[Terwujud]
Jeffrey berlari sepanjang koridor mengabaikan suaranya yang mungkin mengganggu istirahat banyak orang.
Pikirannya berkecamuk, perasaannya terasa kacau kala melihat banyak tenaga medis berada di depan pintu ruang rawat Jeno.
“Pak Jeff”
Tama memberikan salam diikuti beberapa bawahannya.
“Jeno.. baik-baik saja, kan?”
Jeffrey bertanya pelan.
Tama hanya terdiam, sedangkan Damar menggeleng. Dapat Jeffrey lihat bahwa mata Damar kini sudah memerah.
“Keadaan Jeno menurun drastis malam ini. Pemasangan ventilator dengan tekanan tinggi bahkan tidak bisa menaikkan saturasi oksigen milik Jeno. Apabila diteruskan, penggunaan ventilator ini juga sudah tidak bisa dilakukan karena akan merusak dan memperparah keadaan paru-paru putra bapak. Satu satunya jalan yang bisa ditempuh saat ini adalah penggunaan ETT atau Endotracheal Tube, singkatnya kami akan memasukkan selang untuk bernapas langsung dari trakhea milik Jeno”
Mata Jeffrey memejam sejenak mendengar penjelasan dari Dokter Tama. Ia benar-benar kehilangan kalimatnya kini. Rasa bersalah, rasa iba, dan rasa takut kehilangan langsung mengerubungi hati Jeffry.
“Lakukan. Lakukan ETT atau apalah itu. Lakukan dan selamatkan putra saya, tolong”
Jeff menatap Dokter Tama dengan mata penuh permohonan.
Damar hanya melihat itu sembari menahan tangisnya.
“Enggak gitu, Jef...”
Suara serak Damar menguar.
“Pemasangan ETT berarti lo harus siap kehilangan Jeno...”
Lagi, Damar bersuara lirih.
Jeffrey memandang Tama meminta penjelasan dari kalimat Damar barusan.
“Benar, Pak. Dengan pemasangan ETT, berarti bapak setuju untuk mengambil kesadaran Jeno saat ini, karena ETT tidak bisa dilakukan apabila pasien dalam kondisi sadar. Tetapi..”
Ucapak Dokter Tama berhenti.
“Tapi apa?”
“Hanya ada dua kemungkinan, Pak. Apabila pasien membaik setelah pemasangan ETT itu berarti sebuah keajaiban. Namun, besar kemungkinan pasien tidak akan terbangun lagi setelah kita ambil kesadarannya.”
Air mata Jeffrey lolos begitu saja mendengar penjelasan Tama.
Hatinya yang menyesal semakin terasa hancur.
“Temui Jeno, Jeff. Ucapin salam ke dia sebelum keadaannya makin buruk dan pemasangan ETT dilakukan. Kasarnya, mungkin ini bisa jadi kali terakhir lo bisa ngobrol sama dia.”
Damar menepuk bahu Jeffrey, mencoba menguatkan.
Dengan langkah gontai, Jeff membuka pintu ruangan itu. Ia menuju brankar Jeno. Jeff mengusak air matanya kasar, lalu dengan perlahan ia mengelus pipi Jeno dengan hati-hati agar tidak mengenai ventilator yang ada di sana.
”..y..ah”
Suara Jeno terdengar pelan. Mata sayunya kini terbuka sebagian, dengan pandangan sendu ia menatap Jeff yang kini menggenggam tangannya.
“Bun..da m..sih.. rah?”
Jeff menggeleng. Memberikan senyumnya pada Jeno.
“Enggak. Bunda enggak marah, cuman sekarang lagi jaga oma. Kasian oma gak ada yang jaga”
Jeffrey mencoba memberi penghiburan. Dan Jeno hanya mengangguk.
“Akhirnya... doa..a..yah hampir se..puluh tah..un akan terwujud..”
Jeff mengerutkan keningnya tanda ia tak mengerti maksud Jeno. Kalimat itu, kalimat yang sama ia ucapkan hari lalu pada Jeffrey.
Jeno tersenyum, matanya tak bisa menyembunyikan rasa sakit yang ia alami saat ini.
“Doa a..yah.. pas Jeno ulang ta..hun yang ke tujuh. A..yah minta pada Tuhan a..gar Jeno mati .. bentar lagi... akan .. terwujud..”
Jeffrey menatap Jeno dalam, air matanya kini jatuh tak terbendung lagi.
“Maaf.. maafin ayah. Jeno, jeno jangan pergi. Ini yang salah ayah, Nak. Ayah mohon, jangan ikuti doa ayah. Ayah berdosa minta Tuhan kaya gitu. Jadi Jeno jangan pergi ya? Hmm?”
Jeffrey mulai meracau dihadapan Jeno.
Jeno tersenyum lagi.
“Ja..ngan .. nangis”
“Ayah gak akan nangis kalau Jeno mau bertahan sekali lagi di sisi ayah. Jeno mau kan?”
Jeno hanya tersenyum lagi dan lagi.
“Maaf, Jeno belum bisa... jadi anak..yang baik buat ayah”
Jeffrey menggeleng. Genggaman tangannya kepada Jeno semakin mengerat.
“Nggak. Jeno anak terbaik ayah. Ayah bangga sama Jeno”
“Je..no senang.. Tuhan kabulin Doa Jeno juga.. Jeno nggak sendirian di..sini.. di saat tera..khir Je..no”
“No! Jeno gaboleh ngomong gitu. Ayah gak suka Jeno ngomong kaya gitu. Jeno bertahan ya? Ayah bakal lakuin apapun buat Jeno.”
“Je..no capek.. di sini sakittt banget.. juga.. e yang ..udah nungguin Jeno..”
“Enggak. Jeno gak boleh pergi dari ayah!”
Jeffrey berteriak.
Suara bedside monitor semakin terdengar kencang.
“Ma..kas..ih.. udah kasih Je..no ke..hidupan.
Jeno sayang ... sama a..yah b..nda...smuanya..”
Jeno tersenyum lagi dan lagi, ia masih saja bersuara ditengah rasa sakit yang semakin menghimpit dadanya.
Perlahan mata Jeno menutup, suara Bedsite monitor semakin berteriak membuat Tama dan Damar segera masuk menyusul Jeffrey.
“Jeno? Jeno bisa dengar om? Jeno?!”
Damar berteriak.
Setelah teriakan Damar, mata Jeno terbuka kembali.
Namun kali ini ada yang beda dari kelereng biru itu. Tatapannya kosong, nampak melihat ke arah atas.
Tiba-tiba Jeno tersenyum, senyum yang sangat indah hingga eye smile miliknya terbentuk.
“Yah.. ayah... indah banget langitnya...”
Suara Jeno membuat Tama dan Damar menghentikan kegiatan mereka yang hendak memasang ETT.
Damar menutup matanya, ia mengisyaratkan Jeffrey untuk kembali mendekati Jeno.
“Ada.. eyang.. senyum ke Jeno.. eyang udah nunggu..”
Omongan Jeno semakin melantur.
Jeff hanya bisa mendekat, menggenggam erat tangan Jeno, ingin rasanya ia menarik kesadaran Jeno agar tak meninggalkannya.
“Awwww”
Jeno sedikit berteriak membuat orang di sana kalang kabut.
“Jeno mau lari meluk eyang ... kenapa kaki Jeno berat banget.. Jeno gabisa jalan.. ayah bantu Jeno..”
Jeno menangis dibalik ventilatornya. Tatapannya benar-benar menatap kosong atap ruangannya. Namun ia berbicara seolah-olah ia tengah pergi entah dimana.
Jeffrey menangis, begitupun Damar.
Damar mengelus pundak Jeffrey,
“Saatnya lo berjuang, Jeff. bantu dia. Jangan buat Jeno semakin kesakitan. Biarin dia pergi nyari kebahagiaan miliknya. Selama ini dia yang berjuang, sekarang gantian lo”
Jeffrey semakin menangis mendengar bisikan Damar. Perlahan, tangannya ia buka untuk mendekap tubuh Jeno yang masih merintih kesakitan itu dalam pelukannya, lalu ia dekatkan bibirnya ke telinga Jeno.
“Putranya ayah.. ayah bangga sama kamu. Terima kasih sudah menjadi anugerah terhebat dalam hidup ayah. Maafin ayah karena belum bisa jadi ayah yang baik buat kamu. Tidur yang nyenyak ya, sayang. Tinggalin semua rasa sakit kamu di sini. Lari, peluk bahagianya Jeno. Ayah.. ayah... “
Jeffrey menghentikan kalimatnya sejenak. Ia lupa bagaimana cara bernapas di saat menyakitkan seperti ini. Dengan berat, Jeffrey melanjutkan kalimatnya dibarengi isakannya yang tak bisa terhenti.
“Ayah ikhlas, sayang...”
Mata Jeno perlahan menutup. Jeffrey menciumi setiap bagian dari wajah Jeno. Ia elus kepala Jeno. Ia eratkan pelukannya.
Tak lama setelah Jeff mengucapkan kalimat terberatnya, garis lurus itu sudah terpampang nyata di hadapannya sendiri.
“Jeffrano Annedra, waktu kematian pukul 02.34 pada Senin, 29 Juni 2020.”
Suara tangis Jeffrey semakin pecah. Persetan dengan imagenya, Ia memeluk tubuh Jeno yang perlahan mendingin itu. Hatinya remuk redam. Ia menyesal, hatinya hancur merasa kehilangan. Ia kehilangan kesempatan yang ia miliki bahkan kehilangan hati yang ia miliki. Andai saja, andai saja waktu bisa terulang...
-Sea