Sekali saja. Boleh, kan?
Angin berembus pelan menjatuhkan dedaunan rapuh dari inangnya. Suasana sekitar nampak begitu nyaman dan menenangkan. Udara terasa sejuk, tidak panas ataupun mendung membuat remaja laki-laki itu merasakan damai dalam dirinya.
Ia memejamkan matanya sejenak, sembari mencoba menikmati suasana alam di sekitar taman itu. Suara air di danau depannya, kicau burung di angkasa, serta pemandangan kupu-kupu terbang tak hentinya membuat hati kecil miliknya terasa bahagia.
Semua terasa nyaman dan menyenangkan hingga sebelum beberapa suara tertangkap di indera pendengarannya.
“Bunda.. Kejar ayah! Serang!! Hahahaha” teriak seorang anak kecil yang tampak familiar sekitar usia 6 di depannya.
Anak itu tampak menikmati kehangatan dari ayah bundanya. Mereka saling mengejar dan pura-pura menyerang sambil tertawa. Benar-benar tawa yang sangat membahagiakan selayaknya keluarga yang amat harmonis.
Brak!!!
“Sayang!” Teriak wanita cantik dari belakang tatkala melihat anak kecil itu terjatuh.
Sedangkan, sang ayah kini berlari mendekatinya seraya memperlihatkan kepanikan luar biasa.
“Adek gimana? Ada yang sakit? Tuh kan! Dibilangin ngeyel! Disuruh jangan lari-lari masiiih aja ngeyel. Nggak dengerin omongan Bunda” Wanita yang memanggil dirinya sebagai bunda itu bertanya dengan nada khawatir sembari mengecek setiap inchi dari tubuh putranya.
“Jagoan papa baik-baik aja? Ada yang luka? Udahan ya mainnya. Kita pulang. Sini ayah gendong” Laki-laki itu merentangkan tangannya sembari menampilkan senyum khas kebapakan yang amat kentara.
Dengan menggendong putranya di tangan kiri dan menggenggam tangan lembut istrinya di tangan kanan, mereka bertiga pergi menjauh. Tanpa memperdulikan tatapan kecewa dari sosok cilik dibelakang pohon besar.
Tanpa sadar, bocah cilik itu bermonolog dengan dirinya sendiri.
“Jadi Kak Marven enak, ya? Bisa main sama Ayah Bunda. Bisa ketawa bareng, diajarin belajar, dan bisa dipeluk kalau lagi kesakitan. Kalau untuk Jeno, jangankan dipeluk, ditatap dengan pandangan hangat saja tidak pernah. Apa karna Jeno berbeda ya? Kemarin Jeno denger kalau Ayah sama Om Dokter bertengkar. Om dokter bilang kalau Jeno itu spesial kaya martabak, tapi kalau ayah bilang, Jeno itu kesalahan. Hanya aib yang harus ayah tutupi. Jeno memang masih kecil, tapi Jeno paham apa yang dibilang ayah. Kayaknya itu sesuatu yang gak baik buat diketahui orang. Tapi biarpun begitu, apa nggak boleh kalau Jeno juga pengen disayang? Kata Om dokter, semua pekerjaan akan terasa ringan kalau dilakukan dengan hati yang lapang. Apa hidup Jeno juga akan ringan kalau Jeno udah bisa berhati lapang?”
Remaja itu menangis tergugu kala melihat anak kecil yang bersembunyi itu. Hatinya yang damai tiba-tiba terasa begitu menyesakkan ketika melihat sekelebat memori yang ingin dia lupakan bertahun silam. Saat ia bisa melihat tawa keluarganya tanpa ada hadirnya di sana.
“Ternyata enggak ringan... Jeno capek...” Remaja itu menangis sembari menunduk. Ingin rasanya ia berteriak. Tapi untuk apa? Menyalahkan takdir yang begitu kejam padanya? Oh tidak. Dia tidak pernah belajar untuk menjadi seseorang seperti itu.
Isakan itu terus bertahan hingga sebuah tangan mengelus punggungnya. Ia mendongak, menatap dua orang yang kini duduk di sisi kanan-kirinya.
“Eyang?” Tanya Jeno tidak yakin. Ia sendiri belum pernah bertemu dengan eyangnya kecuali dari foto yang terpampang di ruang keluarga.
“Sayangnya eyang, sini eyang peluk” Wanita yang mirip dengan ayahnya itu langsung memeluk Jeno erat.
Jeno memejamkan mata, mencoba menikmati sentuhan-sentuhan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
“Eyang... Jeno mau ikut eyang” Entah dapat kekuatan dari mana, tangis Jeno mulai pecah. Ia rasa hatinya kini ikut terbangun karena tangisan miliknya.
“Jagoan eyang mau ikut yang kung sama yang ti?” Tanya lelaki yang juga mirip ayahnya itu.
Jeno mengangguk. Kedua orang di sisinya itu memberikan kehangatan luar biasa bagi diri Jeno.
“Jeno boleh ikut eyang, tapi apa Jeno gak akan menyesal?” Tanya eyang putri.
“Kenapa Jeno harus menyesal? Di sini Jeno dapat kedamaian buat hati Jeno, sedangkan di sana, Jeno hidup tapi rasanya mati. Gak ada gunanya Jeno di sana. Ayah.. Bunda.. gak ada satupun yang menghargai keberadaan Jeno. Jeno udah cukup ngerasain sakit, Jadi Jeno gamau lagi hidup kalau buat rasa sakit aja. Untuk kali ini aja Jeno boleh egois, Kan?”
-Sea