Seantara

[The Reason]

Ares menatap pantulan wajahnya pada kaca toilet. Benar kata Hagan, kulit pucatnya semakin pucat hingga memperjelas letak titik di bawah mata indah miliknya.

Ares tercenung sejenak, memikirkan kilas balik keadaannya selama di rumah Jainendra seminggu ini. Baginya, tidak ada perubahan yang lebih baik —selain fakta bahwa dirinya telah bertemu keluarga kandungnya— Lain dari itu, Ares rasa hanya ada kisah yang lebih buruk dari hari harinya dulu.

Seperti kejadian tadi pagi. Ares mengembangkan senyum ketika menyapa mamanya dan beberapa pembantu yang membantu sang mama memasak. Namun, senyum itu meluntur ketika melihat apa yang tersaji di piringnya hari ini, seafood , lagi dan lagi. Sejak seminggu ia disini, piringnya selalu diisikan olahan seafood oleh sang ibu.

Ares cukup bimbang, namun akhirnya suara itu keluar juga,

“Mama maaf, boleh nggak kalau hari ini Ares makan selain seafood? Ares gak papa makan nasi sama sayur aja, atau sama tahu”

Ares berucap pelan, berusaha tidak menyinggung hati Erina. Mendengar ucapan Ares, Erina langsung menghentikan kegiatannya yang tengah menata nasi dan lauk ke piring anggota yang lain.

“Kenapa ? Gak enak?”

“Enak kok ma ta-”

“Kamu ini bersyukur sedikit bisa tidak? Sudah baik saya memberimu makan. Tidak usah banyak menuntut, disini saya yang paling berat sama keadaan ini, saya di posisi serba salah. Kalau kamu nanti makan lauk seperti kakak-kakak kamu, dan tidak sama dengan apa yang Langit makan, nanti semua pada mengolok saya bahwa saya berpilih kasih. Makan yang saya berikan ke piring kamu. Ambil apa yang Langit ambil. Samakan kamu dengan dia.”

Erina kesal dengan permintaan Ares.

Archtur yang tadi memang sudah di meja makan berdehem, melirik ke arah Ares. Dengan nada datar, ia juga melontarkan kalimatnya.

“Turutin permintaan mama. Lo tuh harusnya bisa ngertiin gimana posisi mama. Ntar kalau diluar lo mau jajan selain seafood terserah, tapi pas disini lo makan makanan yang sama kayak Langit, biar mama gak perlu khawatirin hal-hal sepele seperti omongan orang yang ngira kalian di bedain. Dulu lo kan miskin? Biasa makan seadanya kan? Gue rasa lo harus udah cukup bersyukur dapet makan gratis disini tanpa lo susah payah sendiri. Bersyukur, Res”


-Sea

[Rumah]

Antares menghentikan langkahnya sejenak ketika ia keluar dari mobil Juno. Dipandangnya kini rumah megah itu dengan tatapan kosong. Tangannya berkeringat dingin, hatinya berdebar keras. Ia merasa ia tidak siap.

Juno yang melihat itu pun segera menggenggam tangan milik putranya, sembari menguatkan.

“Kenapa, hmm?”

“Ares gak siap”

“Apa yang kamu takuti? Di keluarga ini semua sudah tahu kalau kamu anak kandung papa dan mama kecuali Langit hanya Langit. Kakak-kakakmu sudag tahu bahwa kau adik kandung mereka. Gak perlu takut”

“Banyak yang aku takuti, pa. Aku gak mau berekspetasi tinggi buat diterima di sini. Hanya saja, aku takut kalau andainya suatu saat kalian nyuruh aku pergi. Ninggalin aku sendirian.”

Ares berbicara sembari menatap lurus mata Juno. Dapat Juno lihat sebagian mata Ares sudah berkaca-kaca saat ini.

“Nggak. Itu gak akan terjadi. Ares harus percaya sama papa. Papa akan selalu ada buat ngelindungin kamu. Sekarang masuk yuk? Keburu hujan.”


Hal yang pertama Ares lihat ketika memasuki rumah megah itu adalah eksistensi dari mama dan ketiga saudaranya yang sedang duduk bersantai di ruang keluarga. Awalnya sayup-sayup suara tertawa dapat Ares dengar, namun setelah Ares menampakkan dirinya, suara itu tiba-tiba hening menjadi kecanggungan.

“Cano pamit belajar dulu ya ma, pa. Ada ujian blok besok”

“Archtur mau jemput Langit dulu ya ma, pa. Pasti bentar lagi dia selesai seleksi”

Cano meninggalkan ruang disusul oleh Archtur yang membuat suasana semakin tidak enak.

“Kamar kamu tadi udah disiapin sama bibi. Saya mau ke dapur dulu buat makanan”

Erina berucap tanpa melihat ke sosok Ares, lalu pergi ke arah dapur.

Juno yang melihat perlakuan itu merasa tidak enak hati kepada putranya. Tak seharusnya Ares mendapat perlakuan seperti itu.

“Maafin mereka, ya? Mereka butuh waktu”

“Iya. Gak papa” Dengan senyuman, Ares menjawab perkataan Juno dengan lirih namun nampak menyiratkan luka hingga berhasil meraih atensi satu orang yang masih ada di sana.

“Papa mandi dulu aja, pasti capek. Biar Ares sama Alta”

Papa tersenyum menanggapi kalimat Alta. Dengan harap keduanya dapat semakin dekat, Juno pun ingin pergi dan memberikan keduanya ruang.

“Kak, tadi papa beli barang-barang buat Ares. Mungkin bentar lagi sampai. Nanti kabarin ya kalau udah sampai”

Altair hanya mengangguk lalu mengajak Ares menuju kamarnya.

“Antares ya?”

“Iya”

“Ini kamar lo. Samping lo kamarnya Cano, sampingnya lagi Archtur, Depan lo itu kamar gue dan samping gue kamarnya Langit.”

Ares hanya manggut manggut mendengar penjelasan Altair.

“Kamar mandi ada di dalam. Kalau butuh apa-apa bilang aja. Sorry, kamar lo gak segede milik kita karena dulu kamar ini emang cuman kamar buat temen kalau mau nginep.”

Ares mengangguk lagi, lalu tersenyum hangat kepada Altair.

“Makasih, Kak.”

“Gak perlu. Ah iya, gue cuman mau ingetin sekalian. Tolong jaga sikap ya di depan Langit. Dia belum tahu kalau lo adek gue yang asli. Sikap mama dan yang lain mungkin emang nyakitin lo, tapi tolong dimengerti ya. Kalau lo di posisi mereka pasti lo bakal ngerasain gimana sakitnya nerima kenyataan pahit ini.”

“Gue... kenyataan pahit, ya?”

Altair bungkam. Ia menyesali akhir kalimatnya sekarang.

“Sorry kak. Sorry kalau gue bikin kalian ngerasain sakit.”

Ares masih menjawab perkataan Altair dengan tenang, walaupun saat ini sejujurnya ia sedang menahan dirinya agar tidak menangis. Tanpa kata, Altair meninggalkan Ares di depan pintu kamarnya. Meninggalkan Ares yang kini tengah dalam keadaan terluka.


-Sea

[Rumah]

Antares menghentikan langkahnya sejenak ketika ia keluar dari mobil Juno. Dipandangnya kini rumah megah itu dengan tatapan kosong. Tangannya berkeringat dingin, hatinya berdebar keras. Ia merasa ia tidak siap.

Juno yang melihat itu pun segera menggenggam tangan milik putranya, sembari menguatkan.

“Kenapa, hmm?”

“Ares gak siap”

“Apa yang kamu takuti? Di keluarga ini semua sudah tahu kalau kamu anak kandung papa dan mama kecuali Langit hanya Langit. Kakak-kakakmu sudag tahu bahwa kau adik kandung mereka. Gak perlu takut”

“Banyak yang aku takuti, pa. Aku gak mau berekspetasi tinggi buat diterima di sini. Hanya saja, aku takut kalau andainya suatu saat kalian nyuruh aku pergi. Ninggalin aku sendirian.”

Ares berbicara sembari menatap lurus mata Juno. Dapat Juno lihat sebagian mata Ares sudah berkaca-kaca saat ini.

“Nggak. Itu gak akan terjadi. Ares harus percaya sama papa. Papa akan selalu ada buat ngelindungin kamu. Sekarang masuk yuk? Keburu hujan.”


Hal yang pertama Ares lihat ketika memasuki rumah megah itu adalah eksistensi dari mama dan ketiga saudaranya yang sedang duduk bersantai di ruang keluarga. Awalnya sayup-sayup suara tertawa dapat Ares dengar, namun setelah Ares menampakkan dirinya, suara itu tiba-tiba hening menjadi kecanggungan.

“Cano pamit belajar dulu ya ma, pa. Ada ujian blok besok”

“Archtur mau jemput Langit dulu ya ma, pa. Pasti bentar lagi dia selesai seleksi”

Cano meninggalkan ruang disusul oleh Archtur yang membuat suasana semakin tidak enak.

“Kamar kamu tadi udah disiapin sama bibi. Saya mau ke dapur dulu buat makanan”

Erina berucap tanpa melihat ke sosok Ares, lalu pergi ke arah dapur.

Juno yang melihat perlakuan itu merasa tidak enak hati kepada putranya. Tak seharusnya Ares mendapat perlakuan seperti itu.

“Maafin mereka, ya? Mereka butuh waktu”

“Iya. Gak papa” Dengan senyuman, Ares menjawab perkataan Juno dengan lirih namun nampak menyiratkan luka hingga berhasil meraih atensi satu orang yang masih ada di sana.

“Papa mandi dulu aja, pasti capek. Biar Ares sama Alta”

Papa tersenyum menanggapi kalimat Alta. Dengan harap keduanya dapat semakin dekat, Juno pun ingin pergi dan memberikan keduanya ruang.

“Kak, tadi papa beli barang-barang buat Ares. Mungkin bentar lagi sampai. Nanti kabarin ya kalau udah sampai”

Altair hanya mengangguk lalu mengajak Ares menuju kamarnya.

“Antares ya?”

“Iya”

“Ini kamar lo. Samping lo kamarnya Cano, sampingnya lagi Archtur, Depan lo itu kamar gue dan samping gue kamarnya Langit.”

Ares hanya manggut manggut mendengar penjelasan Altair.

“Kamar mandi ada di dalam. Kalau butuh apa-apa bilang aja. Sorry, kamar lo gak segede milik kita karena dulu kamar ini emang cuman kamar buat temen kalau mau nginep.”

Ares mengangguk lagi, lalu tersenyum hangat kepada Altair.

“Makasih, Kak.”

“Gak perlu. Ah iya, gue cuman mau ingetin sekalian. Tolong jaga sikap ya di depan Langit. Dia belum tahu kalau lo adek gue yang asli. Sikap mama dan yang lain mungkin emang nyakitin lo, tapi tolong dimengerti ya. Kalau lo di posisi mereka pasti lo bakal ngerasain gimana sakitnya nerima kenyataan pahit ini.”

“Gue... kenyataan pahit, ya?”

Altair bungkam. Ia menyesali akhir kalimatnya sekarang.

“Sorry kak. Sorry kalau gue bikin kalian ngerasain sakit.”

Ares masih menjawab perkataan Altair dengan tenang, walaupun saat ini sejujurnya ia sedang menahan dirinya agar tidak menangis. Tanpa kata, Altair meninggalkan Ares di depan pintu kamarnya. Meninggalkan Ares yang kini tengah dalam keadaan terluka.


-Sea

[Rainy night]

Hujan lebat mengguyur kota. Suasana nampak sepi mungkin karena orang-orang sibuk untuk mencari kehangatan masing-masing.

Di tengah hujan itu, nampak seorang pemuda menuntun sepedanya menyusuri jalan yang nampak lengang. Pundak tegapnya kini nampak bergetar, memperlihatkan betapa rapuhnya ia kini.

Setelah kepergian Erina tadi, Ares hanya menuruti Juno Jainendra untuk melakukan tes DNA di rumah sakit. Setelah itu, ia bersi keras untuk kembali ke kafe dan menolak semua yang Jainendra tawarkan. Jika boleh jujur, sebenarnya itu semua hanya alibi Ares untuk menjauh. Kepalanya terasa ingin pecah bersama suara retakan di dalam hatinya.

Ares menatap langit di atasnya, kemudian ia berhenti, membiarkan lututnya tertekuk bersamaan dengan jatuhnya sepeda yang ia tuntun. Ares menangis tersedu, mencoba menerima takdir yang baru saja ia terima.

“Ibu.. apakah kasih sayang Ares ke ibu itu kurang? Apakah Ares memang tidak layak untuk hidup dalam kasih sayang? Ibu membuang Ares kepada orang yang kata ibu adalah keluarga Ares.. Tapi, Bu.. apa ibu tahu? Bahkan orang yang ibu sebut dengan ibu kandung Ares tidak mau menerima Ares. Dulu.. Ares hidup, Ares tertawa, sampai Ares tampak baik-baik saja itu semua Ares lakukan untuk ibu. Hanya ibu sama bang Naka penyokong hidup Ares. Kalau abang pergi lalu ibu menyusulnya, kepada siapa lagi Ares berpulang? Kepada siapa lagi Ares bisa menunjukkan senyum Ares? Kepada siapa lagi Ares bisa menguatkan diri Ares kalau dunia kejam ini baik-baik aja buat Ares? Kalau bukan ke ibu dan Bang Naka.. kepada siapa lagi? Ibu.. Hidup ini berat, rasanya Ares capek.. Ares sendirian disini.. Dingin Bu... Ares takut... Marahi Ares bu, Pukul Ares kalau perlu.. Asal jangan buang Ares.. Ares cukup besar untuk bisa kerja sesuai keinginan ibu.. Tapi apakah Ibu tahu? Ares masih terlalu kecil, Bu.. Ares terlalu kecil untuk hidup sendiri di dunia yang luas ini...”


-Sea

[The Thruth]

Sore telah lama singgah hingga hendak pulang. Hamparan biru dengan selimut kelabu menyertai rintik gerimis yang jatub. Suasana alam nampak suram, begitupun suasana yang terjadi di meja tengah keafe bergaya klasik tersebut.

Sepasang suami istri dengan seorang wanita paruh baya nampak serius berbincang. Hingga tibalah saat wanita paruh baya itu mengeluarkan sebuah map berisi beberapa berkas penting.

“Apa ini?” Tanya Jainendra setelah menampilkan raut muka muak kepada wanita di depannya.

“Berhari-hari kamu mengganggu di kantor saya hanya untuk ini? Padahal kita juga tidak saling mengenal, Ibu Sintia.”

Jainendra nampak muram. Sedangkan istrinya – Erina – masih menatap wanita di depannya itu dengan tanda tanya.

“Sebelumnya maafkan saya. Hanya saja hari ini saya akan membuat pengakuan dosa kepada kalian. Enam belas tahun lalu, tepatnya tanggal 23 April saya telah melakukan dosa besar dengan menukar putra anda dengan putra milik saya.”

Erina menutup mulutnya kaget. Jainendra semakin menunjukkan rasa tidak suka.

“Berani – beraninya wanita rendahan seperti kamu bermain lelucon dengan keluarga saya?”

“Ini bukan lelucon. Bukankah aneh apabila janin sehat anda kala itu lahir dalam keadaan cacat jantung nyonya? Anak yang bersama anda seharusnya adalah anak saya. Saya sengaja menukar keduanya karena saya ingin anak saya mendapatkan perawatan terbaik dan akhirnya itu terwujud. Langit, putra saya sudah tumbuh menjadi remaja yang sehat. Setiap saat saya mencari berita tentang Langit, dan saya semakin yakin bahwa anda berdua menyayanginya dengan sepenuh hati”

PLAKK!!!

“WANITA GILA!! APA MAKSUDMU?!” Erina murka, ia menampar wanita di depannya.

“Saya memang gila, nyonya! Karena itu saya lakukan dosa besar itu! Tapi hari ini, saya kembalikan putra anda kepada anda. Bawa anak itu menjauh dari saya. Anda boleh masukkan saya ke penjara tapi bawa putra kandung anda kembali. Tentang Langit putra kandung saya, saya juga merelakan Langit tetap tinggal kepada kalian.”

“BAJINGAN GILA!” Jainendra berteriak kepada Sintia.

“Sama memang bajingan. Saya memang wanita paling berdosa. Saya tahu saya salah. Enam belas tahun, saya namakan anak itu dengan Antares sebagaimana anda menamakan kakak kakaknya dengan nama bintang agar saya terus mengingat dosa saya. Enam belas tahun saya biarkan diri saya mengingat dosa-dosa saya hingga rasanya saya ingin pulang ke Tuhan lebih cepat. Enam belas tahun... saya hidup dalam kesengsaran yang telah saya buat. Tapi saya.. saya.. hanyalah seorang ibu yang ingin terbaik untuk putra kandung saya”

Wanita itu menangis, dia benar-benar tampak menyesal dengan hal yang telah ia lakukan.

“Terima kasih sudah membesarkan putra kandung saya dengan sepenuh hati... Tapi maafkan saya. Saya gagal membesarkan putra anda. Saya gagal menjadi ibu yang baik untuknya, Tapi perlu anda ketahui, putra anda tidak pernah gagal menjadi anak. Ini kesalahan saya. Tolong terima dia dan jangan membencinya. Langit dan Ares, keduanya adalah anak yang menjadi korban dari keegoisan saya. Maaf..”

Erina menatap wanita di depannya dengan tatapan tidak menyangka. Matanya ikut menangis mendengar kenyataan yang begitu menghantam jiwanya. Langit... Langit adalah putra bungsunya dan tidak akan bisa tergantikan oleh siapapun.

Mereka bertiga masih dalam suasana yang sangat menegangkan, sampai tidak sadar jika ada tiga remaja yang tadi mendengar semuanya.

“Ibu... itu nggak bener kan?” Suara Ares bergetar. Erina menatap Antares lekat, begitupun dengan Jainendra. Ada rasa rindu yang langsung menyelimuti hati Jainendra, apakah benar remaja di depannya ini adalah putra bungsunya?

Mendengar suara Ares, raut wajah Sintia langsung berubah. Ia tak menangis, namun langsung menunjukkan wajah penuh bencinya.

“Jangan pernah pulang ke rumah saya lagi. Rumah itu sudah saya jual. Saya muak melihat kamu. Pergi jauh! Dan saya harap kita tidak pernah bertemu lagi. Saya membencimu, karena kamu selalu mengingatkan saya kepada dosa saya!”

Wanita itu memberikan sebuah tas punggung besar yang berisi barang-barang kepada Ares.

Lalu dengan gerakan cepat ia mengambil tas dan hendak beranjak dari mejanya. Namun sebelum melangkah, genggaman Ares lebih dulu menahannya.

“Enggak!Ares cuman punya ibu.. kalau Ares gak boleh pulang, Ares mau hidup sama siapa? Ibu boleh marahin Ares, ibu boleh pukul Ares, Tapi ibu jangan tinggalin Ares”

Antares. Lelaki itu menangis, meninggalkan segala rasa ego miliknya. Satu hal yang ia takuti, ia akan sendiri.

Tak ingin mendengarkan tangisan Ares, wanita itu mendorong Ares sekuat tenaga hingga membuat Ares terjatuh di lantai dengan rasa sesak yang menghujam hati kecil miliknya.


Sudah berpuluh menit terlewati namun suasana masih tampak suram. Kejadian tadi begitu menghantam relung hati milik keempat orang di sana.

“Antares, ya?” Jainendra mencoba membuka suara. Ares hanya terdiam tidak menjawab apapun. Namun air matanya masih mengalir diujung kelopak mata sipit miliknya.

Jainendra menghela nafasnya. Kali ini ia harus bisa menjadi pelindung bagi semua keluarganya.

“Udah malam. Pulang dulu, yuk?” Ajak Jainendra.

Erina dan Ares hanya diam. Canopus yang tadi juga di kafe untuk meminta maaf pada Ares juga terlihat gusar melihat situasi saat ini.

“Jangan di bawa pulang” Erina berucap lirih.

“Mah, kalau enggak dibawa pulang Ares mau tidur dimana? Hujan di luar deras kaya gini.” Jainendra mencoba memberi pengertian.

“Kita masih belum tahu kan kalau dia benar anak kandung kita? Bisa saja wanita gila tadi melakukannya karena ingin Ares memiliki harta kita.” Erina berucap kasar, ia denial, namun tanpa sadar kalimatnya itu berhasil melukai hati remaja kecil itu lagi.

“Erina..”

“Enggak. Jangan bawa pulang ke rumah sebelum hasil tes DNA keluar. Aku gak mau Langit drop kalau dia tahu hal yang belum jelas ini.”

Erina menatap tajam Ares. Ares hanya menghembuskan nafasnya. Suasana menjadi hening seketika.

“Cano, ayo pulang sama mamah. Biar Ares di urus papamu. Ingat mas, aku gak mau anak ini pulang ke rumah kita. Pentingin kesehatan Langit”

Wanita itu beranjak menarik Cano meninggalkan dua orang yang saling bersitatap dengan mata sendunya.

“Om pulang saja, Ares bisa jaga diri Ares sendiri”

Jainendra tertegun tatkala mendengar suara Ares yang bergetar namun bibirnya masih menyempatkan senyum.

“Ikut saya ya? Pulang ke apartemen milik saya”

Ares menggeleng lemah. Ia masih tersenyum, namun matanya tak bisa menyembunyikan luka yang kini sedang menggerogoti jiwanya.

“Om sudah lihat? Saya baru saja dibuang oleh wanita yang saya panggil ibu. Mana mungkin sampah seperti saya layak untuk mendapat kemewahan dari Om? Ares masih bisa biayain hidup Ares sendiri tanpa bantuan harta dari om, jadi jangan panggil Ibu dengan sebutan wanita gila harta, ya ? Ibu terlalu berharga untuk dipanggil kasar seperti itu.”


-Sea

[Enggak papa]

Ares pul—”

BUGH!!!

Belum sempat remaja itu mengucapkan salam, sebuah bogeman lebih dulu mendarat di wajahnya.

Ares menatap lelaki asing yang sudah tidak terlalu asing itu. Ini sudah pertemuan mereka yang ketujuh, dan tak ada satupun tatapan bersahabat yang diberikan oleh keduanya

“Perhatikan matamu! Kau mau aku buat buta hah?!” Lelaki itu membentak Ares. Bau alkohol begitu menguar di sana.

“Anda silahkan pulang.” Ares berkata dingin.

“Berani-beraninya kau menyuruhku pulang? Aku ini tamu ibumu!”

“Rumah ini tidak menerima tamu kotor seperti anda”

BUGH

Lagi-lagi sebuah bogeman mendarat di perut Ares.

“Belagak sekali kau! Kau lihat ibumu yang tengah tertidur di kamar kecil itu? Dia hanya seorang wanita penghibur. Dan kau, tak labih dari sampah seorang pelacur”

Lelaki itu menatap Ares sembari menyunggingkan kekehan merendahkan. Lalu ia mendorong Ares hingga ia bisa keluar dari rumah itu.

Ares berjalan mendekat ke arah kamar ibunya. Ia mengetuk pelan pintu kamar itu. Dilihatnya, sang ibu masih terduduk di tepian ranjang. Khawatir dengan keadaan sang ibu, Ares pun mendekati ibunya.

“Ibu, Ibu tidak ap-”

PLAKK!! satu tamparan mendarat dengan mulusnya di pipi Ares.

“BERAPA KALI SAYA BILANG, JANGAN IKUT CAMPUR DENGAN URUSAN SAYA! LIHAT ! GARA GARA KAMU, DIA PERGI. SAYA JADI TIDAK DAPAT UANG BANYAK!”

Wanita itu menatap Ares dengan mata yang membara, dengan amarah yang meluap-luap.

“Maaf, Bu.”

“KELUAR KAU! JANGAN PERNAH MENAMPAKKAN WAJAHMU DI DEPAN SAYA LAGI! PERGI!”

Mendengar suara itu, Ares menunduk. Dengan berat hati ia melangkahkan kaki keluar dari kamar itu. Sebisa mungkin ia tahan air matanya.

“Gapapa, ini bukan hari yang buruk, cuman hari yang nggak terlalu baik. It's okay, Res”

Gumamnya memberikan dorongan bagi dirinya sendiri. Karena tahu, tidak ada yang memberikannya semangat kecuali dirinya sendiri.


Matahari belum nampak, namun Ares sudah mematut dirinya dengan rapi di depan cermin. Sebisa mungkin, ia menutupi luka-luka yang ada di tubuhnya. Namun kali ini ada satu bagian yang tidak bisa ia tutupi; Wajahnya. Sudut bibirnya masih meninggalkan jejak keunguan, membuat siapapun pasti mengetahui bahwa ia terlibat perkelahian.

Dengan senyuman indah, Ares memulai paginya. Ia melangkahkan kakinya ke rumah Mbok Siti, ibu yang berjualan sayur dekat rumah Ares.

Saat mendekati warung Mbok Siti, Ares sempat menangkap tatapan sinis yang dilayangkan oleh ibu-ibu pembeli di sana.

“Heran ya saya. Sekeluarga gak ada yang bener. Ibunya pelacur, anaknya jadi begundal kaya gini”

Salah seorang ibu-ibu di sana memulai topik dengan pandangan sinis ke Ares

“Hush bu, ndak boleh begitu. Dia gini-gini kan berprestasi. Gak papa anak haram, anak pelacur, tapi kan otaknya maju” Jawab seorang lainnya, entahlah memuji atau ikut mengolok.

“Percuma otaknya cerdas kalau nggak punya akhlak bu. Kedepannya cuman bakal jadi bajingan aja hehe” Sahut lainnya.

“Woalah. Kalian itu mulutnya ya mbok dijaga. Nek blanjane uwes, rene gek itungan” Mbok Siti menunjukkan rasa ketidak sukaannya kepada ibu-ibu itu hingga menyuruh mereka pergi dengan cara yang halus.

Sejenak Ares mengamati kepergian ibu m-ibu itu. Ia hembuskan nafasnya dengan kasar, lalu mencoba memberikan senyum terbaiknya pada Mbok Siti.

“Nak Ares mau beli apa?” Tanya mbok siti halus.

“Ares mau beli ayamnya setengah kilo ya mbok mumpung Ares gajian jadi pengen masakin ibu yang enak hehe. Oh iya, sama bawang, brambang, cabe, tiga ribu aja. Sama bayar utang Ares minggu kemaren.”

Ares tersnyum mengucapkan kalimat demi kalimat ke Mbok Siti.

“Loh? Udah punya uang, Res? Kalau belum punya uang, pegang aja dulu uangnya. Utang di Mbok bisa dibayar kapan-kapan”

“Udah kok Mbok. Ntar kalau gak Ares bayar ke Mbok uangnya malah keburu keambil buat lain lain hehe”

“Yaudah. Ini barangnya. Nanti kalau butuh bantuan, bilang Mbok aja ya”

“Siap mbok, terima kasih”

Ares melangkahkan kakinya menjauhi warung. Suasana hatinya perlahan membaik.

“Lihat kan, Res? Masih banyak orang baik di luar sana. Jadi lo harus lebih semangat lagi buat bisa balas mereka nanti. Semangat Antares!”


-Sea

[Terwujud]

Jeffrey berlari sepanjang koridor mengabaikan suaranya yang mungkin mengganggu istirahat banyak orang.

Pikirannya berkecamuk, perasaannya terasa kacau kala melihat banyak tenaga medis berada di depan pintu ruang rawat Jeno.

“Pak Jeff” Tama memberikan salam diikuti beberapa bawahannya.

“Jeno.. baik-baik saja, kan?” Jeffrey bertanya pelan.

Tama hanya terdiam, sedangkan Damar menggeleng. Dapat Jeffrey lihat bahwa mata Damar kini sudah memerah.

“Keadaan Jeno menurun drastis malam ini. Pemasangan ventilator dengan tekanan tinggi bahkan tidak bisa menaikkan saturasi oksigen milik Jeno. Apabila diteruskan, penggunaan ventilator ini juga sudah tidak bisa dilakukan karena akan merusak dan memperparah keadaan paru-paru putra bapak. Satu satunya jalan yang bisa ditempuh saat ini adalah penggunaan ETT atau Endotracheal Tube, singkatnya kami akan memasukkan selang untuk bernapas langsung dari trakhea milik Jeno”

Mata Jeffrey memejam sejenak mendengar penjelasan dari Dokter Tama. Ia benar-benar kehilangan kalimatnya kini. Rasa bersalah, rasa iba, dan rasa takut kehilangan langsung mengerubungi hati Jeffry.

“Lakukan. Lakukan ETT atau apalah itu. Lakukan dan selamatkan putra saya, tolong” Jeff menatap Dokter Tama dengan mata penuh permohonan.

Damar hanya melihat itu sembari menahan tangisnya.

“Enggak gitu, Jef...”

Suara serak Damar menguar.

“Pemasangan ETT berarti lo harus siap kehilangan Jeno...” Lagi, Damar bersuara lirih.

Jeffrey memandang Tama meminta penjelasan dari kalimat Damar barusan.

“Benar, Pak. Dengan pemasangan ETT, berarti bapak setuju untuk mengambil kesadaran Jeno saat ini, karena ETT tidak bisa dilakukan apabila pasien dalam kondisi sadar. Tetapi..”

Ucapak Dokter Tama berhenti.

“Tapi apa?”

“Hanya ada dua kemungkinan, Pak. Apabila pasien membaik setelah pemasangan ETT itu berarti sebuah keajaiban. Namun, besar kemungkinan pasien tidak akan terbangun lagi setelah kita ambil kesadarannya.”

Air mata Jeffrey lolos begitu saja mendengar penjelasan Tama. Hatinya yang menyesal semakin terasa hancur.

“Temui Jeno, Jeff. Ucapin salam ke dia sebelum keadaannya makin buruk dan pemasangan ETT dilakukan. Kasarnya, mungkin ini bisa jadi kali terakhir lo bisa ngobrol sama dia.”

Damar menepuk bahu Jeffrey, mencoba menguatkan.

Dengan langkah gontai, Jeff membuka pintu ruangan itu. Ia menuju brankar Jeno. Jeff mengusak air matanya kasar, lalu dengan perlahan ia mengelus pipi Jeno dengan hati-hati agar tidak mengenai ventilator yang ada di sana.

”..y..ah” Suara Jeno terdengar pelan. Mata sayunya kini terbuka sebagian, dengan pandangan sendu ia menatap Jeff yang kini menggenggam tangannya.

“Bun..da m..sih.. rah?”

Jeff menggeleng. Memberikan senyumnya pada Jeno.

“Enggak. Bunda enggak marah, cuman sekarang lagi jaga oma. Kasian oma gak ada yang jaga”

Jeffrey mencoba memberi penghiburan. Dan Jeno hanya mengangguk.

“Akhirnya... doa..a..yah hampir se..puluh tah..un akan terwujud..”

Jeff mengerutkan keningnya tanda ia tak mengerti maksud Jeno. Kalimat itu, kalimat yang sama ia ucapkan hari lalu pada Jeffrey.

Jeno tersenyum, matanya tak bisa menyembunyikan rasa sakit yang ia alami saat ini.

“Doa a..yah.. pas Jeno ulang ta..hun yang ke tujuh. A..yah minta pada Tuhan a..gar Jeno mati .. bentar lagi... akan .. terwujud..”

Jeffrey menatap Jeno dalam, air matanya kini jatuh tak terbendung lagi.

“Maaf.. maafin ayah. Jeno, jeno jangan pergi. Ini yang salah ayah, Nak. Ayah mohon, jangan ikuti doa ayah. Ayah berdosa minta Tuhan kaya gitu. Jadi Jeno jangan pergi ya? Hmm?” Jeffrey mulai meracau dihadapan Jeno.

Jeno tersenyum lagi.

“Ja..ngan .. nangis”

“Ayah gak akan nangis kalau Jeno mau bertahan sekali lagi di sisi ayah. Jeno mau kan?”

Jeno hanya tersenyum lagi dan lagi.

“Maaf, Jeno belum bisa... jadi anak..yang baik buat ayah”

Jeffrey menggeleng. Genggaman tangannya kepada Jeno semakin mengerat.

“Nggak. Jeno anak terbaik ayah. Ayah bangga sama Jeno”

“Je..no senang.. Tuhan kabulin Doa Jeno juga.. Jeno nggak sendirian di..sini.. di saat tera..khir Je..no”

“No! Jeno gaboleh ngomong gitu. Ayah gak suka Jeno ngomong kaya gitu. Jeno bertahan ya? Ayah bakal lakuin apapun buat Jeno.”

“Je..no capek.. di sini sakittt banget.. juga.. e yang ..udah nungguin Jeno..”

“Enggak. Jeno gak boleh pergi dari ayah!” Jeffrey berteriak. Suara bedside monitor semakin terdengar kencang.

“Ma..kas..ih.. udah kasih Je..no ke..hidupan. Jeno sayang ... sama a..yah b..nda...smuanya..”

Jeno tersenyum lagi dan lagi, ia masih saja bersuara ditengah rasa sakit yang semakin menghimpit dadanya.

Perlahan mata Jeno menutup, suara Bedsite monitor semakin berteriak membuat Tama dan Damar segera masuk menyusul Jeffrey.

“Jeno? Jeno bisa dengar om? Jeno?!” Damar berteriak.

Setelah teriakan Damar, mata Jeno terbuka kembali. Namun kali ini ada yang beda dari kelereng biru itu. Tatapannya kosong, nampak melihat ke arah atas.

Tiba-tiba Jeno tersenyum, senyum yang sangat indah hingga eye smile miliknya terbentuk.

“Yah.. ayah... indah banget langitnya...” Suara Jeno membuat Tama dan Damar menghentikan kegiatan mereka yang hendak memasang ETT.

Damar menutup matanya, ia mengisyaratkan Jeffrey untuk kembali mendekati Jeno.

“Ada.. eyang.. senyum ke Jeno.. eyang udah nunggu..” Omongan Jeno semakin melantur. Jeff hanya bisa mendekat, menggenggam erat tangan Jeno, ingin rasanya ia menarik kesadaran Jeno agar tak meninggalkannya.

“Awwww” Jeno sedikit berteriak membuat orang di sana kalang kabut.

“Jeno mau lari meluk eyang ... kenapa kaki Jeno berat banget.. Jeno gabisa jalan.. ayah bantu Jeno..” Jeno menangis dibalik ventilatornya. Tatapannya benar-benar menatap kosong atap ruangannya. Namun ia berbicara seolah-olah ia tengah pergi entah dimana.

Jeffrey menangis, begitupun Damar. Damar mengelus pundak Jeffrey,

“Saatnya lo berjuang, Jeff. bantu dia. Jangan buat Jeno semakin kesakitan. Biarin dia pergi nyari kebahagiaan miliknya. Selama ini dia yang berjuang, sekarang gantian lo”

Jeffrey semakin menangis mendengar bisikan Damar. Perlahan, tangannya ia buka untuk mendekap tubuh Jeno yang masih merintih kesakitan itu dalam pelukannya, lalu ia dekatkan bibirnya ke telinga Jeno.

“Putranya ayah.. ayah bangga sama kamu. Terima kasih sudah menjadi anugerah terhebat dalam hidup ayah. Maafin ayah karena belum bisa jadi ayah yang baik buat kamu. Tidur yang nyenyak ya, sayang. Tinggalin semua rasa sakit kamu di sini. Lari, peluk bahagianya Jeno. Ayah.. ayah... “

Jeffrey menghentikan kalimatnya sejenak. Ia lupa bagaimana cara bernapas di saat menyakitkan seperti ini. Dengan berat, Jeffrey melanjutkan kalimatnya dibarengi isakannya yang tak bisa terhenti.

“Ayah ikhlas, sayang...”

Mata Jeno perlahan menutup. Jeffrey menciumi setiap bagian dari wajah Jeno. Ia elus kepala Jeno. Ia eratkan pelukannya. Tak lama setelah Jeff mengucapkan kalimat terberatnya, garis lurus itu sudah terpampang nyata di hadapannya sendiri.

“Jeffrano Annedra, waktu kematian pukul 02.34 pada Senin, 29 Juni 2020.”

Suara tangis Jeffrey semakin pecah. Persetan dengan imagenya, Ia memeluk tubuh Jeno yang perlahan mendingin itu. Hatinya remuk redam. Ia menyesal, hatinya hancur merasa kehilangan. Ia kehilangan kesempatan yang ia miliki bahkan kehilangan hati yang ia miliki. Andai saja, andai saja waktu bisa terulang...


-Sea

[Takut sendirian]

“Jeno?”

Jeno berusaha membuka matanya tatkala telinganya mendengar sayup-sayup suara memanggil namanya.

“Om dokter?” Jeno berkata lirih dengan nafas yang amat terlihat berat. Sebisa mungkin ia juga sampaikan senyum kepada Damar.

“Ada yang sakit?”

“Dada Jeno sakit banget. Kaya ada yang nusuk-nusuk” Jeno berucap, sesekali meringis menahan sakit.

“Om panggilin dokter dulu ya?”

Saat Damar hendak berdiri, tangan Jeno lebih dulu menggenggam tangan milik Damar.

“Jangan tinggalin Jeno. Om Damar di sini aja, tunggu Jeno.” Ucapan Jeno memelan, sejalan dengan matanya yang menutup lemah.

“Jeno masih denger Om?”

Jeno hanya mengangguk. Dia sungguh lemas sekarang.

Dengan cepat, Damar memencet tombol disamping bed milik Jeno. Merasa pergerakan dari tangan Damar, Jeno berusaha menggenggamnya lebih erat.

“Jangan pergi, Om” Jeno semakin memohon. Meskipun dalam mata terpejam, Damar masih dapat merasakan permohonan mendalam di sana.

“Kenapa?” Damar bertanya retoris. Matanya kini berkaca-kaca melihat keadaan Jeno yang semakin tidak stabil.

“Biar Jeno gak mati disaat sendirian”


-Sea

[Nightmare]

Wanita tua itu kini benar-benar menjadi gila. Ambisinya begitu besar untuk membunuh darah dagingnya. Dengan pakaian mewahnya, ia berjalan menyusuri koridor menuju ruang rawat Jeno yang berada di ujung.

Meski awalnya sempat tertahan, namun pada akhirnya Anne memberikan izin bodyguard untuk mempersilahkan wanita itu masuk ke kamar Jeno.

Wanita itu bersenandung kecil, sembari mendekati ranjang Jeno. Kebetulan sekali, tidak ada siapapun di dalam ruangan karena baru saja Anne keluar untuk makan dengan Jeffrey sedangkan Marven yang telah ia buat meninggalkan ruangan Jeno dengan cara liciknya.

“Tuhan memang baik sama kamu. Tapi kali ini nggak akan. Saya pastikan itu.” Wanita itu mengeluarkan sebuah suntikan dari dalam kantungnya.

“Ucapkan salam terakhir kamu pada dunia, cucu sampah saya. Hahahah.”

*Jleebb

Benar mendarat sempurna di leher Jeno. Namun, baru sedikit Katrina menekan suntikan itu, Jeno terlebih dahulu refleks hingga menendang wanita yang ada di depannya hingga jatuh membentur nakas hingga menjatuhkan barang barang yang ada di sana.

PYAR!!!!

“MAMA! JENO!!!!”

Permainan semesta. Timing yang sangat pas. Tepat setelah Jeno melakukan wanita itu jatuh, Anne berteriak di depan pintu. Anne langsung mendekat. Ia terlonjak kaget saat menemukan ibunya di sana dengan darah yang bercecer dari kepala sang ibu.

“Mam, tetap sadar Anne mohon” Anne hendak menangis melihat ibunya. Jeff segera memencet tombol emergency untuk memanggil bantuan medis.

“JENO!! APA YANG KAMU LAKUKAN ? OMA KATRINA NENEK KAMU!” Anne menatap Jeno dengan nyalang.

“Je.. jeno gak ngapa-ngapain bunda. Tadi Oma nyuntik leher Jeno. Jeno kaget ja-jadi g-gak sengaja tendang oma” Jeno terbata-bata. Jujur, ia sangat takut pada Anne sekarang.

“Anak kamu bohong.. buktinya gak ada suntikan apapun.. Mama ingin minta maaf tapi dia malah menendang mama akhhh” Katrina meringis, bersuara pelan.

“ENGGAK! JENO GAK BOHONG!” Jeno berusaha membela diri.

“Jeno.. ini Oma.. tadi mau peluk Jeno. Akhhh Gak ada suntikan apapun. Gak mungkin oma ngapa-ngapain kamu sayang.. akkhh” Katrina mencoba menjelaskan sembari meringis kesakitan membuat Anne dan Jeffrey iba.

Jeno terhenyak. Suara beberapa tenaga medis datang dan perlahan menggotong tubuh Katrina tak membuatnya berkutik.

“BENAR YA. GAK ADA GUNANYA SAYA NGASIH HATI KEPADA ANAK TIDAK TAHU DIRI SEPERTI KAMU. MEMANG BENAR KAMU ITU SAMPAH! TIDAK LAYAK DIBERI HATI! LAIN KALI JANGAN SAMPAI BUAT ORANG TERDEKAT SAYA KENA SIAL LAGI!”

Suara marah Anne begitu menggetarkan hati Jeno. Jujur saja, Jeno kehilangan kata-katanya sekarang. Ia melihat dengan jelas manik yang beberapa hari lalu menatapnya penuh sayang kini berisi kebencian lagi dan lagi. Tanpa menunggu jawaban Jeno, wanita itu melenggang meninggalkan ruang menyisakan Jeffrey dan Jeno di sana.

“A.. Ayah percaya kan sama Jeno?” Jeno bertanya pelan.

Jeffrey hanya menatap Jeno dalam. Kemudian membalikkan badan,

“Saya kecewa dengan kamu, Jeno”


-Sea

[Terima kasih]

“Kakak bisa tinggalin aku sama Hadin bentar? Bentaarrr aja. Pleaseee” Jeno memohon pada Marven dengan aegyo full power membuat Marven mendengus karena tidak bisa menolak permintaan adeknya itu. Setelah kepergian ketiga temannya tadi, memang Hadinata dan Marven masih berada di dalam ruangan.

“Yaudah, Kakak ke kantin dulu ya? Kamu mau nitip apa?” Marven bertanya dan Jeno hanya menggeleng.

Lima menit berlalu setelah kepergian Marven dan di dalam ruangan masih tetap Hening. Perlahan tangan Jeno meraih tangan Hadinata. Ia elus tangan itu pelan. Jeno menunduk, mencoba menahan rasa sesak yang kini menghimpit dadanya.

“Makasih ya, Kak. Makasih udah gantiin posisi Kak Marven buat jadi Kakaknya Jeno.” Jeno tersenyum, namun ia masih menunduk, meneruskan kegiatannya mengelus tangan Hadinata.

“Hadin tau gak? Hadin itu teman pertama yang Jeno miliki. Hadin juga orang yang ngasih tahu Jeno kalau dunia luar itu benar-benar indah. Hadin juga orang yang ajak Jeno menikmati hidup Jeno yang sulit. Hadin juga... Hadin juga adalah orang yang selalu kokoh buat nyangga Jeno yang rapuh ini. Hadin yang selalu kasih dukungan buat Jeno, bahkan minjemin bahunya buat Jeno sekadar menangis. Hadin benar-benar seberarti itu buat Jeno, dan gak ada kata yang bisa Jeno ucapin ke Hadin selain rasa terima kasih yang Jeno miliki.”

Jeno berhenti sejenak. Ia menarik nafasnya yang cukup terasa berat karena ia menangis. Sedangkan Hadinata, ia hanya menatap tangannya yang kini sedang dielus pelan oleh Jeno. Entah mengapa, perasaannya begitu tidak enak.

“Maaf.. Maafin Jeno yang udah bikin Hadin repot. Maafin Jeno yang belum bisa jadi teman terbaik seperti apa yang Hadin lakuin buat Jeno. Maaf. Tapi Jeno mohon, tolong ingat Jeno. Jeno juga gak akan lupain Hadin kok. Hadinata Wangsa, Kakak, teman, bahkan tempat Jeno untuk pulang. Jeno gak akan lupa.”

Jeno tersenyum. Dengan senyum yang sangat hangat kepada Hadin. Lalu ia merentangkan tangannya, untuk memeluk Hadinata dengan sangat erat. Bahu Hadin perlahan bergetar. Ia sudah mati-matian menahan tangisnya namun rasanya begitu sulit. Jeno menepuk-nepuk pelan punggung Hadinata, “Gak papa nangis sekarang, kan Jeno bisa usap. Besok-besok, berarti Hadin gaboleh nangis ya? Soalnya Jeno gatau masih bisa usap air mata Hadin atau enggak.”

Setelah kalimat terakhir Jeno tadi, Hadin hanya menangis. Lalu membiarkan suasana hening hingga Marven kembali ke kamar Jeno.

“Gantian ya? Hadin boleh pulang ke rumah. Jeno biar sama Kak Marven” Jeno lagi dan lagi tersenyum membuat Hadin semakin sesak.

“Gak boleh ya aku di sini?” Hadin enggan meninggalkan Jeno.

“ Kak Hadin, terakhir kali deh Jeno minta tolong”

Permintaan Jeno terucap, hingga membuat Hadinata meninggalkan ruangan Jeno walau enggan setengah mati.

“Kak tiduran sini deh” Jeno tiba-tiba berucap manja. Marven terkekeh lalu menaiki bed, tidur di sebelah Jeno.

“Kak, Jeno mau nanya.”

“Nanya apa?”

“Kalau kakak diizinin buat reinkarnasi, kakak pengen jadi apa di dunia itu?”

“Mmm apaya? Belum kepikiran. Kalau adek pengen jadi apa?”

“Pengen jadi adek dari seorang Marvendra di dunia itu.”

“ha?”

“Iya. Jeno pengen jadi adek Kak Marven lagi. Soalnya, Kak Marven adalah kakak terbaik yang pernah ada.”

“Jeno...”

“Aku serius, Kak. Kakak itu kakak terbaik buat Jeno. Kakak udah berhasil jadi pelindung bagi Jeno. Kakak berhasil buat Jeno bangga menjadi adek dari kak Marven. Kak Marv itu One of my beutifully part’s life, so i realllyyyy love you. Jadi, Jeno harap kakak gak pernah lagi salahin diri kakak atas apa yang udah terjadi sama Jeno. Kakak udah berusaha keras bantu Jeno tetapi kembali lagi, Ini semua udah takdir, dan Jeno udah nerima itu. Karena Jeno udah bahagia jadi adek kakak, kedepannya Kak Marven juga harus bahagia ya? Kak Marven harus bangun hidup kakak biar sukses nglebihin ayah hehe. Life must goes on with or without me. Eh gak pernah without ding, soalnya Jeno bakal terus temenin kakak kalau kakak kasih tempat Jeno di sini, di hati kakak, seperti Jeno yang udah nempatin kakak di hati Jeno.”

Jeno memperlihatkan senyumnya kepada Marven, dan Marven hanya bisa terdiam sejenak. Otaknya masih mencerna dialog Jeno barusan sembari menampi pikiran buruk yang kini menyerangnya.

“Dada Jeno agak sesek lagi. Jeno juga ngantuk. Jeno izin tidur dulu ya, Kak? Nanti bilangin Ayah sama Bunda kalau Jeno pengen bobok ditemeni lagi malam ini”


-Sea