Seantara

-Sakit Sekali Rasanya.

Jeno menapaki lantai ruang utama ketika jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Hari ini adalah hari yang sangat berat baginya. Semuanya kacau.

Setelah berbicara dengan Jehan, ia menunggu bel pulang sekolah terlebih dahulu untuk mengambil tasnya. Ia kira itu adalah pilihan paling aman, namun nyatanya anak-anak sekolah elit itu masih menunggu eksistensinya.

Sepanjang koridor sekolah mewah itu, hanya ucapan sumpah serapah yang ia dapatkan. Tubuhnya yang lebam nampak lebih kacau ketika bersatu dengan sampah yang di lontarkan anak-anak padanya. Beragam coretan juga ia temui di meja kelasnya. Coretan tidak berguna, hanya berupa makian namun berhasil mengoyak jiwa Jeno.

“MATI SAJA”


Dengan langkah pelan, Jeno memasuki rumah besar itu. Tepat saat ia menaiki anak tangga yang pertama, seluruh lampu yang awalnya telah padam kini nyala terang benderang, hingga dengan jelas menampakkan sosok Jeffrey dan Anne di ujung tangga paling atas.

Badan Jeno bergetar hebat. Namun ia merasa telah lelah kali ini, hingga tak mampu lagi memunculkan kata-kata.

Perlahan Jeffrey mendekat ke arah Jeno. Lalu dengan gerakan lambat, ia membuka ikat pinggang yang ia kenakan.

CTARR!!

Ikat pinggang itu menghantam tubuh Jeno tanpa permisi. Jeno meringis, sakit sekali rasa tubuhnya kali ini. Bekas pukulan Jehan masih meninggalkan jejak ungu tesembunyi di dalam kaosnya, malah kini ia mendapat tambahan 'sayang' dari ayahnya.

CTARR!!! CTARRR! CTAAR!!

“Dasar anak bodoh. Berani kelayapan sekarang? Saya hanya memberimu izin untuk sekolah, dan kamu malah menjadi liar seperti ini. Kenapa pulang dengan wajah babak belur seperti ini? Ha? Mau jadi preman kamu?”

Jeffrey bertanya penuh penekanan. Jeno hanya diam, menikmati sensasi sakit luar biasa yang kini menghujani tubuhnya.

CTARRR!!

“JAWAB JENO! BISU KAMU?! KELAYAPAN TIDAK JELAS SETELAH MEMBUAT ONAR DI SEKOLAH! TIDAK BERGUNA KAMU!”

“Ma-af ay- yah” Jeno menunduk. Ia takut, ia sakit, ia merasa bersalah kali ini.

CTARR CTARRR CTARR!!!

“TIDAK BERGUNA SAYA MEMBERIMU HATI, JENO! KAMU HANYA SAMPAH! AIB BAGI SAYA! SUKA BUAT MASALAH! TIDAK BISA DIATUR! MEMALUKAN!!!!”

CTARR CTAAR!!! Sabetan ikat pinggang Jeffrey semakin beringas.

“KALAU DULU SAYA TAHU, BESAR NANTI KAMU AKAN JADI SEPERTI INI, SAYA TIDAK AKAN SUDI MEMBESARKANMU!”

CTARR! “ANAK CACAT! TIDAK TAHU DIUNTUNG! PERNAH SAYA MENGAJARIMU UNTUK MENJADI PREMAN SEPERTI INI?”

“MEMANGNYA AYAH PERNAH NGAJARIN JENO APA?!”

Jeffrey tertegun. Itu suara Jeno. Untuk pertama kalinya suara anak itu menembus segala penjuru ruang megah itu.

“JENO TANYA SAMA AYAH. EMANGNYA AYAH SAMA BUNDA PERNAH NGAJARIN APA KE JENO SELAMA INI?”

Hening. Benar-benar hening. Beberapa maid bahkan menunduk melihat keadaan keluarga tuannya itu.

“GAK ADA!!! SELAMA INI YANG AYAH SAMA BUNDA CUMAN NUNTUT KESEMPURNAAN DARI DIRI JENO, TAPI AYAH SAMA BUNDA GAK NGASIH PENGERTIAN KE JENO, GAK NGASIH PELAJARAN KE JENO TENTANG GIMANA JADI SEMPURNA SESUAI APA MAU AYAH DAN BUNDA!”

“AYAH SAMA BUNDA CUMAN MENANAMKAM KATA KATA KE JENO, KALAU JENO CACAT! JENO PERLU SADAR DIRI! JENO SAMPAH!”

Kalimat dengan nada tinggi itu berhasil merambat, menggelitik ke dalam hati Anne dan Jeff hingga membuat mereka berdua hanya bisa terdiam.

“Dulu, dokter Damar pernah bilang ke Jeno. Jeno harus bisa belajar memahami perasaan orang, biar Jeno bisa tahu bagaimana rasa dicintai dan di sayangi sama ayah dan bunda. Tapi, kenapa cuman rasa sakit yang Jeno rasakan saat ini, Ayah... Kenapa...”

Jeno luruh, terduduk di lantai sambil menangis. Tangannya tak henti untuk memukul dadanya yang terasa sesak.

Pertama kalinya bagi Anne, ia merasa terluka melihat keadaan Jeno seperti ini. Ingin rasanya ia memeluk putra bungsu yang telah ia buang belasan tahun itu. Namun egonya masih terlalu tinggi.

Dirasa napasnya mulai membaik, Jeno berdiri. Tangannya meraih vas bunga di meja terdekat lalu memecahkannya.

PYARR!!!!

“JENO, APA YANG KAU LAKUKAN?!” Anne berteriak ketika melihat tangan Jeno berlumuran darah.

Dengan langkah pasti, Jeno berjalan ke arah Jeff. Lalu menggenggamkan pecahan vas itu ke tangan Jeff.

“Bunuh Jeno ayah... BUNUH JENO!!!!” Jeno berteriak seperti kesetanan di depan Jeff. Tangannya tadi ia genggamkan kepada tangan Jeff agar bisa menggerakkan tangan ayahnya itu menuju lehernya.

Jeff menutup matanya sejenak. Rasanya sangat sakit ketika anaknya sendiri datang memintanya untuk membunuhnya.

“KENAPA AYAH GAK MAU?! AYAH BELUM PUAS LIHAT JENO KESIKSA KAYA GINI?! AYAH BELUM PUAS UNTUK MENYAKITI JENO?! AYO BUNUH JENO! BIAR SAMPAH DI KELUARGA AYAH HILANG. BIAR GAK ADA LAGI AIB DI KELUARGA AYAH! BIAR KELUARGA AYAH JADI KELUARGA PALING SEMPURNA!! BUNUH JENO!! BUNUH!!!”

Jeff sebisa mungkin menahan gerakan tangan Jeno yang terus berusaha memaksa tangan Jeff untuk menusukkan pecahan vas itu pada leher Jeno sendiri.

“TOLONG PANGGIL AMBULAN, CEPAT!!!” Jeff berteriak kepada bodyguard yang ada di sana ketika melihat Jeno mulai merintih, dan napasnya tersengal hebat.

“ADEK!! AYAHH!!!”

Pintu utama terbuka menampilkam Marven yang datangan secara tiba-tiba.

“Adek stop! Jangan lakuin itu! Ada kakak di sini sama adek.”

Marven berusaha mendekati Jeno. Benar saja, tiba-tiba pergerakan Jeno kepada Jeff berhenti. Namun diganti dengan raungan kesakitan dari Jeno.

“Aarghhh..en nggak hah kakak jangan hah dekati Jeno.. Jeno takut hah.. Jeno takut di pukul ayah.. hah hah.. rasanya hah sakit banget” Jeno berujar kepada Marven di sela-sela napasnya yang semakin tidak terkontrol.

Jeffrey tertegun. Hatinya benar-benar tercubit kali ini.

“Jeno..” Jeff mendudukkan dirinya, berusaha meraih pundak Jeno.

“Ma-af ayah.. ma aff je jeno gak akan ganggu kak Marven, ay yah Jeno minta maaf akhh uhuk uhuk..”

Semua orang yang ada di sana semakin panik ketika melihat Jeno memuntahkan begitu banyak darah dari mulutnya.

“Jeno..” Jeff berusaha menepuk pipi Jeno agar menjaga anak itu tetap sadar.

“Sakit.. sakit banget... Jeno udah gak kuat... Maaf.. Maafin kehadiran Jeno... Maaf.. Ma..af”

Perkataan lirih itu terhenti, tepat diakhir kelimat bersamaan dengan menutupnya dua kelopak indah itu.

-Sea

Jeno terduduk lesu di bawah pohon besar kesukaannya itu. Baru saja ia keluar dari ruangan Pak Jovan, guru BK nya.

Jeno menghembuskan nafasnya kasar. Perkataan Pak Jovan terngiang-ngiang di kepalanya.

/flashback/

“Kamu ini, sudah baik sekolah se elit ini menerima siswa cacat seperti kamu. Tapi kamu malah melunjak. Benar. Memang semuanya itu harus sesuai kadarnya ya? Siswa seperti kamu tidak layak belajar disini. Layaknya di sana, di SLB.”

“Heran saya, mengapa jajaran direksi sekelas Pak Gautama Wangsa mau memasukkanmu ke sekolah ini.”

“Anak cacat, tidak mempunyai akal pikiran, bodoh, bahkan berani bermain kotor. Kalau seperti ini, besar nanti kamu mau jadi apa? Sampah masyarakat iya?”

“Oh saya salah. Seharusnya saya tidak bertanya besar nanti jadi apa. Karena orang-orang seperti kamu itu tidak layak untuk hidup.”

–//-

Jeno memandang kosong taman di depannya. Rasanya ia ingin menangis meraung kali ini. Rasanya sakit sekali. Kenapa Tuhan memberika skenario seperti ini padanya? Apa benar yang dibicarakan Pak Jovan? Jeno tidak layak untuk hidup?

Bughh!!!

“Eh si cacat. Sorry tadi gue lagi pemanasan. Tapi gatau aja nih tangan gue mlese, gasengaja nonjok muka lo”

Seorang siswa berbadan besar itu mendekati Jeno, menjelaskan dengan senyum meremehkan.

“Jangan gitu dong, bro! Kasian tuh. Mukanya ntar gosong, nanges wkwkwk” Sahut lainnya.

“Lo gapapa?” Tanya siswa lainnya dengan wajah pura-pura yang amat kentara.

“Haduh Bi, gausah ditanya. Mana paham si cacat sama bahasa manusia hahaha” sahut siswa bername tag Angga kepada siswa bernama Abiyasa.

“Ups sorry. Gue lupa hehe” jawabnya remeh.

“Seret dia ke gudang. Dan jaga dari luar.” Sahut ketua perkumpulan itu tiba-tiba.

“Gak mau. Jeno mau pergi” Jeno berdiri mencoba meninggalkan tempat yang berisi manusia jelmaan setan itu. Namun sebesar apapun usahanya, Jeno masih kalah dengan seretan 3 orang sekaligus yang membawanya menuju gudang belakang sekolah itu.

“Mau kemana, lo?”

“Jeno mau balik ke kelas” Jeno menjawab. Sejujurnya, Jeno saat ini cukup takut mengingat ia sendiri dan siswa yang membersamai lawannya begitu banyak.

“Gue gak kasih lo izin.”

“Tapi Jeno gaperlu izin sama Jehan!” Entah dapat kekuatan dari mana, suara Jeno meninggi menyahuti Jehan, teman sekelasnya yang merupakan ketua dari anak-anak nakal itu.

Bugh!!

“Berani lo sama gue?”

Jehan meninju muka Jeno menyebabkan bibir ranum milik Jeno berdarah.

“Jeno ada salah apa sama Jehan?”

“Lo? Lo ga ada salah sama gue. Tapi bokap lo! Bokap lo penghancur keluarga gue, Jeno!”

“Jeno gak tahu apa maksud Jehan”

Bugh!! Bugh!!

Jehan kembali memukul Jeno, tapi kali ini bukan pada wajah, melainkan pada area perut.

“SINI GUE KASIH TAU!” Tangan Jehan menjambak rambut Jeno kuat agar ia bisa menatap mata Jeno dengan dekat.

“KELUARGA GUE HANCUR KARENA BOKAP LO JENO! ANDAI WAKTU ITU BOKAP LO GAK NARIK INVESTASI KE PERUSAHAAN BOKAP GUE, SEKARANG NYOKAP GUE PASTI MASIH ADA DISINI. JEFFREY, BAJINGAN ITU MENARIK SEMUA UANGNYA SAAT KEADAAN PERUSAHAAN BOKAP KACAU DAN BERHASIL MEMBUAT SEMUANYA BERANTAKAN!”

Jehan menatap Jeno. Matanya nampak merah memanas mengeluarkan seluruh amarahnya. Cengkraman pada kepala itu juga menjadi lebih kencang.

“NYOKAP GUE GILA KARENA BOKAP BANGKRUT! DAN LO TAHU? NYOKAP GUE.. IBU GUE BUNUH DIRI JENO!!! DAN ITU KARENA JEFFREY BAJINGAN SIALAN ITU!AARGHHHH BANGSAT!! BANGSAT!!!”

Jehan berteriak kesetanan. Tangannya melepaskan jambakan pada rambut Jeno. Namun, dengan sigap ia kembali mendekati Jeno. Melayangkan pukulan membabi buta ke badan Jeno.

BUGHH!! BUGH!! BUGHH!!!

“JEFFREY BANGSAT!!!”

BUGH!! BUGH!! BUGH!!!

“MATI KAU JEFFRANO! BIARKAN JEFFREY MERASAKAN KEHILANGAN SEPERTI YANG GUE RASAKAN!!!!”

BUGH!!BUGH!!BUGH!!!

BRAKK!!!

Pintu gudang terbuka paksa menghadirkan Hadinata dengan pandangannya nyalang pada Jehan.

BUGH!!!

“BANGSAT SIALAN LO, JE!”

Tanpa ba bi bu, Hadinata langsung menonjok balik Jehan. Suasana di sana sangat kacau. Naran dan Juan masih berkelahi di luar melawan komplotan Jehan. Sedangkan di dalam gudang, Hadinata dan Jehan terlihat sama-sama beringas untuk saling membunuh.

Suasana kacau itu terus berlanjut hingga suara Jeno mengalihkan mereka semua.

“BERHENTI HADIN!!!! Berhenti Jeno mohon...”
Anak itu menatap Hadinata dengan wajah yang amat sangat memelas.

Hadinata tersentak melihat keadaan Jeno. Lebam dan darah dimana-mana. Ia menyesal, Harusnya ia tadi memperdulikan keadaan Jeno terlebih dahulu.

“Jen, gak papa? ada yang sakit? Kita ke rumah sakit sekarang”

“Gak perlu. Hadin cuman perlu berhenti buat mukulin Jehan lagi.”

Hadinata melengoh mendengar permintaan Jeno. Lalu ia pandangi sosok Jehan yang kini sudah berbaring dengan luka memar tak kalah banyak dari Jeno.

“Kita pergi sekarang!”

Hadin mencoba membantu Jeno berdiri.

“Gak usah. Hadin duluan aja. Tinggalin Jeno sebentar sama Jehan”

“Jen..”

“Kak Hadin... Jeno mohon, kali ini aja” Jeno mengajukan permintaan kepada Hadin. Nafas Jeno terdengar tersengal, matanya juga memerah menahan air mata. Jujur saja, Hadinata tidak ingin meninggalkan anak itu sendirian. Tapi kali ini, pertama,kalinya anak itu meminta sesuatu secara serius seperti ini.

“Fine.”

Hadinata menoleh, lalu dengan langkah berat ia meninggalkan gudang itu.

Suasana hening sepeninggal Hadinata. Kekehan kecil keluar dari mulut Jehan.

“Kenapa? Lo mau ketawain gue? Ketawa aja sampai puas. Gue hancur, hidup gue juga udah hancur. Bunuh gue aja, gue ikhlas. Toh gak akan ada yang akan nangisin gue” Jehan mengucapkan kalimat itu seperti orang bercanda. Matanya menatap kosong atap gudang itu, sedangkan pelupuknya tak bisa membendunga air mata miliknya.

“Jeno minta maaf. Jeno minta maaf atas kesalahan Ayah Jeff. Jeno minta maaf kalau ayah udah ngehancurin dunia milik Jehan. Jeno minta maaf. Kalau Jehan mau balas dendam, silahkan. Jehan bisa balas kesalahan ayah ke Jeno. Jehan bisa bunuh Jeno. Tapi asal Jehan tahu, kelakuan Jehan hari ini cuman akan ngerugiin diri Jehan. Karena posisi kita sama, tidak akan ada yang menangisi kita apabila kita pergi.”

Jehan menatap mata itu. Mata yang ternyata redup seperti matanya. Mata itu sama dengan miliknya ; penuh dengan keputus asaan. Apakah ia telah membuat kesalahan hari ini?

-Sea

The reason

Jeno terduduk lesu di bawah pohon besar kesukaannya itu. Baru saja ia keluar dari ruangan Pak Jovan, guru BK nya.

Jeno menghembuskan nafasnya kasar. Perkataan Pak Jovan terngiang-ngiang di kepalanya.

“Kamu ini, sudah baik sekolah se elit ini menerima siswa cacat seperti kamu. Tapi kamu malah melunjak. Benar. Memang semuanya itu harus sesuai kadarnya ya? Siswa seperti kamu tidak layak belajar disini. Layaknya di sana, di SLB.”

“Heran saya, mengapa jajaran direksi sekelas Pak Gautama Wangsa mau memasukkanmu ke sekolah ini.”

“Anak cacat, tidak mempunyai akal pikiran, bodoh, bahkan berani bermain kotor. Kalau seperti ini, besar nanti kamu mau jadi apa? Sampah masyarakat iya?”

“Oh saya salah. Seharusnya saya tidak bertanya besar nanti jadi apa. Karena orang-orang seperti kamu itu tidak layak untuk hidup.”

Jeno memandang kosong taman di depannya. Rasanya ia ingin menangis meraung kali ini. Rasanya sakit sekali. Kenapa Tuhan memberika skenario seperti ini padanya? Apa benar yang dibicarakan Pak Jovan? Jeno tidak layak untuk hidup?

Bughh!!!

“Eh si cacat. Sorry tadi gue lagi pemanasan. Tapi gatau aja nih tangan gue mlese, gasengaja nonjok muka lo”

Seorang siswa berbadan besar itu mendekati Jeno, menjelaskan dengan senyum meremehkan.

“Jangan gitu dong, bro! Kasian tuh. Mukanya ntar gosong, nanges wkwkwk” Sahut lainnya.

“Lo gapapa?” Tanya siswa lainnya dengan wajah pura-pura yang amat kentara.

“Haduh Bi, gausah ditanya. Mana paham si cacat sama bahasa manusia hahaha” sahut siswa bername tag Angga kepada siswa bernama Abiyasa.

“Ups sorry. Gue lupa hehe” jawabnya remeh.

“Seret dia ke gudang. Dan jaga dari luar.” Sahut ketua perkumpulan itu tiba-tiba.

“Gak mau. Jeno mau pergi” Jeno berdiri mencoba meninggalkan tempat yang berisi manusia jelmaan setan itu. Namun sebesar apapun usahanya, Jeno masih kalah dengan seretan 3 orang sekaligus yang membawanya menuju gudang belakang sekolah itu.

“Mau kemana, lo?”

“Jeno mau balik ke kelas” Jeno menjawab. Sejujurnya, Jeno saat ini cukup takut mengingat ia sendiri dan siswa yang membersamai lawannya begitu banyak.

“Gue gak kasih lo izin.”

“Tapi Jeno gaperlu izin sama Jehan!” Entah dapat kekuatan dari mana, suara Jeno meninggi menyahuti Jehan, teman sekelasnya yang merupakan ketua dari anak-anak nakal itu.

Bugh!!

“Berani lo sama gue?”

Jehan meninju muka Jeno menyebabkan bibir ranum milik Jeno berdarah.

“Jeno ada salah apa sama Jehan?”

“Lo? Lo ga ada salah sama gue. Tapi bokap lo! Bokap lo penghancur keluarga gue, Jeno!”

“Jeno gak tahu apa maksud Jehan”

Bugh!! Bugh!!

Jehan kembali memukul Jeno, tapi kali ini bukan pada wajah, melainkan pada area perut.

“SINI GUE KASIH TAU!” Tangan Jehan menjambak rambut Jeno kuat agar ia bisa menatap mata Jeno dengan dekat.

“KELUARGA GUE HANCUR KARENA BOKAP LO JENO! ANDAI WAKTU ITU BOKAP LO GAK NARIK INVESTASI KE PERUSAHAAN BOKAP GUE, SEKARANG NYOKAP GUE PASTI MASIH ADA DISINI. JEFFREY, BAJINGAN ITU MENARIK SEMUA UANGNYA SAAT KEADAAN PERUSAHAAN BOKAP KACAU DAN BERHASIL MEMBUAT SEMUANYA BERANTAKAN!”

Jehan menatap Jeno. Matanya nampak merah memanas mengeluarkan seluruh amarahnya. Cengkraman pada kepala itu juga menjadi lebih kencang.

“NYOKAP GUE GILA KARENA BOKAP BANGKRUT! DAN LO TAHU? NYOKAP GUE.. IBU GUE BUNUH DIRI JENO!!! DAN ITU KARENA JEFFREY BAJINGAN SIALAN ITU!AARGHHHH BANGSAT!! BANGSAT!!!”

Jehan berteriak kesetanan. Tangannya melepaskan jambakan pada rambut Jeno. Namun, dengan sigap ia kembali mendekati Jeno. Melayangkan pukulan membabi buta ke badan Jeno.

BUGHH!! BUGH!! BUGHH!!!

“JEFFREY BANGSAT!!!”

BUGH!! BUGH!! BUGH!!!

“MATI KAU JEFFRANO! BIARKAN JEFFREY MERASAKAN KEHILANGAN SEPERTI YANG GUE RASAKAN!!!!”

BUGH!!BUGH!!BUGH!!!

BRAKK!!!

Pintu gudang terbuka paksa menghadirkan Hadinata dengan pandangannya nyalang pada Jehan.

BUGH!!!

“BANGSAT SIALAN LO, JE!”

Tanpa ba bi bu, Hadinata langsung menonjok balik Jehan. Suasana di sana sangat kacau. Naran dan Juan masih berkelahi di luar melawan komplotan Jehan. Sedangkan di dalam gudang, Hadinata dan Jehan terlihat sama-sama beringas untuk saling membunuh.

Suasana kacau itu terus berlanjut hingga suara Jeno mengalihkan mereka semua.

“BERHENTI HADIN!!!! Berhenti Jeno mohon...”
Anak itu menatap Hadinata dengan wajah yang amat sangat memelas.

Hadinata tersentak melihat keadaan Jeno. Lebam dan darah dimana-mana. Ia menyesal, Harusnya ia tadi memperdulikan keadaan Jeno terlebih dahulu.

“Jen, gak papa? ada yang sakit? Kita ke rumah sakit sekarang”

“Gak perlu. Hadin cuman perlu berhenti buat mukulin Jehan lagi.”

Hadinata melengoh mendengar permintaan Jeno. Lalu ia pandangi sosok Jehan yang kini sudah berbaring dengan luka memar tak kalah banyak dari Jeno.

“Kita pergi sekarang!”

Hadin mencoba membantu Jeno berdiri.

“Gak usah. Hadin duluan aja. Tinggalin Jeno sebentar sama Jehan”

“Jen..”

“Kak Hadin... Jeno mohon, kali ini aja” Jeno mengajukan permintaan kepada Hadin. Nafas Jeno terdengar tersengal, matanya juga memerah menahan air mata. Jujur saja, Hadinata tidak ingin meninggalkan anak itu sendirian. Tapi kali ini, pertama,kalinya anak itu meminta sesuatu secara serius seperti ini.

“Fine.”

Hadinata menoleh, lalu dengan langkah berat ia meninggalkan gudang itu.

Suasana hening sepeninggal Hadinata. Kekehan kecil keluar dari mulut Jehan.

“Kenapa? Lo mau ketawain gue? Ketawa aja sampai puas. Gue hancur, hidup gue juga udah hancur. Bunuh gue aja, gue ikhlas. Toh gak akan ada yang akan nangisin gue” Jehan mengucapkan kalimat itu seperti orang bercanda. Matanya menatap kosong atap gudang itu, sedangkan pelupuknya tak bisa membendunga air mata miliknya.

“Jeno minta maaf. Jeno minta maaf atas kesalahan Ayah Jeff. Jeno minta maaf kalau ayah udah ngehancurin dunia milik Jehan. Jeno minta maaf. Kalau Jehan mau balas dendam, silahkan. Jehan bisa balas kesalahan ayah ke Jeno. Jehan bisa bunuh Jeno. Tapi asal Jehan tahu, kelakuan Jehan hari ini cuman akan ngerugiin diri Jehan. Karena posisi kita sama, tidak akan ada yang menangisi kita apabila kita pergi.”

Jehan menatap mata itu. Mata yang ternyata redup seperti matanya. Mata itu sama dengan miliknya ; penuh dengan keputus asaan. Apakah ia telah membuat kesalahan hari ini?

-Sea

(60) Tidak sendirian

Keempat remaja tanggung itu berjalan memasuki pintu utama dengan Hadin yang tampak sebagai pemimpin jalan.

Pandangan elangnya ia edarkan ke seluruh penjuru ruang megah itu, hingga matanya menangkap sosok yang amat familiar yang membawa nampan berisi makanan.

“Buat Jeno, Mbok?”

“Astaghfirullahaladzim Den Hadin ngagetin saya aja. Untung tidak jatuh ini mangkuk”

Si Mbok malah menampilkan ekspresi yang membuat Hadin terkekeh geli.

“Aden datang sama siapa? Pertama kali bawa pasukan”

Mbok mencoba mencairkan suasana ketika ia melihat wajah canggung dari remaja lain di sana.

“Ini teman Jeno. Namanya Naran, Juan, sama Isvara”

“Haloo Mbok, saya Naran” Narayan mencoba memulai perkenalan.

“Haduh.. kalian ini gausah sungkan-sungkan.” Mbok Inah mencoba memberikan senyum terbaiknya.

“Udah izin bapak kan, Den?”

“Udah”

“Yaudah ke atas dulu aja.”

“Sini mbok, Hadin bawain aja nampannya.”

“Makasih ya Den. Mbok bentar lagi nyusul sambil bawa kompresan baru. Aden sama temennya duluan aja”

“Siap mbok”


Setelah sampai di lantai dua, Hadin langsung membawa ketiga temannya ke kamar yang terletak tak jauh dari tangga utama.

Cklek

Pintu kamar itu terbuka menampilkan kamar mewah luas yang bernuansa biru. Benar-benar membuat takjub.

Namun, tak sempat mengagumi lebih lanjut desain interior itu, ada satu hal yang paling menarik perhatian semua remaja itu.

Seseorang itu nampak tertidur pulas ditelan selimut sembari diatas hidungnya bertengger apik alat bantu pernafasan.

“Mbok kok gak bilang Hadin kalau Jeno sakitnya kaya gini?”

Hadin memburu Mbok Inah yang baru saja sampai membawa kompresan baru.

“Kemarin malam Den Jeno pingsan pas bareng Bapak.”

Satu kalimat dari Mbok Inah yang langsung membuat Hadin mengerti.

“Ha-din? Kok bisa disini?”

Suara lemah itu meraih atensi semua mata.

“Jeno gak papa?”

Isvara mendekat sembari bertanya. Jeno mengangguk kecil.

“Masih ada yang sakit? Mau gue telfonin bokap gue?” Tanya Naran.

“Nggausah. Udah diperiksa sama om dokter”

“Lo mau apa? Gue jajanin deh segrobaknya kalau perlu”

Juan juga bertanya pada Jeno.

“Jeno pengen nyoba seblak”

“HEH BOCIL!ENGGAK SEBLAK-SEBLAKAN. YANG ADA LO YANG BAKAL GUE SEBLAK”

Hadin langsung memutus keinginan Jeno. Membuat Jeno cemberut.

“Gapapa gak dibolehin Hadin. Ntar belinya sama gue. Yang penting sembuh dulu.” Juan berusaha menghibur.

“Beneran?” Jeno bertanya dengan mata yang berbinar dan juan mengangguk sembari tersenyum sebagai balasan.

“Wahhh jagoan om udah bangun nih?” Sebuah suara asing menyapa dari depan pintu kamar.

“Bentar ya, saya mau periksa Jeno sebentar”

Keempat remaja itu memberikan ruang kepada Damar untuk memeriksa keadaan Jeno.

“Dicoba dibuka ya maskernya. Diganti pakai nasal canula aja.”

Jeno mengangguk.

“Masih ada yang sakit?”

Damar bertanya. Jeno hanya menggeleng.

“Perasan Jeno sekarang bagaimana?”

“Mmm.. sekarang Jeno bahagia. Karena ternyata ada banyak orang yang sayang sama Jeno. Jeno gak sendirian saat bangun. Dan itu rasanya melegakan”

-Sea

(54)

-Belajar, Jeff

Damar menatap remaja yang sudah ia anggap sebagai anaknya itu dengan tatapan lembut. Anak itu sudah siuman, namun keadaannya masih belum membaik, bahkan saat ini ia diberikan bantuan oxygen agar tetap bisa bernafas.

Dadanya terlihat naik turun tak teratur. Kadang terlihat begitu cepat, kadang bisa nampak dan hilang.

Dan jangan lupakan ruam yang muncul di kulit anak itu belum juga membaik.

“Anak itu penyakitan apa lagi? Kenapa ruam-ruam?” Jeff bertanya pada Damar setelah melihat batang hidung temannya itu di ruang tamu.

“Apa Jeno habis dari ruangan kotor?” Tanya Damar balik.

“Gak tau.” Jeff nampak abai.

“Kalau anaknya sadar, coba tanya. Barangkali dia habis nglakuin sesuatu yang bikin ruam. Jadi biar cepet bisa tahu apa alergi yang dipunya dan penanganannnya”

“Hmm”

Hening sejenak.

“Jeno kenapa?” Damar malah bertanya balik pada Jeff.

“Apanya?” Jeff bertanya balik.

“Bukan lo, kan?”

“Itu gue” suara Jeff melirih namun masih sempat tertangkap oleh telinga Damar.

“Gak nyangka gue bisa sahabatan sama setan semacam Lo Jeff. Gue kecewa..”

“Lo gak tau Dam gimana rasanya jadi gue. Andai dia gak lahir.. Andai dia gak pernah lahir.. Keluarga gue pasti bakal jadi keluarga paling sempurna. Paling bahagia.”

“GOBLOK LO JEFF!”

“KALAU ANAK ITU NGGAK LAHIR, PASTI NYOKAP BOKAP GUE MASIH ADA DI SINI DAM!!!”

“Astaghfirullah, Nyebut Jeff! Itu semu kecelakaan.”

“Tapi kecelakaan itu terjadi waktu mereka mau lihat Jeno lahir. Dan itu terjadi karena anak pembawa sial itu.”

“Gak ada yang namanya anak pembawa sial, Jeff. Semua anak itu lahir sebagai berkah. Kalau lo mikir bahwa Om Dana dan Tante Elina meninggal karena mau jenguk Jeno, kenapa lo juga gak salahin Anne? Hari itu, Jeno lahir dari rahim Anne, Jeff!”

Jeffrey terdiam memikirkan jawaban untuk Damar. Namun belum sempat Ia menjawab, Damar terlebih dahulu memotong pikirannya.

“Satu-satunya alasan kenapa lo gak pernah mikir kesana bukan karena sejatinya lo salahin Jeno sebagai penyebab meninggalnya om dan tante, tapi karena harga diri lo yang terlalu tinggi untuk menerima keistimewaan Jeno. Jeff, gue gapernah capek buat selalu ingetin Lo. Jeno itu berharga. Jeno udah belajar untuk jadi sempurna sesuai presepsi perfect bagi kalian. Sekarang saatnya Lo dan Anne juga belajar gimana caranya ngehargai eksistensi Jeno.”

“Gue pamit duluan.”

Pungkas Damar pamit, meninggalkan jejak pikiran yang mengelana dalam kepala Jeffrey.

-Sea

(53)

Damar menatap remaja yang sudah ia anggap sebagai anaknya itu dengan tatapan lembut. Anak itu sudah siuman, namun keadaannya masih belum membaik, bahkan saat ini ia diberikan bantuan oxygen agar tetap bisa bernafas.

Dadanya terlihat naik turun tak teratur. Kadang terlihat begitu cepat, kadang bisa nampak dan hilang.

Dan jangan lupakan ruam yang muncul di kulit anak itu belum juga membaik.

“Anak itu penyakitan apa lagi? Kenapa ruam-ruam?” Jeff bertanya pada Damar setelah melihat batang hidung temannya itu di ruang tamu.

“Apa Jeno habis dari ruangan kotor?” Tanya Damar balik.

“Gak tau.” Jeff nampak abai.

“Kalau anaknya sadar, coba tanya. Barangkali dia habis nglakuin sesuatu yang bikin ruam. Jadi biar cepet bisa tahu apa alergi yang dipunya dan penanganannnya”

“Hmm”

Hening sejenak.

“Jeno kenapa?” Damar malah bertanya balik pada Jeff.

“Apanya?” Jeff bertanya balik.

“Bukan lo, kan?”

“Itu gue” suara Jeff melirih namun masih sempat tertangkap oleh telinga Damar.

“Gak nyangka gue bisa sahabatan sama setan semacam Lo Jeff. Gue kecewa..”

“Lo gak tau Dam gimana rasanya jadi gue. Andai dia gak lahir.. Andai dia gak pernah lahir.. Keluarga gue pasti bakal jadi keluarga paling sempurna. Paling bahagia.”

“GOBLOK LO JEFF!”

“KALAU ANAK ITU NGGAK LAHIR, PASTI NYOKAP BOKAP GUE MASIH ADA DI SINI DAM!!!”

“Astaghfirullah, Nyebut Jeff! Itu semu kecelakaan.”

“Tapi kecelakaan itu terjadi waktu mereka mau lihat Jeno lahir. Dan itu terjadi karena anak pembawa sial itu.”

“Gak ada yang namanya anak pembawa sial, Jeff. Semua anak itu lahir sebagai berkah. Kalau lo mikir bahwa Om Dana dan Tante Elina meninggal karena mau jenguk Jeno, kenapa lo juga gak salahin Anne? Hari itu, Jeno lahir dari rahim Anne, Jeff!”

Jeffrey terdiam memikirkan jawaban untuk Damar. Namun belum sempat Ia menjawab, Damar terlebih dahulu memotong pikirannya.

“Satu-satunya alasan kenapa lo gak pernah mikir kesana bukan karena sejatinya lo salahin Jeno sebagai penyebab meninggalnya om dan tante, tapi karena harga diri lo yang terlalu tinggi untuk menerima keistimewaan Jeno. Jeff, gue gapernah capek buat selalu ingetin Lo. Jeno itu berharga. Jeno udah belajar untuk jadi sempurna sesuai presepsi perfect bagi kalian. Sekarang saatnya Lo dan Anne juga belajar gimana caranya ngehargai eksistensi Jeno.”

“Gue pamit duluan.”

Pungkas Damar pamit, meninggalkan jejak pikiran yang mengelana dalam kepala Jeffrey.

-Sea

(52)

Jeno memberhentikan langkah kaki miliknya ketika telah sampai di depan pintu sebuah ruangan.

Sejenak ia membiarkan hening menderanya. Jujur saja, saat ini ia sedikit takut untuk bersitatap dengan sang ayah. Apalagi, pesan yang sebelummya dikirim bunda terngiang-ngiang di kepala kecilnya.

Dengan tangan yang sedikit bergetar, dia mencoba memulai pertemuan malam itu.

Tok tok tok

“Ayah, ini Jeno” suaranya begitu lirih.

“Masuk”

Jeno meneguk salivanya, lalu perlahan memutar knop pintu ruang kerja utama itu.

Pandangannya ia edarkan pada ruangan besar itu dan pada akhirnya matanya menemukan pusat pandangannya, seorang lelaki yang tengah duduk di meja kebesaran miliknya.

Jeff menyadari kehadiran anak itu. Matanya nampak begitu nyalang ketika menelisik Jeno dari jauh.

“Mendekatlah”

Dingin. Begitu dingin suara Jeffrrey kepada Jeno.

Jeno mendekat dengan ragu.

“Tau kesalahan kamu?”

Jeffrey bertanya sembari mendekat. Tangannya ia gunakan untuk mengelus pipi Jeno.

“Je-jeno gak tahu, Yah.”

“Bodoh!” Tangan Jeffrey berhenti mengelus. Tangan besar itu kini berpindah posisi menjadi mencengkram wajah Jeno.

“A-a-ayah.. sakit” Jeno berucap gemetar.

“Tidak ada yang lebih sakit dihati saya selain ketika melihat istri saya menangis dan putra saya mengatakan bahwa ia kecewa dengan saya”

Jeff bersuara nyalang sembari menatap mata itu dengan gurat kebencian.

“BICARA APA KAMU SAMA MARVEN?”

“Maaf ayah, Jeno gak sengaja. Maafin Jeno”

Jeff semakin murka dengan jawaban orang didepannya itu. Tangannya yang masih mencengkram wajah itu segera pindah posisi untuk menjambak rambut jeno.

Dengan keras, ia menarik anak itu menuju kamar mandi. Dan..

Blurp

Tangan besar itu mendorong kepala Jeno dan menahannya untuk masuk ke dalam bath yang terisi air penuh.

“SAYA SUDAH BILANG JENO! BERHENTI MENGACAU!”

Slrrp

“Hah- hah ukh aayah sa-”

Blurp

Lagi, tangan itu membawa kepala Jeno masuk ke dalam bak.

“ANAK SIAL KAMU! SAYA SUDAH BILANG JIKA KAMU TIDAK BERGUNA UNTUK SAYA, JANGAN GANGGU HIDUP SAYA!! JANGAN PERNAH GANGGU MARVEN LAGI!!”

Slrrpp

“Ukh-a yah ma af ud-”

Blurp

“KAMU BENAR BENAR MENGECEWAKAN, JENO! KAMU ANAK CACAT! TIDAK BISA DIBANGGAKAN! KAMU ADALAH AIB TERBESAR SAYA! SAMPAH DALAM KELUARGA SAYA YANG SEMPURNA”

Jeff menatap tangan besarnya yang saat ini masih menahan kepala bocah-yang merupakan putranya sendiri- di dalam bak air itu. Mata Jeff memanas melihat perlakuannya sendiri. Namun entah mengapa, setiap melihat Jeno, ia seperti melihat kecacatan dalam diri sempurnanya. Dan itu membuatnya selalu ingin marah pada anak itu.

1 detik... 5 detik... 20 detik...

Jeff menatap tubuh di depannya yang saat ini tak menunjukkan pergerakan apapun, kecuali punggungnya yang terlihat bergetar hebat.

Tepat di detik ke 25, Jeffrey terhenyak. Sekelebat kesadaran datang menghampirinya ketika ia melihat ruam muncul di kulit tubuh Jeno.

Sllrppp

Diangkatnya tubuh yang sudah tampak seperti mayat itu. Kali ini, Jeffrey tak lagi mendengar suara memohon dari Jeno seperti sebelumnya. Yang ia lihat hanya raut muka dengan kepasrahan juga mata yang begitu redup dalam menatapnya.

Mata redup itu kini juga beralih menatap seorang bidadari yang ikut berdiri di depan pintu kamar mandi. Pandangan menjijikkam yang dilontarkan wanita itu membuat harapan Jeno pupus.

Tak ada yang menyukainya hidup di dunia ini. Tak ada yang mengharapkan setiap nafasnya. Bahkan tak ada yang mau merestui setiap detak yang ada di jantungnya.

“Yah, Bun.. ma..af”

Suara lirih itu akhirnya terucap bersamaan dengan tubuh kurus yang limbung dalam dekapan ayahnya.

-sea