-Sakit Sekali Rasanya.
Jeno menapaki lantai ruang utama ketika jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Hari ini adalah hari yang sangat berat baginya. Semuanya kacau.
Setelah berbicara dengan Jehan, ia menunggu bel pulang sekolah terlebih dahulu untuk mengambil tasnya. Ia kira itu adalah pilihan paling aman, namun nyatanya anak-anak sekolah elit itu masih menunggu eksistensinya.
Sepanjang koridor sekolah mewah itu, hanya ucapan sumpah serapah yang ia dapatkan. Tubuhnya yang lebam nampak lebih kacau ketika bersatu dengan sampah yang di lontarkan anak-anak padanya. Beragam coretan juga ia temui di meja kelasnya. Coretan tidak berguna, hanya berupa makian namun berhasil mengoyak jiwa Jeno.
“MATI SAJA”
Dengan langkah pelan, Jeno memasuki rumah besar itu. Tepat saat ia menaiki anak tangga yang pertama, seluruh lampu yang awalnya telah padam kini nyala terang benderang, hingga dengan jelas menampakkan sosok Jeffrey dan Anne di ujung tangga paling atas.
Badan Jeno bergetar hebat. Namun ia merasa telah lelah kali ini, hingga tak mampu lagi memunculkan kata-kata.
Perlahan Jeffrey mendekat ke arah Jeno. Lalu dengan gerakan lambat, ia membuka ikat pinggang yang ia kenakan.
CTARR!!
Ikat pinggang itu menghantam tubuh Jeno tanpa permisi. Jeno meringis, sakit sekali rasa tubuhnya kali ini. Bekas pukulan Jehan masih meninggalkan jejak ungu tesembunyi di dalam kaosnya, malah kini ia mendapat tambahan 'sayang' dari ayahnya.
CTARR!!! CTARRR! CTAAR!!
“Dasar anak bodoh. Berani kelayapan sekarang? Saya hanya memberimu izin untuk sekolah, dan kamu malah menjadi liar seperti ini. Kenapa pulang dengan wajah babak belur seperti ini? Ha? Mau jadi preman kamu?”
Jeffrey bertanya penuh penekanan. Jeno hanya diam, menikmati sensasi sakit luar biasa yang kini menghujani tubuhnya.
CTARRR!!
“JAWAB JENO! BISU KAMU?! KELAYAPAN TIDAK JELAS SETELAH MEMBUAT ONAR DI SEKOLAH! TIDAK BERGUNA KAMU!”
“Ma-af ay- yah” Jeno menunduk. Ia takut, ia sakit, ia merasa bersalah kali ini.
CTARR CTARRR CTARR!!!
“TIDAK BERGUNA SAYA MEMBERIMU HATI, JENO! KAMU HANYA SAMPAH! AIB BAGI SAYA! SUKA BUAT MASALAH! TIDAK BISA DIATUR! MEMALUKAN!!!!”
CTARR CTAAR!!! Sabetan ikat pinggang Jeffrey semakin beringas.
“KALAU DULU SAYA TAHU, BESAR NANTI KAMU AKAN JADI SEPERTI INI, SAYA TIDAK AKAN SUDI MEMBESARKANMU!”
CTARR! “ANAK CACAT! TIDAK TAHU DIUNTUNG! PERNAH SAYA MENGAJARIMU UNTUK MENJADI PREMAN SEPERTI INI?”
“MEMANGNYA AYAH PERNAH NGAJARIN JENO APA?!”
Jeffrey tertegun. Itu suara Jeno. Untuk pertama kalinya suara anak itu menembus segala penjuru ruang megah itu.
“JENO TANYA SAMA AYAH. EMANGNYA AYAH SAMA BUNDA PERNAH NGAJARIN APA KE JENO SELAMA INI?”
Hening. Benar-benar hening. Beberapa maid bahkan menunduk melihat keadaan keluarga tuannya itu.
“GAK ADA!!! SELAMA INI YANG AYAH SAMA BUNDA CUMAN NUNTUT KESEMPURNAAN DARI DIRI JENO, TAPI AYAH SAMA BUNDA GAK NGASIH PENGERTIAN KE JENO, GAK NGASIH PELAJARAN KE JENO TENTANG GIMANA JADI SEMPURNA SESUAI APA MAU AYAH DAN BUNDA!”
“AYAH SAMA BUNDA CUMAN MENANAMKAM KATA KATA KE JENO, KALAU JENO CACAT! JENO PERLU SADAR DIRI! JENO SAMPAH!”
Kalimat dengan nada tinggi itu berhasil merambat, menggelitik ke dalam hati Anne dan Jeff hingga membuat mereka berdua hanya bisa terdiam.
“Dulu, dokter Damar pernah bilang ke Jeno. Jeno harus bisa belajar memahami perasaan orang, biar Jeno bisa tahu bagaimana rasa dicintai dan di sayangi sama ayah dan bunda. Tapi, kenapa cuman rasa sakit yang Jeno rasakan saat ini, Ayah... Kenapa...”
Jeno luruh, terduduk di lantai sambil menangis. Tangannya tak henti untuk memukul dadanya yang terasa sesak.
Pertama kalinya bagi Anne, ia merasa terluka melihat keadaan Jeno seperti ini. Ingin rasanya ia memeluk putra bungsu yang telah ia buang belasan tahun itu. Namun egonya masih terlalu tinggi.
Dirasa napasnya mulai membaik, Jeno berdiri. Tangannya meraih vas bunga di meja terdekat lalu memecahkannya.
PYARR!!!!
“JENO, APA YANG KAU LAKUKAN?!” Anne berteriak ketika melihat tangan Jeno berlumuran darah.
Dengan langkah pasti, Jeno berjalan ke arah Jeff. Lalu menggenggamkan pecahan vas itu ke tangan Jeff.
“Bunuh Jeno ayah... BUNUH JENO!!!!” Jeno berteriak seperti kesetanan di depan Jeff. Tangannya tadi ia genggamkan kepada tangan Jeff agar bisa menggerakkan tangan ayahnya itu menuju lehernya.
Jeff menutup matanya sejenak. Rasanya sangat sakit ketika anaknya sendiri datang memintanya untuk membunuhnya.
“KENAPA AYAH GAK MAU?! AYAH BELUM PUAS LIHAT JENO KESIKSA KAYA GINI?! AYAH BELUM PUAS UNTUK MENYAKITI JENO?! AYO BUNUH JENO! BIAR SAMPAH DI KELUARGA AYAH HILANG. BIAR GAK ADA LAGI AIB DI KELUARGA AYAH! BIAR KELUARGA AYAH JADI KELUARGA PALING SEMPURNA!! BUNUH JENO!! BUNUH!!!”
Jeff sebisa mungkin menahan gerakan tangan Jeno yang terus berusaha memaksa tangan Jeff untuk menusukkan pecahan vas itu pada leher Jeno sendiri.
“TOLONG PANGGIL AMBULAN, CEPAT!!!” Jeff berteriak kepada bodyguard yang ada di sana ketika melihat Jeno mulai merintih, dan napasnya tersengal hebat.
“ADEK!! AYAHH!!!”
Pintu utama terbuka menampilkam Marven yang datangan secara tiba-tiba.
“Adek stop! Jangan lakuin itu! Ada kakak di sini sama adek.”
Marven berusaha mendekati Jeno. Benar saja, tiba-tiba pergerakan Jeno kepada Jeff berhenti. Namun diganti dengan raungan kesakitan dari Jeno.
“Aarghhh..en nggak hah kakak jangan hah dekati Jeno.. Jeno takut hah.. Jeno takut di pukul ayah.. hah hah.. rasanya hah sakit banget” Jeno berujar kepada Marven di sela-sela napasnya yang semakin tidak terkontrol.
Jeffrey tertegun. Hatinya benar-benar tercubit kali ini.
“Jeno..” Jeff mendudukkan dirinya, berusaha meraih pundak Jeno.
“Ma-af ayah.. ma aff je jeno gak akan ganggu kak Marven, ay yah Jeno minta maaf akhh uhuk uhuk..”
Semua orang yang ada di sana semakin panik ketika melihat Jeno memuntahkan begitu banyak darah dari mulutnya.
“Jeno..” Jeff berusaha menepuk pipi Jeno agar menjaga anak itu tetap sadar.
“Sakit.. sakit banget... Jeno udah gak kuat... Maaf.. Maafin kehadiran Jeno... Maaf.. Ma..af”
Perkataan lirih itu terhenti, tepat diakhir kelimat bersamaan dengan menutupnya dua kelopak indah itu.
-Sea