Jenonya Bunda Hebat

Sembilan jam telah berlalu dan Anne masih betah untuk berada di ruangan Jeno. Tangannya tak mau melepas tangan Jeno barang sedetikpun.

Dengan penuh hati-hati agar tidak menyentuh oxygen mask Jeno, tangan Anne berpindah posisi. Ia mengelus surai rambut Jeno yang tampak lepek akibat tidak sadar selama beberapa hari.

Dengan tatapan penuh kasih sayang, Anne menelisik setiap inch dari tubuh Jeno. Sejenak ia sunggingkan senyum, namun entah mengapa kedua netranya memilih meneteskan air mata.

“Gantengnya Bunda... ternyata mirip banget ya sama ayah. Kamu itu sebenarnya anak Bunda ayah atau ayah doang sih?” Anne bertanya pelan.

Hening sejenak, lalu suara Anne menguar kembali.

“Sayang, bangun ya? Jangan sampai Jeno buat bunda jatuh dalam lubang penyesalan ini. Maaf.. maafin bunda yang selama ini jahat ke Jeno. Maaf.. maafin Bunda yang selama ini belum pernah kasih perhatian layaknya ibu ke Jeno. Sekarang, Jeno pengen apa, hmm? Bunda.. bunda sama ayah pasti bakal kabulin semua permintaan Jeno. Jeno.. Jeno gak mau dipeluk bunda? Jeno gak mau main sama ayah dan Kak Marven? Jeno.. bangun.. jangan tinggalin bunda..”

Lagi dan lagi. Anne terisak dalam melontarkan setiap kalimatnya kepada Jeno. Entahlah, rasanya seperti ada sebilah pisau yang mengiris hati Anne saat ini.

“Jeffrano nakal ya sekarang! Gak mau dengerin omongan bunda! Bunda udah suruh kan Jeno buat bangun? Kenapa Jeno gak bangun?!”

Anne sedikit menaikkan nada suaranya, benar-benar nampak seperti memarahi seorang putra berusia lima tahun.

“Eng...gh..ak...”

Anne tersentak hebat saat sebuah suara yang amat lirik mengetuk gendang telinganya. Dengan cepat ia tolehkah wajahnya tepat ke arah wajah Jeno.

“Jeno? Jeno ada yang sakit? Ini Bunda Jeno.. Jeno?”

Anne nampak terkejut sekaligus senang. Ada rasa sesak yang terlepas ketika melihat mata milik Jeno tampak membuka dan menutup.

Dengan cepat, Anne menekan tombol darurat di samping bed. Dan tak begitu lama, dokter Tama datang bersama beberapa tenaga medis lainnya.

Anne ingin memberikan ruang kepada para dokter untuk memeriksa keadaan Jeno. Namun, tangan Jeno yang hanya berisi oxymeter itu tidak mau melepaskan genggamannya dari Anne.

“Eng.. hak.. na..kal”
Suara lirih itu terdengar lagi, namun seperti berkejaran dengan nafasnya sendiri.

Dokter Tama tersenyum melihat interaksi yang mereka berdua tunjukkan saat ini. Namun, ia harus tetap profesionalisme untuk mengecek keadaan pasiennya kini.

“Jeffrano, dengar suara dokter, Nak?” Ucap Tama.

Belum ada respon. Mata Jeno tertutup lagi setelah berbicara sebentar dengan Anne tadi.

“Jeno kalau dengar suara dokter, genggam tangan bunda yang keras ya”

Entahlah. Saat ini Jeno hanya merasakan tubuhnya yang sangat lemas tanpa daya. Bahkan untuk membuka mata dan berbicara rasanya sangat sulit sekali.

“Yang keras ya”

Hanya itu samar-samar suara yang dapat Jeno tangkap saat ini.

Jeno mencoba membalas genggaman tangan yang kini sedang menggenggam erat tangannya.

Semua tenaga medis di sana tersenyum tatkala melihat respon Jeno yang mengeratkam genggamannya pada Anne.

“Jeffrano, ayo buka matanya dulu. Dokter yakin Jeno bisa”

Tama masih melakukan tindakan untuk membawa kesadaran Jeno lebih banyak. Namun nihil, tak ada respon lagi dari Jeno.

“Sayangnya Bunda...buka matanya dulu ya. Anaknya bunda anak yang hebat, pasti bisa. Jeno anak bunda.. ayo sayang”

Lembut, nyaman, dan menyejukkan. Itu yang dapat Jeno rasakan ketika pendengarannya menangkap penuh suara sang ibunda.

Jeno benar-benar bahagia. Iaingin berusaha, ia ingin memeluk bundanya saat ini.

Perlahan, area-area mata nampak menggurat. Dengan gerakan kecil netra yang sudah beberapa hari menutup itu mengerjap pelan. Bola matanya ia edarkan perlahan, mencari sosok yang tadi membuatnya bahagia setengah mati.

Dengan sekuat tenaga, ia tarik bibir kecil miliknya yang tersembunyi dibalik masker oksigen. Tatapannya begitu teduh memandang Anne yang kini menggenggam tangannya erat.

“B..nda..”

“Iya sayang? Ada yang sakit? Bilang sama Bunda, biar bunda bilang ke dokternya. Jeno mau apa sekarang, hmm?”

Anne bertanya lembut, mencoba melakukan interaksi secara batin kepada Jeno.

“Pe..luk.. j ..no.. msih.. pek.. ma... tdurr” Suara Jeno yang lirih berhasil menguar bersamaan suara deru napas miliknya yang nampak berat.

Belum sempat Anne menjawab, mata sipit itu perlahan telah menutup kembali bersamaan dadanya yang naik turun sangat lambat.

Jujur saja Anne begitu takut saat mata itu kembali tertutup. Namun Anne harus mempercayai Jeno kan saat ini? Putranya anak yang kuat. Jeno anak yang kuat, dia pasti akan memenangkan perjuangan ini.


Sea