[Rumah]
Antares menghentikan langkahnya sejenak ketika ia keluar dari mobil Juno. Dipandangnya kini rumah megah itu dengan tatapan kosong. Tangannya berkeringat dingin, hatinya berdebar keras. Ia merasa ia tidak siap.
Juno yang melihat itu pun segera menggenggam tangan milik putranya, sembari menguatkan.
“Kenapa, hmm?”
“Ares gak siap”
“Apa yang kamu takuti? Di keluarga ini semua sudah tahu kalau kamu anak kandung papa dan mama kecuali Langit hanya Langit. Kakak-kakakmu sudag tahu bahwa kau adik kandung mereka. Gak perlu takut”
“Banyak yang aku takuti, pa. Aku gak mau berekspetasi tinggi buat diterima di sini. Hanya saja, aku takut kalau andainya suatu saat kalian nyuruh aku pergi. Ninggalin aku sendirian.”
Ares berbicara sembari menatap lurus mata Juno. Dapat Juno lihat sebagian mata Ares sudah berkaca-kaca saat ini.
“Nggak. Itu gak akan terjadi. Ares harus percaya sama papa. Papa akan selalu ada buat ngelindungin kamu. Sekarang masuk yuk? Keburu hujan.”
Hal yang pertama Ares lihat ketika memasuki rumah megah itu adalah eksistensi dari mama dan ketiga saudaranya yang sedang duduk bersantai di ruang keluarga. Awalnya sayup-sayup suara tertawa dapat Ares dengar, namun setelah Ares menampakkan dirinya, suara itu tiba-tiba hening menjadi kecanggungan.
“Cano pamit belajar dulu ya ma, pa. Ada ujian blok besok”
“Archtur mau jemput Langit dulu ya ma, pa. Pasti bentar lagi dia selesai seleksi”
Cano meninggalkan ruang disusul oleh Archtur yang membuat suasana semakin tidak enak.
“Kamar kamu tadi udah disiapin sama bibi. Saya mau ke dapur dulu buat makanan”
Erina berucap tanpa melihat ke sosok Ares, lalu pergi ke arah dapur.
Juno yang melihat perlakuan itu merasa tidak enak hati kepada putranya. Tak seharusnya Ares mendapat perlakuan seperti itu.
“Maafin mereka, ya? Mereka butuh waktu”
“Iya. Gak papa” Dengan senyuman, Ares menjawab perkataan Juno dengan lirih namun nampak menyiratkan luka hingga berhasil meraih atensi satu orang yang masih ada di sana.
“Papa mandi dulu aja, pasti capek. Biar Ares sama Alta”
Papa tersenyum menanggapi kalimat Alta. Dengan harap keduanya dapat semakin dekat, Juno pun ingin pergi dan memberikan keduanya ruang.
“Kak, tadi papa beli barang-barang buat Ares. Mungkin bentar lagi sampai. Nanti kabarin ya kalau udah sampai”
Altair hanya mengangguk lalu mengajak Ares menuju kamarnya.
“Antares ya?”
“Iya”
“Ini kamar lo. Samping lo kamarnya Cano, sampingnya lagi Archtur, Depan lo itu kamar gue dan samping gue kamarnya Langit.”
Ares hanya manggut manggut mendengar penjelasan Altair.
“Kamar mandi ada di dalam. Kalau butuh apa-apa bilang aja. Sorry, kamar lo gak segede milik kita karena dulu kamar ini emang cuman kamar buat temen kalau mau nginep.”
Ares mengangguk lagi, lalu tersenyum hangat kepada Altair.
“Makasih, Kak.”
“Gak perlu. Ah iya, gue cuman mau ingetin sekalian. Tolong jaga sikap ya di depan Langit. Dia belum tahu kalau lo adek gue yang asli. Sikap mama dan yang lain mungkin emang nyakitin lo, tapi tolong dimengerti ya. Kalau lo di posisi mereka pasti lo bakal ngerasain gimana sakitnya nerima kenyataan pahit ini.”
“Gue... kenyataan pahit, ya?”
Altair bungkam. Ia menyesali akhir kalimatnya sekarang.
“Sorry kak. Sorry kalau gue bikin kalian ngerasain sakit.”
Ares masih menjawab perkataan Altair dengan tenang, walaupun saat ini sejujurnya ia sedang menahan dirinya agar tidak menangis. Tanpa kata, Altair meninggalkan Ares di depan pintu kamarnya. Meninggalkan Ares yang kini tengah dalam keadaan terluka.
-Sea