Jeno terduduk lesu di bawah pohon besar kesukaannya itu. Baru saja ia keluar dari ruangan Pak Jovan, guru BK nya.
Jeno menghembuskan nafasnya kasar. Perkataan Pak Jovan terngiang-ngiang di kepalanya.
/flashback/
“Kamu ini, sudah baik sekolah se elit ini menerima siswa cacat seperti kamu. Tapi kamu malah melunjak. Benar. Memang semuanya itu harus sesuai kadarnya ya? Siswa seperti kamu tidak layak belajar disini. Layaknya di sana, di SLB.”
“Heran saya, mengapa jajaran direksi sekelas Pak Gautama Wangsa mau memasukkanmu ke sekolah ini.”
“Anak cacat, tidak mempunyai akal pikiran, bodoh, bahkan berani bermain kotor. Kalau seperti ini, besar nanti kamu mau jadi apa? Sampah masyarakat iya?”
“Oh saya salah. Seharusnya saya tidak bertanya besar nanti jadi apa. Karena orang-orang seperti kamu itu tidak layak untuk hidup.”
–//-
Jeno memandang kosong taman di depannya. Rasanya ia ingin menangis meraung kali ini. Rasanya sakit sekali. Kenapa Tuhan memberika skenario seperti ini padanya? Apa benar yang dibicarakan Pak Jovan? Jeno tidak layak untuk hidup?
Bughh!!!
“Eh si cacat. Sorry tadi gue lagi pemanasan. Tapi gatau aja nih tangan gue mlese, gasengaja nonjok muka lo”
Seorang siswa berbadan besar itu mendekati Jeno, menjelaskan dengan senyum meremehkan.
“Jangan gitu dong, bro! Kasian tuh. Mukanya ntar gosong, nanges wkwkwk” Sahut lainnya.
“Lo gapapa?” Tanya siswa lainnya dengan wajah pura-pura yang amat kentara.
“Haduh Bi, gausah ditanya. Mana paham si cacat sama bahasa manusia hahaha” sahut siswa bername tag Angga kepada siswa bernama Abiyasa.
“Ups sorry. Gue lupa hehe” jawabnya remeh.
“Seret dia ke gudang. Dan jaga dari luar.” Sahut ketua perkumpulan itu tiba-tiba.
“Gak mau. Jeno mau pergi” Jeno berdiri mencoba meninggalkan tempat yang berisi manusia jelmaan setan itu. Namun sebesar apapun usahanya, Jeno masih kalah dengan seretan 3 orang sekaligus yang membawanya menuju gudang belakang sekolah itu.
“Mau kemana, lo?”
“Jeno mau balik ke kelas” Jeno menjawab. Sejujurnya, Jeno saat ini cukup takut mengingat ia sendiri dan siswa yang membersamai lawannya begitu banyak.
“Gue gak kasih lo izin.”
“Tapi Jeno gaperlu izin sama Jehan!” Entah dapat kekuatan dari mana, suara Jeno meninggi menyahuti Jehan, teman sekelasnya yang merupakan ketua dari anak-anak nakal itu.
Bugh!!
“Berani lo sama gue?”
Jehan meninju muka Jeno menyebabkan bibir ranum milik Jeno berdarah.
“Jeno ada salah apa sama Jehan?”
“Lo? Lo ga ada salah sama gue. Tapi bokap lo! Bokap lo penghancur keluarga gue, Jeno!”
“Jeno gak tahu apa maksud Jehan”
Bugh!! Bugh!!
Jehan kembali memukul Jeno, tapi kali ini bukan pada wajah, melainkan pada area perut.
“SINI GUE KASIH TAU!” Tangan Jehan menjambak rambut Jeno kuat agar ia bisa menatap mata Jeno dengan dekat.
“KELUARGA GUE HANCUR KARENA BOKAP LO JENO! ANDAI WAKTU ITU BOKAP LO GAK NARIK INVESTASI KE PERUSAHAAN BOKAP GUE, SEKARANG NYOKAP GUE PASTI MASIH ADA DISINI. JEFFREY, BAJINGAN ITU MENARIK SEMUA UANGNYA SAAT KEADAAN PERUSAHAAN BOKAP KACAU DAN BERHASIL MEMBUAT SEMUANYA BERANTAKAN!”
Jehan menatap Jeno. Matanya nampak merah memanas mengeluarkan seluruh amarahnya. Cengkraman pada kepala itu juga menjadi lebih kencang.
“NYOKAP GUE GILA KARENA BOKAP BANGKRUT! DAN LO TAHU? NYOKAP GUE.. IBU GUE BUNUH DIRI JENO!!! DAN ITU KARENA JEFFREY BAJINGAN SIALAN ITU!AARGHHHH BANGSAT!! BANGSAT!!!”
Jehan berteriak kesetanan. Tangannya melepaskan jambakan pada rambut Jeno. Namun, dengan sigap ia kembali mendekati Jeno. Melayangkan pukulan membabi buta ke badan Jeno.
BUGHH!! BUGH!! BUGHH!!!
“JEFFREY BANGSAT!!!”
BUGH!! BUGH!! BUGH!!!
“MATI KAU JEFFRANO! BIARKAN JEFFREY MERASAKAN KEHILANGAN SEPERTI YANG GUE RASAKAN!!!!”
BUGH!!BUGH!!BUGH!!!
BRAKK!!!
Pintu gudang terbuka paksa menghadirkan Hadinata dengan pandangannya nyalang pada Jehan.
BUGH!!!
“BANGSAT SIALAN LO, JE!”
Tanpa ba bi bu, Hadinata langsung menonjok balik Jehan. Suasana di sana sangat kacau. Naran dan Juan masih berkelahi di luar melawan komplotan Jehan. Sedangkan di dalam gudang, Hadinata dan Jehan terlihat sama-sama beringas untuk saling membunuh.
Suasana kacau itu terus berlanjut hingga suara Jeno mengalihkan mereka semua.
“BERHENTI HADIN!!!! Berhenti Jeno mohon...”
Anak itu menatap Hadinata dengan wajah yang amat sangat memelas.
Hadinata tersentak melihat keadaan Jeno. Lebam dan darah dimana-mana. Ia menyesal, Harusnya ia tadi memperdulikan keadaan Jeno terlebih dahulu.
“Jen, gak papa? ada yang sakit? Kita ke rumah sakit sekarang”
“Gak perlu. Hadin cuman perlu berhenti buat mukulin Jehan lagi.”
Hadinata melengoh mendengar permintaan Jeno. Lalu ia pandangi sosok Jehan yang kini sudah berbaring dengan luka memar tak kalah banyak dari Jeno.
“Kita pergi sekarang!”
Hadin mencoba membantu Jeno berdiri.
“Gak usah. Hadin duluan aja. Tinggalin Jeno sebentar sama Jehan”
“Jen..”
“Kak Hadin... Jeno mohon, kali ini aja” Jeno mengajukan permintaan kepada Hadin. Nafas Jeno terdengar tersengal, matanya juga memerah menahan air mata. Jujur saja, Hadinata tidak ingin meninggalkan anak itu sendirian. Tapi kali ini, pertama,kalinya anak itu meminta sesuatu secara serius seperti ini.
“Fine.”
Hadinata menoleh, lalu dengan langkah berat ia meninggalkan gudang itu.
Suasana hening sepeninggal Hadinata. Kekehan kecil keluar dari mulut Jehan.
“Kenapa? Lo mau ketawain gue? Ketawa aja sampai puas. Gue hancur, hidup gue juga udah hancur. Bunuh gue aja, gue ikhlas. Toh gak akan ada yang akan nangisin gue” Jehan mengucapkan kalimat itu seperti orang bercanda. Matanya menatap kosong atap gudang itu, sedangkan pelupuknya tak bisa membendunga air mata miliknya.
“Jeno minta maaf. Jeno minta maaf atas kesalahan Ayah Jeff. Jeno minta maaf kalau ayah udah ngehancurin dunia milik Jehan. Jeno minta maaf. Kalau Jehan mau balas dendam, silahkan. Jehan bisa balas kesalahan ayah ke Jeno. Jehan bisa bunuh Jeno. Tapi asal Jehan tahu, kelakuan Jehan hari ini cuman akan ngerugiin diri Jehan. Karena posisi kita sama, tidak akan ada yang menangisi kita apabila kita pergi.”
Jehan menatap mata itu. Mata yang ternyata redup seperti matanya. Mata itu sama dengan miliknya ; penuh dengan keputus asaan. Apakah ia telah membuat kesalahan hari ini?
-Sea