Marven marah ya sama Jeno? Kenapa dari kemarin gak jenguk ?” Jeno bertanya dengan suara kecil sembari memilin selimutnya. Jeff tersenyum halus, lalu ia ulurkan tangannya untuk mengelus surai Jeno.

“Kata siapa marah? Kata siapa gak jenguk? Kemarin semua jenguk Jeno. Ada Kak Marven, Mami Krystal, uncle Kean, Hadin, bahkan teman kamu yang baru.”

“Juan, Naran, sama Isva juga ada?” Jeno bertanya lagi dan Jeffrey hanya mengangguk.

“Kok gabilang Jeno? Kok gak masuk ke ruangan Jeno?” Tanya Jeno lagi mengerucutkan bibir.

“Ya gimana mau masuk? Kan Jeno masih di ruang intensif, yang boleh masuk cuman dua. Dari kemarin yang rewel gak mau ditinggal ayah sama bunda siapa?” Jeff sedikit mengejek. Sungguh, ia menikmati bagaimana ekspresi cemberut Jeno kali ini.

“Huh. Padahal kan Jeno juga pengen ketemu” suara Jeno memelan.

“Besok-besok bisa kok ketemu. Ayah bakal kasih izin buat main bareng”

“Iyasih ayah kasih izin, tapi Tuhan bakal kasih atau engga....” Jeno bergumam sangat pelan, namun masih dapat tertangkap oleh telinga Jeffrey dan Anne yang ternyata tengah terbangun dari tidurnya.

Sejenak ada perasaan aneh yang menggelayar di dalam hati Jeff dan Anne. Sebuah rasa asing yang membuat mereka terasa mati rasa seketika.

“ekhemm! Lagi ngomongin apa sih bapak-anak ini? Jeff! Jeno masih sakit, malah diajak begadang.” Anne mencoba memecah keheningan dengan memarahi Jeffrey membuat Jeno terkekeh.

“Oh iya, tiga minggu lagi Jeno mau ulang tahunnya dirayain dimana?” Anne bertanya dengan antusias.

Bukannya menanggapi dengan antusias juga, Jeno malah terlihat lesu. Bibirnya memang tersenyum, namun matanya memancarkan luka. Jeff dan Anne tiba-tiba gelagapan sendiri melihat perubahan Jeno.

“Jagoan ayah kenapa? Hmm?” Jeffrey mencoba bertanya. Jeno hanya menggeleng.

“Udah hampir sepuluh tahun dan Tuhan belum dengar doa ayah bunda di hari ulang tahun Jeno. Maaf ya Yah, Bun. Mungkin secepatnya akan terwujud.”


-Sea

-Mulai Hari Baru?

Kelegaan begitu menguar di hati Jaffrey saat melihat keadaan Jeno kali ini. Sempat ia khawatir, namun kekhawatiran itu segera pudar tergantikan oleh rasa bahagia yang luar biasa.

“Jeno, bangun dulu yuk! Ayah ada di sini lho. Mau ketemu Jeno” Anne mengusap pipi Jeno untuk memanggil kesadaran anak itu.

Dokter berkata Jeno memang sudah sadar, namun keadaannya masih lemah sehingga tampak seperti orang yang memiliki setengah kesadaran saja. Kadang membuka mata sebentar, lalu menutup mata lagi.

Perlahan, mata Jeno terbuka. Begitu sayu dan tanpa rona kehidupan. Sejenak Jeno memfokuskan pandangannya yang masih cukup memburam. Ia senang, melihat Jeff kini berdiri di samping bed nya sembari menggenggam erat tangan miliknya. Rasanya begitu hangat. Beginikah rasanya disayangi dengan tulus?

Semuanya nampak damai bagi Jeno, hingga sebuah kilasan dimana ayah memukulnya menyeruak kepermukaan kepalanya.

Jeno menghentakkan tangannya terlepas dari genggaman Jeff. Dengan sekuat tenaga, ia telungkupkan tangan seperti memohon di depan dada. Badannya bergetar hebat dan kulit pucatnya semakin pucat dengan bibir yang sedikit membiru.

“Aayah.. maaf.. maafin Jeno..Jeno salah.. Jangan hukum Jeno.. ayah maaf... maaf .. ayahh maaf..”

Jeno menangis histeris membuat Anne dan Jeffrey panik seketika. Napas Jeno terdengar begitu jelas dan berat. Bahkan suara bising dari pendeteksi oksigen mulai berbunyi. Bibir anak itu juga sedikit membiru tanda ia mulai kekurangan oksigen.

“Jeno sayang, maafin ayah. Ayah minta maaf. Ini salah ayah. Jeno gak salah”

Jeff mencoba mendekati tubuh Jeno. Namun tubuh ringkih itu malah semakin menyusut bergerak menjauh.

“Bukan! Bukan ! Bukan! Ini salah Jeno lahir cacat kaya gini. Ini salah Jeno udah hidup di dunia. Bener ini salah Jeno. Ayah bener, bunda bener, Oma bener, temen temen sekolah Jeno bener, ini salah Jeno karena Jeno terlahir kaya gini. Jeno cuman sampah! Gak layak hidup! Jeno mau mati! Mau mati!!”

Jeno tantrum. Ia berteriak dengan air mata yang keluar deras.

“Enggak. Ayah sama bunda yang salah. Jeno gak salah. Jeno percayakan sama ayah? Jeno jagoan ayah. Jeffrano putra kebanggaan ayah”

Untuk pertama kalinya. Akhirnya tangis Jeffrey terjatuh di depan Jeno. Ia begitu menyesal sekarang. Hatinya remuk redam melihat keadaan Jeno kaya gini.

Jeno diam sejenak. Kesempatan ini tak ingin Jeffrey sia-siakan. Dengan cepat ia mengambil langkah dan langsung memeluk erat Jeno. Awalnya Jeno tampak memberontak, namun lama kelamaan ia juga menikmati pelukan sayang itu.

“Maafin ayah ya, Nak. Izinin ayah sama bunda jadi orangtua yang sesungguhnya buat kamu. Mulai hari ini, kita mulai kehidupan yang baru ya? Jeno mau kan?”

Jeffrey berbisik lembut ditelinga Jeno. Jeno hanya mengangguk kecil. Melihat jawaban itu, Anne juga langsung menghambur kepelukan Jeff.

Dokter Tama habis berlari ke ruangan Jeno akibat sinyal code blue, enggan membuka pintu ruangan, membiarkan ketiga orang di sana membagi cintanya.

“Semoga kebahagiaan menyertai kalian.”

Ungkapnya dengan senyum dan kemudian melenggang meninggalkan ruang VVIP itu.


-Sea

Jenonya Bunda Hebat

Sembilan jam telah berlalu dan Anne masih betah untuk berada di ruangan Jeno. Tangannya tak mau melepas tangan Jeno barang sedetikpun.

Dengan penuh hati-hati agar tidak menyentuh oxygen mask Jeno, tangan Anne berpindah posisi. Ia mengelus surai rambut Jeno yang tampak lepek akibat tidak sadar selama beberapa hari.

Dengan tatapan penuh kasih sayang, Anne menelisik setiap inch dari tubuh Jeno. Sejenak ia sunggingkan senyum, namun entah mengapa kedua netranya memilih meneteskan air mata.

“Gantengnya Bunda... ternyata mirip banget ya sama ayah. Kamu itu sebenarnya anak Bunda ayah atau ayah doang sih?” Anne bertanya pelan.

Hening sejenak, lalu suara Anne menguar kembali.

“Sayang, bangun ya? Jangan sampai Jeno buat bunda jatuh dalam lubang penyesalan ini. Maaf.. maafin bunda yang selama ini jahat ke Jeno. Maaf.. maafin Bunda yang selama ini belum pernah kasih perhatian layaknya ibu ke Jeno. Sekarang, Jeno pengen apa, hmm? Bunda.. bunda sama ayah pasti bakal kabulin semua permintaan Jeno. Jeno.. Jeno gak mau dipeluk bunda? Jeno gak mau main sama ayah dan Kak Marven? Jeno.. bangun.. jangan tinggalin bunda..”

Lagi dan lagi. Anne terisak dalam melontarkan setiap kalimatnya kepada Jeno. Entahlah, rasanya seperti ada sebilah pisau yang mengiris hati Anne saat ini.

“Jeffrano nakal ya sekarang! Gak mau dengerin omongan bunda! Bunda udah suruh kan Jeno buat bangun? Kenapa Jeno gak bangun?!”

Anne sedikit menaikkan nada suaranya, benar-benar nampak seperti memarahi seorang putra berusia lima tahun.

“Eng...gh..ak...”

Anne tersentak hebat saat sebuah suara yang amat lirik mengetuk gendang telinganya. Dengan cepat ia tolehkah wajahnya tepat ke arah wajah Jeno.

“Jeno? Jeno ada yang sakit? Ini Bunda Jeno.. Jeno?”

Anne nampak terkejut sekaligus senang. Ada rasa sesak yang terlepas ketika melihat mata milik Jeno tampak membuka dan menutup.

Dengan cepat, Anne menekan tombol darurat di samping bed. Dan tak begitu lama, dokter Tama datang bersama beberapa tenaga medis lainnya.

Anne ingin memberikan ruang kepada para dokter untuk memeriksa keadaan Jeno. Namun, tangan Jeno yang hanya berisi oxymeter itu tidak mau melepaskan genggamannya dari Anne.

“Eng.. hak.. na..kal”
Suara lirih itu terdengar lagi, namun seperti berkejaran dengan nafasnya sendiri.

Dokter Tama tersenyum melihat interaksi yang mereka berdua tunjukkan saat ini. Namun, ia harus tetap profesionalisme untuk mengecek keadaan pasiennya kini.

“Jeffrano, dengar suara dokter, Nak?” Ucap Tama.

Belum ada respon. Mata Jeno tertutup lagi setelah berbicara sebentar dengan Anne tadi.

“Jeno kalau dengar suara dokter, genggam tangan bunda yang keras ya”

Entahlah. Saat ini Jeno hanya merasakan tubuhnya yang sangat lemas tanpa daya. Bahkan untuk membuka mata dan berbicara rasanya sangat sulit sekali.

“Yang keras ya”

Hanya itu samar-samar suara yang dapat Jeno tangkap saat ini.

Jeno mencoba membalas genggaman tangan yang kini sedang menggenggam erat tangannya.

Semua tenaga medis di sana tersenyum tatkala melihat respon Jeno yang mengeratkam genggamannya pada Anne.

“Jeffrano, ayo buka matanya dulu. Dokter yakin Jeno bisa”

Tama masih melakukan tindakan untuk membawa kesadaran Jeno lebih banyak. Namun nihil, tak ada respon lagi dari Jeno.

“Sayangnya Bunda...buka matanya dulu ya. Anaknya bunda anak yang hebat, pasti bisa. Jeno anak bunda.. ayo sayang”

Lembut, nyaman, dan menyejukkan. Itu yang dapat Jeno rasakan ketika pendengarannya menangkap penuh suara sang ibunda.

Jeno benar-benar bahagia. Iaingin berusaha, ia ingin memeluk bundanya saat ini.

Perlahan, area-area mata nampak menggurat. Dengan gerakan kecil netra yang sudah beberapa hari menutup itu mengerjap pelan. Bola matanya ia edarkan perlahan, mencari sosok yang tadi membuatnya bahagia setengah mati.

Dengan sekuat tenaga, ia tarik bibir kecil miliknya yang tersembunyi dibalik masker oksigen. Tatapannya begitu teduh memandang Anne yang kini menggenggam tangannya erat.

“B..nda..”

“Iya sayang? Ada yang sakit? Bilang sama Bunda, biar bunda bilang ke dokternya. Jeno mau apa sekarang, hmm?”

Anne bertanya lembut, mencoba melakukan interaksi secara batin kepada Jeno.

“Pe..luk.. j ..no.. msih.. pek.. ma... tdurr” Suara Jeno yang lirih berhasil menguar bersamaan suara deru napas miliknya yang nampak berat.

Belum sempat Anne menjawab, mata sipit itu perlahan telah menutup kembali bersamaan dadanya yang naik turun sangat lambat.

Jujur saja Anne begitu takut saat mata itu kembali tertutup. Namun Anne harus mempercayai Jeno kan saat ini? Putranya anak yang kuat. Jeno anak yang kuat, dia pasti akan memenangkan perjuangan ini.


Sea

-Apa yang terjadi

“Kak, Jeno kenapa?” Terdengar suara Anne memecah heningnya koridor. Jujur saja, sejak perjalan tadi Anne sudah memikirkan banyak hal yang tidak-tidak. Apalagi penampakan Krystal dengan muka penuh tangis menambah kekhawatiran bagi Anne.

“Kak Krystal kenapa nangis? Anakku.. anakku gak apa-apa kan, Kak? Jenoku baik baik aja, Kan?” Anne menggoyangkan bahu krystal.

“KAK JAWAB!” suara Anne meninggi. Air matanya tak lagi bisa ia bendung.

Tak mendapat jawaban, Anne menolehlan wajahnya ke arah ruangan Jeno. Di balik kaca itu, bisa ia lihat banyak tenaga medis yang kini memberikan berbagai macam tindakan di tubuh kurus Jeno.

Tubuh Anne rasanya sangat lemas, bahkan ia hampir saja ambruk jika Jeff tidak menopang tubuh rapuh miliknya.

“Mas Jeff.. Anak aku.. Jeno.. tolongin anak aku.. bayar berapapun tapi tolongin anak aku... Mas Jeff.. Jenoku...” Anne menangis sembari meracau pada Jeffrey.

Jeffrey tidak memberi jawaban apapun. Ia hanya mengelus pelan bahu Anne sebagai jawaban. Jujur saja, jika boleh menangis, rasanya Jeff juga ingin menangis kali ini.

Lama sudah mereka rapalkan doa di penghujung malam. Akhirnya beberapa dokter mulai keluar dari ruangan Jeno.

Jeff berdiri ketika dokter Tama dan Damat menghampirinya.

“Putra saya bagaimana?” Jeff bertanya dengan nada kehampaan yang kentara.

“Putra anda tadi sempat mendapatkan serangan. Dari hasil tes, ditemukan obat penghenti jantung yang masuk dalam kadar lebih dari 30 mg, membuat jantung Jeno yang awalnya lemah menjadi berhentu untuk beberapa saat. Kami sempat kehilangan putra anda sekitar dua puluh detik, namun syukurlah putra anda sangat kuat, ia berhasil kembali kepada kami. Namun dengan sangat menyesal, kami juga akan haturkan diagnosa kami. Setelah kami lakukan MRI, hasilnya menunjukkan bahwa putra anda mengidap Rheumatic Hearth Disease atau yang awam disebut rematik jantung. Diagnosis ini saya keluarkan setelah saya mencocokkan data yang saya miliki dengan data dokter pribadi Jeno. Ditemukan beberapa gejala seperti demam beberapa hari, sesak, hingga muncul ruam-ruam pada kulit, sehingga diagnosis saya tegakkan.”

Semua yang ada di sana terkejut mendengar penuturan Tama.

“Tapi bisa disembuhkan kan, Dok? Saya akan bayar berapapun asal anak saya bisa bertahan di sini sama saya” Itu Anne. Ia bertanya namun penuh syarat permohonan.

“Pengobatan untuk jantungnya bisa kita lakukan setelah keadaan Jeno membaik. Untuk sementara, kita hanya bisa kuatkan keadaan dengan berdoa. Lalu, ada kabar baik yang ingin saya sampaikan. Keajaiban Tuhan, setelah serangan tadi tingkat kesadaran Jeno semakin lebih tinggi. Jika prediksi saya tidak salah, mungkin esok atau lusa putra anda akan siuman. Sekian dari saya, saya izin pamit. Terima kasih”

Anne dan Jeffrey sedikit membungkukkan badan membalas ucapan terima kasih kepada Tama. Wajah Anne yang tadinya begitu gelap, kini nampak seperti ada cahaya.

“Permisi. Untuk pasien sudah bisa ditunggu di dalam ruangan, namun hanya untuk satu orang” Seorang perawat menghampiri keluarga Jeno.

Anne langsung mengikuti perawat itu, meninggalkan keempat orang di sana, termasuk Damar yang tadi tidak mengikuti Tama.

Setelah Anne menghilang tertelan pintu ruang rawat, Krystal membuka obrolan berat pagi itu.

“Hari ini Katrina lagi, kan?” Ucap Krystal nampak penuh dendam.

“Sayang, jangan emosi dulu. Biarin Jeffrey nafas dulu bentar sama semua kejadian tadi.” Kean mengelus bahu Krystal mencoba menenangkan.

“Gimana gak emosi? Syukur Jeno hari ini bisa selamat, kalau enggak? Kita gak tahu, berapa keberuntungan yang dimiliki seseorang”


-Sea

Gue Takut, Dam.

“Anne gimana, Dam?

Jeffrey bertanya ketika Damar usai memeriksa kondisi Anne. Tadi, terpaksa Jeff masuk secara paksa ke kamar ketika Anne tak kunjung membàlas pesannya. Betapa terkejutnya Jeff ketika hal yang pertama kali tertangkap netranya saat memasuki kamar adalah tubuh Anne yang tergeletak di lantai.

“Anne stress berat. Asam lambungnya juga kambuh, udah berapa hari dia gak makan? Gue tahu kalian lagi khawatir sama kondisi Jeno, tapi kalian juga harus jaga kesehatan kalian. Jeff, Jeno itu saat ini cuman butuh dikuatin. Gimana bisa kalian nguatin dia disaat kalian sendiri hancur kayak gini?”

Damar menjawab dan bertanya sekaligus. Tersirat benar bahwa Damar juga khawatir dengan keadaan dari kedua pihak disana.

“Pesta itu... nyokapnya Anne?” Tanya Damar lagi. Jeffrey hanya mengangguk. Sangat tak berminat untuk membahas perihal pesta bermilyar-milyar yang ia anggap sangat tidak penting itu.

“Jeff, lo tuh kepala keluarga. Lo berdiri disini nanggung nyawa dari tiga orang sekaligus. Lo berhak Jeff... Lo berhak atur keluarga lo sendiri, bangun keluarga lo sendiri. Jangan terus mau dikekang seperti ini.”

“Lo gatau, Dam. Gue sayang banget sama Anne. Gue takut suatu saat bakal kehilangan Anne. Lo ga-”

“Bullshit, Jef! Persetan sama cinta! Kalau emang kalian saling mencintai sedalam itu, harusnya ancaman Katrina jadi tantangan buat kalian. Kalian harus perjuangin cinta yang kalian anggap sejati itu. Bukan malah ngorbanin orang lain, anak kalian sendiri, bahkan keluarga kalian. Sampai kapan Jeff? Sampai kapan lo jadi pengecut kaya gini? Sampe Jeno mati, iya?”

Hening. Benar-benar hening. Suara Damar dengan syarat keben gcian itu ia lontarkan dengan nada yang sangat rendah namun begitu menusuk.

“Gue udah sejauh ini. Keluarga gue... anak gue .. semua udah rusak, Dam. Memangnya masih ada jalan buat membenahi semuanya? Gue takut.. gue sendiri takut kalau semuanya jadi semakin kacau. Gue takut.. kalau satu langkah yang gue ambil bakal bawa Jeno selangkah menjauh dari gue. Lo bener, Dam. Dulu lo selalu nyuruh gue buat ngehargai kehidupan Jeno sebelum gue nyesel. Tapi saat ini... gue udah sampe dititik dimana gue bener-bener nyesel. Ketakutan gue saat ini.. Gue takut.. Gue takut kalau andainya Jeno bakal pergi dari gue sebelum gue bilang kalau gue benar-benar bahagia memiliki anak bernama Jeffrano, Sebelum gue bilang kalau gue bangga banget punya anak kaya dia, sebelum gue peluk dia sambil bilang terimakasih karena dia pernah hadir menjadi anak gue... gue takut.. gue pengecut, Dam... “

Suara Jeff terdengar begitu putus asa. Kalimat-kalimat itu ia lontarkan dengan bahu yang bergetar. Kilatan bagaimana ia memperlakukan Jeno selama ini berputar tak henti di kepalanya. Menimbulkan lubuk penyesalan di dasar hati miliknya.

“Berjuang, Jeff. Dulu, Jeno yang berjuang buat dapatin kasih sayang kalian. Sekarang, giliran kalian yang berjuang untuk Jeno.”


-Sea

Keluarga(?)

Jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tatkala sepasang suami istri dengan setelah mahal berlari di menuju ruangan Jeno.

“Anne...” Suara yang terdengar lembut dan tegas secara bersamaan itu menyapa indera pendengaran Anne.

“Kak Krystal... Kak..Jeno, Kak.. anakku di dalam.. anak aku kesakitan tapi aku gabisa nolong sama sekali” Tangis Anne pecah tatkala Krystal memeluk tubuh rapuhnya.

Anne benar-benar terlihat hancur saat ini dengan penampilan yang begitu memprihatinkan.

“Kenapa bisa, Jeff?” Tanya laki-laki yang daritadi hanya diam.

“Salahku, Mas. Ini salah ku. Aku pukul dia saat pulang telat padahal saat pulang ternyata dia pulang udah dalam keadaan sakit.” Jeff sedikit menunduk sembari mengusap wajahnya kasar.

PLAKK!!!

“Apa, Jeff?! Bilang sekali lagi kamu apain Jeno. Kamu udah main tangan sama Jeno?! Jeffrey sadar! Jeno itu anak kamu, Jeff! Jeno itu anugerah yang harus kamu jaga! KETERLALUAN, JEFF! AYAH SAMA BUNDA GAK PERNAH DIDIK KAMU UNTUK JADI BAJINGAN SEPERTI INI!”

Krystal menumpahkan amarahnya ke Jeff sembari memukulkan tangannya di dada Jeff. Ia menangis, Ia kecewa ketika mengetahui bahwa ponakan yang sudah dianggapnya sebagai anak itu malah terluka di tangan orang tuanya.

Ttak! Ttak ! Ttak

Suara nyaring dari hak sepatu mahal menggema di koridor area ruang rawat Jeno berhasil meraih atensi keempat orang di sana.

“Mama” Anne tampak terkesiap melihat sosok di depannya itu.

“Ngapain kamu di sini, Ne? Lihat! Kamu berantakan sekali seperti gelandangan.” Wanita tua itu nampak angkuh sembari memperlihatkan tatapan menilai dari ujung kaki sampai kepala.

“Dimana cucuku?”

“Dia di dalam, Ma. Jen-”

“Bukan Jeno. Aku tidak pernah mempunyai cucu cacat sepertinya. Aku bertanya dimana Marven?”

“Ma...” Anne bersuara tampak memohon kepada ibunya untuk mengucapkan hal menyakitkan seperti itu.

Dulu, ia juga merasa ringan untuk mengatakan hal buruk seperti itu. Namun ntah mengapa kini hatinya juga ikut merasakan sakit tatkala mendengar oranglain mengolok putranya sendiri.

“Bilang kepada Marven untuk pulang. Lalu kita akan sewa pesta di kapal pesiar untuk kemenangannya. Mama sudah urus semuanya” Wanita itu berkata dengan entengnya.

“Apa anda sudah gila, vvvvvNyonya Katrina?” Krystal bertanya dengan penuh penekanan. Buku tangan lentiknya bahkan kini telah memutih karena kepalan amarah di tangannya.

“Saya tahu anda adalah kakak ipar anak saya, tapi bagaimana bisa anda setidak sopan ini, Nona ? Wanita angkuh itu tak terima.

“Mata anda tidak buta, kan? Lihatlah di balik kaca ruangan itu! Dia sedang berada dalam fase hidup dan mati, Nyonya. Bahkan untuk bernapas saja rasanya sudah susah bagi cucu anda sendiri! Jeno itu, Darah daging anda sendiri!” Krystal berkata dengan suara lantang. Matanya yang memerah karrna menangis, semakin memerah dan menyemburatkan kebencian dengan jelas.

“Saya tidak peduli. Mau anak itu hidup atau mati, doa saya dia cepat mati. Agar sampah dalam keluarga saya menghilang secepatnya.”

“MAMA!!!”

Koridor ruangan nampak semakin begitu menegangkan. Bahkan beberapa bodyguard sempat menengokkan kepala tatkala mendengar suara Jeffrey yang membuat bulu kuduk merinding.

“KAMU SUDAH BERANI SAMA SAYA, JEFFREY?! INGAT, SAYA BISA MENCERAIKAN KAMU DENGAN ANNE ANAK SAYA” Wanita itu tak mau kalah.

“Saya tidak peduli! Sudah cukup selama ini mama mengancam saya dengan status pernikahan kami. Mavma bisa mencoba menceraikan saya dengan Anne, namun saya juga akan menjaga keutuhan keluarga saya.” Jeffrey berkata dengan nada dingin dan menusuk.

“Cih! Gara gara anak sialan itu, kamu sudah berani melawan saya? Ck, kurang ajar! Tapi kali ini saya akan memaafkanmu. Datang ke pesta besok malam. Anne, jangan lupa untuk melakukan perawatan besok pagi. Mama sudah pesankan salon untuk datang ke rumah dan juga baju baru untuk kamu. Jangan sampai terlihat memalukan”

Ucap wanita itu sembari melenggongkan kakinya keluar koridor, meninggalkan pancaran kebencian dari keempat orang di sana.

-Sea

Sekali saja. Boleh, kan?

Angin berembus pelan menjatuhkan dedaunan rapuh dari inangnya. Suasana sekitar nampak begitu nyaman dan menenangkan. Udara terasa sejuk, tidak panas ataupun mendung membuat remaja laki-laki itu merasakan damai dalam dirinya.

Ia memejamkan matanya sejenak, sembari mencoba menikmati suasana alam di sekitar taman itu. Suara air di danau depannya, kicau burung di angkasa, serta pemandangan kupu-kupu terbang tak hentinya membuat hati kecil miliknya terasa bahagia.

Semua terasa nyaman dan menyenangkan hingga sebelum beberapa suara tertangkap di indera pendengarannya.

“Bunda.. Kejar ayah! Serang!! Hahahaha” teriak seorang anak kecil yang tampak familiar sekitar usia 6 di depannya.

Anak itu tampak menikmati kehangatan dari ayah bundanya. Mereka saling mengejar dan pura-pura menyerang sambil tertawa. Benar-benar tawa yang sangat membahagiakan selayaknya keluarga yang amat harmonis.

Brak!!!

“Sayang!” Teriak wanita cantik dari belakang tatkala melihat anak kecil itu terjatuh.

Sedangkan, sang ayah kini berlari mendekatinya seraya memperlihatkan kepanikan luar biasa.

“Adek gimana? Ada yang sakit? Tuh kan! Dibilangin ngeyel! Disuruh jangan lari-lari masiiih aja ngeyel. Nggak dengerin omongan Bunda” Wanita yang memanggil dirinya sebagai bunda itu bertanya dengan nada khawatir sembari mengecek setiap inchi dari tubuh putranya.

“Jagoan papa baik-baik aja? Ada yang luka? Udahan ya mainnya. Kita pulang. Sini ayah gendong” Laki-laki itu merentangkan tangannya sembari menampilkan senyum khas kebapakan yang amat kentara.

Dengan menggendong putranya di tangan kiri dan menggenggam tangan lembut istrinya di tangan kanan, mereka bertiga pergi menjauh. Tanpa memperdulikan tatapan kecewa dari sosok cilik dibelakang pohon besar.

Tanpa sadar, bocah cilik itu bermonolog dengan dirinya sendiri.

“Jadi Kak Marven enak, ya? Bisa main sama Ayah Bunda. Bisa ketawa bareng, diajarin belajar, dan bisa dipeluk kalau lagi kesakitan. Kalau untuk Jeno, jangankan dipeluk, ditatap dengan pandangan hangat saja tidak pernah. Apa karna Jeno berbeda ya? Kemarin Jeno denger kalau Ayah sama Om Dokter bertengkar. Om dokter bilang kalau Jeno itu spesial kaya martabak, tapi kalau ayah bilang, Jeno itu kesalahan. Hanya aib yang harus ayah tutupi. Jeno memang masih kecil, tapi Jeno paham apa yang dibilang ayah. Kayaknya itu sesuatu yang gak baik buat diketahui orang. Tapi biarpun begitu, apa nggak boleh kalau Jeno juga pengen disayang? Kata Om dokter, semua pekerjaan akan terasa ringan kalau dilakukan dengan hati yang lapang. Apa hidup Jeno juga akan ringan kalau Jeno udah bisa berhati lapang?”

Remaja itu menangis tergugu kala melihat anak kecil yang bersembunyi itu. Hatinya yang damai tiba-tiba terasa begitu menyesakkan ketika melihat sekelebat memori yang ingin dia lupakan bertahun silam. Saat ia bisa melihat tawa keluarganya tanpa ada hadirnya di sana.

“Ternyata enggak ringan... Jeno capek...” Remaja itu menangis sembari menunduk. Ingin rasanya ia berteriak. Tapi untuk apa? Menyalahkan takdir yang begitu kejam padanya? Oh tidak. Dia tidak pernah belajar untuk menjadi seseorang seperti itu.

Isakan itu terus bertahan hingga sebuah tangan mengelus punggungnya. Ia mendongak, menatap dua orang yang kini duduk di sisi kanan-kirinya.

“Eyang?” Tanya Jeno tidak yakin. Ia sendiri belum pernah bertemu dengan eyangnya kecuali dari foto yang terpampang di ruang keluarga.

“Sayangnya eyang, sini eyang peluk” Wanita yang mirip dengan ayahnya itu langsung memeluk Jeno erat.

Jeno memejamkan mata, mencoba menikmati sentuhan-sentuhan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

“Eyang... Jeno mau ikut eyang” Entah dapat kekuatan dari mana, tangis Jeno mulai pecah. Ia rasa hatinya kini ikut terbangun karena tangisan miliknya.

“Jagoan eyang mau ikut yang kung sama yang ti?” Tanya lelaki yang juga mirip ayahnya itu.

Jeno mengangguk. Kedua orang di sisinya itu memberikan kehangatan luar biasa bagi diri Jeno.

“Jeno boleh ikut eyang, tapi apa Jeno gak akan menyesal?” Tanya eyang putri.

“Kenapa Jeno harus menyesal? Di sini Jeno dapat kedamaian buat hati Jeno, sedangkan di sana, Jeno hidup tapi rasanya mati. Gak ada gunanya Jeno di sana. Ayah.. Bunda.. gak ada satupun yang menghargai keberadaan Jeno. Jeno udah cukup ngerasain sakit, Jadi Jeno gamau lagi hidup kalau buat rasa sakit aja. Untuk kali ini aja Jeno boleh egois, Kan?”

-Sea

  • Ungkapan Hadinata

“Jeno gimana, bang?” Sebuah suara membuyarkan lamunan Marven. Dilihatnya sepupunya itu kini tengah ngos-ngosoan sembari mentralkan napasnya.

“Buruk. Keadaannya masih kritis. Bahkan dari kita hanya boleh melihat dia dari sini” Marven berkata lirih.

Hadinata kemudian mengalihkan pandangannya. Di seberang sana, tepatnya di balik kaca yang saat ini menghalangi tubuhnya, terlihat sosok yang saat ini tengah berjuang untuk hidup dan mati. Kondisinya nampak begitu buruk dengan dada telanjang yang ditempeli berbagai macam alat penunjang kehidupan.

“Hadin..”

Hadin menoleh tatkala mendapati suara unclenya. Ingin Hadinata sekali Hadinata mengamuk pada adik ibunya itu namun ia urungkan ketika melihat penampilan Jeffrey yang benar-benar semrawut.

“Jeno, apa di sekolah dia baik-baik aja?” Jeffrey bertanya lirih.

“Memangnya semesta pernah baik ke Jeno? Bukan hanya di sekolah, bahkan di rumahnya pun Jeno gak pernah baik-baik aja” Telak. Hadin menjawab pertanyaan Jeff dengan kemenangan mutlak.

“Gimana Om? Om udah puas ngelihat Jeno kaya gini? Lihat Om! Di sana... di dalam sana adek aku lagi kesusahan. Lagi ada diambang mati sama hidup. Kalau Jeno milih nyerah gimana, Om? Hadin...Hadin gak siap”

Entah bisikan dari mana, Hadinata malah mengeluarkan isi hatinya. Beberapa tetes air juga mulai meluncur dari kelopak indahnya.

Jeffrey menghembuskan nasnya kasar, kemudian ia sedikit menunduk. Banyak rasa bersalah yang kini menghinggapi hatinya, terutama perihal perlakuannya pada Jeno dulu.

“Tante sama Om Jeff mungkin biasa, bahkan senang kalau Jeno mati, Tapi enggak bagi Hadin. Andai Om tahu... Jeno itu.. Jeno itu anak yang benar-benar sayang sama Om dan Tante. Bahagia terbesar Jeno itu ada pada om dan tante walaupun kalian cuma anggap dia sampah bagi kalian.”

Hadinata semakin menangis. Anne hanya menggeleng pelan kemudian menyusul tangisan Hadin.

“Se enggak berartinya Jeno buat kalian.. Hadin mohon.. untuk pertama kalinya.. Hadin mohon sama Om dan Tante. Tolong pegangi tangan Jeno erat-erat. Kasian Jeno, sekarang dia pasti bingung. Tangan Tuhan begitu luas buat nyapa Jeno, nanti kalau kalian kalah cepat mungkin Jeno bakal milih pergi. Soalnya dia pasti ngerasa kalau dunianya bahkan tak menginginkan dia pulang.”

-Sea

-Yakin

Suasana rumah sakit sempat begitu sibuk ketika Jeffrey menapakkan kakinya di sana. Dengan cepat, brankar Jeno dibawa memasuki IGD namun tak berselang lama beberapa dokter membawa brankar itu menuju ruang Operasi.

Anne menangis dalam pelukan Jeff. Ia merasa sangat bersalah. Semua penyesalannya menumpuk menjadi satu. Begitupun dengan Jeffrey yang dari tadi masih terdiam, menunggu dokter keluar dari ruangan Jeno.

Disisi lain nampak juga Marven yang kini sedang merapalkan doanya sembari menunggu pintu terbuka. Niatnya pulang terlebih dahulu untuk memberi kejutan, malah dia yang terkejut.

Rasanya Marven benar-benar ingin meninju ayahnya tadi, namun gairah itu menghilang ketika untuk pertama kalinya ia lihat raut khawatir sang ayah untuk adik bungsunya.

2 jam sudah berlalu ketika suara ruangan Jeno terbuka. Bukannya hal baik yang mendatangi, malah kepanikan luar biasa yang menghinggapi ketiganya saat ada perawat keluar untuk mengambil persediaan darah untuk Jeno.

Lama sudah mereka menunggu hingga pada pukul 3 pagi hingga pada akhirnya tenaga medis keluar dari ruang operasi dan mendorong brankar Jeno keluar menuju ICU.

“Dengan wali dari pasien?” Sapa seorang dokter yang diyakini adalah kepala operasi tadi.

“Saya, Dok. Bagaimana keadaan putra saya?”

Jeffrey bertanya dengan raut begitu khawatir. Sesungguhnya lidahnya kelu saat memanggil Jeno sebagai 'putranya'. Masih pantaskah saat ini ia memanggil Jeno putranya?

“Mohon maaf untuk mengatakan ini, namun kondisi pasien saat ini masih dalam keadaan kritis. Terjadi pendarahan internal pada pasien, lebih tepatnya hemothorax hingga menyebabkan penumpukan darah pada bagian lubang pleura sehingga menyebabkan pasien sulit bernapas.”

“Apa dok?Bagaimana bisa?” Anne tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

“Hemothorax biasa terjadi akibat tusukan tulang rusuk patah atau benturan keras pada area perut. Pada kasus putra anda, sata kira Hemotoraxnya berasal dari benturan keras karena juga ditemukan beberapa luka lebam diseluruh bagian tubuhnya.”

Anne menutup mulutnya tidak percaya. Sedangkan Jeff terdiam sejenak. Rasa penyesalan begitu menguar ketika ia kembali membayangkan bagaimana tangannya dengan beringas menyabet Jeno dengan ikat pinggangnya sendiri.

“Melihat pasien yang masih berseragam, saya kira mungkin bapak dan ibu bisa mengusut kasus putra anda barangkali memang terjadi perundungan pada putra anda. Akhir-akhir ini memang ditemui kasus serupa namun tidak sampai separah ini”

Jeff hanya terdiam, menimang perkataan sang dokter. Sedangkan Marven kini sedang mencoba menenangkan Anne yang dari tadi menangis mendengar penjelasan dokter.

“Untuk sementara waktu, pasien akan mendapatkan perawatan intensif di ICU sampai keadaannya stabil. Sekian, Bapak-ibu, saya undur diri.”

“Terima kasih, dok”

Dokter itu tersenyum sungkan kepada pemilik yayasan rumah sakit ; dengan kata lain adalah bosnya sendiri. Ia paham bagaimana perasaan Jeffrey saat ini. Dulu saja saat Narayan mengalami patah kaki, hati Tama sangat sakit. Apalagi kini Jeffrey yang melihat keadaan anaknya dalam kondisi yang sangat menghawatirkan.

“Saya memang orang baru, namun saya yakin putra anda bisa selamat jika mendapat dukungan penuh dari anda. Saya bukanlah orang yang religius, namun saya pernah mendapatkan ilmu, ' berdoalah dengan keyakinan utuh karena Tuhan akan selalu mendengar doa dari hati yang tidak lalai'. Saya permisi. Sekali lagi, terima kasih”