Seantara

[The Fact]

Brak!!!

Suara pintu terbuka dengan paksa memecah sunyinya kamar Antares. Disana, di depan pintu, berdirilah sosok Langit yang kini berwajah merah disertai napas yang tersengal-sengal.

“MAKSUD LO APA ANJING! GUE-GUE ANAK KANDUNG JAINENDRA. LO TUH CUMAN ORANG GATAU DIRI YANG NUMPANG DIRUMAH INI. GAUSAH NGAKU-NGAKU BANGSAT!”

Langit menarik kerah baju Ares. Suara Langit begitu lantang, meskipun napasnya terengah tidak beraturan.

“Apa? Lo perlu bukti? Lihat pakek mata lo! Saatnya lo sendiri keluar dari zona nyaman yang dibuat papa mama dengan nyakitin gue”

Ares melemparkan hasil tes DNA kepada langit. Meskipun nampak datar, namun suara Ares juga terdengar sedikit bergetar.

“GAK MUNGKIN! INI PASTI BOHONG!BANGSAT-BANGSAT!!!”

Bugh!!Bugh!!Bugh!!

Tiga kali, Langit membogem Ares dengan beringas. Ares yang merasa terancam pun refleks memberikan perlawanan. Namun nahas, saat Ares balik meninju Langit, tiba-tiba pintu kamar terbuka lebar, menampilkan wajah kedua orangtua beserta kakakknya yang panik karena melihat Langit duduk di lantai dengan meremat dadanya kuat.

“LANGIT!!!” Erina histeris. Ia mendorong Ares menjauh. Ditatapnya Ares dengab pandangan benci yang amat dalam,

“Kalau sampai ada apa-apa dengan Langit, sampai kamu mati pun saya tidak sudi melihat wajahmu!”

Abai dengan kalimat Erina, dengan langkah tergopoh, Juno langsung menggendong Langit keluar dari kamar, tak lupa ia sempatkan menatap tajam mata Ares juga.

“Anak kurang ajar. Sia-sia saya menampung kamu!”

Ares terdiam sejenak. Hatinya terasa nyeri saat ini. Ia menatap kepergian orangtuanya dengan tatapan terluka. Sebegitu tidak ikhlasnya mereka kalau Ares tinggal disini?

Belum sempat meratapi diri lebih lanjut, sebuah bogeman keras menghantam tubuh Ares hingga tubuh ringkih itu tertangkap pojok meja, membuat kening putih itu mengeluarkan cairan kental bewarna merah. Seketika rasa pening luar biasa menyerang Ares. Samar-samar, Ares masih dapat mendengar bagaimana Archtur dan Cano memakinya kali ini.

“Bener kan yang gue bilang? Harusnya dari awal lo gak pernah masuk ke rumah ini. Lo tuh cuman bajingan yang numpang di rumah ini tanpa rasa malu plus gatau diri. Enyah lo”

Itu suara Archtur. Ares terdiam, tak menyahut.

“Rumah ini pasti bakal jadi lebih baik, kalau lo gak ada disini...”

Itu suara Cano yang dapat Ares dengar sebelum kegelapan benar-benar merenggut keasadaran dan rasa sakit dari hatinya yang terluka.


-Sea

[Berjuang]

“Gak papa. Rileks. Jangan tegang gitu”

Ucap Bara sembari mengelus punggung tangan Ares ketika ia menemukan tangan anak itu nampak bergetar.

“Sakit gak, dok? Saya takut” Ares mencicit pelan.

Bara tersenyum sejenak, “Sakitnya bentaran aja kok. Nanti setelah cuci darah, tubuh kamu rasanya bakal lebih ringan dan enakan. Tahan dulu ya?”

Tak menunggu jawaban dari Ares, Bara mulai memakai sarung tangan karetnya dan menginjeksi Ares dengan bius lokal. Dibantu dengan dokter lainnya, Ia kemudian membuat sayatan kecil memanjang di perut Ares.

Beberapa saat berlalu. Tak ada yang Ares rasakan setelah suntikan bius itu. Bahkan saat ini, ia bisa melihat bagaimana cairan bewarna kuning itu keluar dari tubuhnya lewat selang kecil dari perut miliknya.

“Dokter..?” Ares bergumam pelan tatkala tubuhnya mulai terasa lemas.

“Ada apa? Ada yang sakit?”

“Bukan.. Tunggu sebentar ya disini. Nanti kalau saya udah tidur, dokter bisa pergi. Saya takut.. saya takut sendirian”

Dokter Bara tersenyum hangat menangguk. Beberapa saat kemudian, bocah itu mulai terlelap menuju alam mimpinya.


Hari sudah gelap saat mata sipitnya itu terbuka. Badannya terasa luar biasa lemas saat ini.

“Sudah sadar? Hmm bandel ya kamu. Tubuh kamu tuh keracunan segitu banyaknya. Pasti nggak ngelakuin pantangan makan, kan?”

Bara yang gemas dengan Ares langsung mengomel saat melihat mata anak itu terbuka. Ares hanya meringis mendengar omelan Bara.

“Kalau kaya gitu yang sakit siapa? Kamu juga kan? Makanya, nurut sama saya”

“Udah, dok. Saya baru bangun, masak langsung diomelin.”

“Biarin. Bandel sih kamu”

“Dok, kapan saya boleh pulang?”

“Kalau infusnya habis udah boleh pulang. Tapi emang kamu bisa pulang sendiri? Masih lemes gitu.”

“Bisa. Nanti naik ojol”

“Hmm yaaa. Saya sudah resepkan obat. Tinggal ambil aja ke apotek. Inget ya, jangan capek, pola makam juga dijaga. Kalau kondisi kamu baik, cuci darah selanjutnya mungkin bulan depan. Kalau memburuk, bisa jadi frekuensinya bertambah. Yang penting sekarang kamu jaga aja kondisi kamu. Gak usah mikirin aneh-aneh. Kalau merasa kesepian, jangan sungkan untuk menghubungi saya”

“Terima kasih, dok. Terima kasih sudah menemani saya. Terima kasih untuk semuanya”


Pukul sepuluh malam, Ares menginjakkan kakinya di ruang tamu rumah mewah itu. Lampu-lampu nampak sudah padam yang berarti penghuni rumah mungkin sudah terlelap.

Dengan perlahan, Ares menaiki tangga. Namun, langkahnya berhenti kala lampu tiba-tiba menyala, memperlihatkan wanita paruh baya yang tengah duduk di sofa ruang tengah.

“Bagus ya kamu. Kelayapan sampai gak kenal waktu” Sindir Erina, menatap intens Ares.

“Maaf, ma”

“Lain kali gak usah pulang. Daripada tinggal disini tapi gak tahu aturan. Kamu itu dibesarkan sama hewan apa manusia, hah? Gak punya sopan-santun.”

Tangan Ares mengepal. Ia benci disaat seperti ini, disaat ibunya dinilai jelek karena perilaku miliknya.

“Ma, mama boleh marahin Ares, Mama boleh pukul Ares, Mama boleh caci maki Ares, tapi enggak dengan Ibu Shintia. Bagaimanapun, karena beliau Ares bisa hidup sampai hari ini, Ares bisa ngerasain gimana rasanya punya sosok ibu yang bahkan belum pernah Ares dapat dari Mama. Jadi tolong, jangan pernah ungkapin kalimat sejahat itu, Ma. Ares kira, mama sendiri saat ini bukan di posisi yang tepat untuk menilai Ibu Shintia seperti itu. Maaf, Ma. Ares capek, mau istirahat dulu.”


-Sea

[Kedatangan]

Ares memasuki bangunan berbau antiseptik itu dengan susah payah. Jujur saja, akhir-akhir ini tubuhnya terasa sakit dan lemas. Kakinya membengkak dan terasa berat. Bahkan bagian perutnya seperti ditindih dengan beban berpuluh kilo.

Dengan perlahan Ares mengetuk pintu ruangan bertuliskan dr. Bara Senapatih, Sp.PD-KGH.

Ttok ttok ttok

“Masuk” terdengar sautan dari dalam.

Baru saja membuka pintu, kepala Ares tiba-tiba terasa pening. Hampir saja tubuhnya limbung menghantam lantai apabila dokter Bara tidak cepat menangkapnya.

“EHHHH -EH – Antares!” Refleks Bara, berteriak.

Ares tak memberikan respon apa-apa. Dengingan di telinganya semakin menjadi bersama dengan kegelapan yang merenggut kesadarannya.


“Engh..” Pemuda itu melenguh kecil tatkala matanya berusaha beradaptasi dengan lampu ruangan yang terasa begitu terang.

“Sudah sadar?”
Ares kenal, itu suara dokter Bara. Dan ia hanya mengangguk.

“Apa-apaan kamu ini? Datang dengan kondisi buruk sekali. Kaki bengkak, perut kembung parah, hipotensi.” Dokter Bara mengomel, lalu menekan perut kembung Ares.

“Arghh” Ares berteriak tatkala tekanan Bara pada perutnya terasa sangat menyakitkan.

Bara menghela nafasnya sejenak.

“Secepatnya harus kita lakukan hemodialisa.”

Ares tertegun dengan penuturan Bara.

“Separah itu udahan?”

Bara hanya mengangguk.

“Kamu butuh tanda tangan orang tua kamu untuk persetujuan cuci darah ini”

“Tidak perlu, dok.” jawab Ares dengan pandangan lurus menatap langit-langit kamar.

“Tapi kamu masih dibawah 17 tahun”

“Saya masih belum dianggap dikeluarga saya dok secara negara hehe. KK saya terdaftar dalam kartu ibu dan kakak saya, sedangkan keduanya telah meninggal dua minggu yang lalu. Jadi, kalau butuh wali untuk tanda-tangan, bolehkah saya minta tolong kepada dokter?” Ungkap Ares dengan mata yang berkaca.

Sejenak Bara sedikit kebingungan dengan maksud Ares. Namun pada akhirnya dia menyetujui apa yang Ares minta.

“Kamu tidur dulu aja ya. Saya siapkan dulu prosedur pengobatan kamu.” Bara mengelus rambut Ares lembut, lalu meninggalkan Ares.

“Terima kasih, dok”

Langkah kaki Bara berhenti. Sedikit ragu, namun ia membalikkan badan miliknya.

“Untuk apa?”

“Terima kasih sudah mengkhawatirkan saya. Karena hal itu, membuat hati saya menghangat”


-Sea

[Potret]

Kamar mewah miliknya kini begitu tertutup. Tak ada cahaya yang menembus gorden kecuali seberkas sinar yang berhasil melewati celah ventilasi. Samar-samar, siluet tubuh itu nampak bergetar. Antares, remaja itu terduduk di lantai bersandar pada pinggiran kasur sembari memeluk foto ditangannya dengan erat. Dipandanginya potret berisi tiga figur itu. Seorang wanita cantik dengan dua remaja laki-laki disisi kanan dan kiri. Mereka bertiga nampak bahagia di dalam foto —meskipun sebenarnya, senyum ibu kala itu hanya karena dipaksa Bang Naka— namun masih jelas di dalam hati Ares bagaimana rasa bahagianya dulu saat Ia diajak untuk berfoto.

Perlahan, tangan rapuh Ares ia gunakan untuk mengelus pelan wajah-wajah di foto itu dan detik itu juga, isakan samar kembali menguar di ruangan yang gelap nan senyap itu.

Ini sudah hari ketiga. Tiga hari berlalu sejak Lukes datang membawa berita paling buruk selama hidupnya.

“Res, Tante Shintia dan Bang Naka udah pulang”

Satu kalimat yang berhasil menyambar hati Ares dalam sekejap. Orang yang pernah menjadi Ibu dan Kakaknya telah berpulang tanpa mengajaknya.

Ares meraung, rasanya ingin sekali ia menyalahkan takdir yang begitu kejam padanya. Ia hanya ingin Ibu pulang untuk menjemputnya, tapi mengapa Tuhan lebih ingin ibu “pulang” kepada-Nya?

Ares menutup matanya, menikmati segala kesakitan yang kini menderanya. Ia lelah. Hidupnya akhir-akhir ini terasa begitu melelahkan. Semesta begitu mempermainkannya dalam lubang kesengsaraan.

Andai saja. Andai saja semesta sedikit lebih ramah padanya, pasti saat ini ia tidak akan menangis sendirian disini. Pasti saat ini ada orang yang menepuk bahunya pelan sembari menguatkan raganya yang rapuh. Tetapi nyatanya nihil. Semesta tidak ramah, dan tidak ada yang membersamainya saat ini. Tidak ada satupun yang datang padanya untuk sekadar memeluk atau memberikannya kalimat penenang.

Ares masih menangis kala netranya menangkap sebuah kardus berwarna cream didepannya. Sebuah kardus yang ia temukan di kamar ibunya dulu. Perlahan ia buka kardus itu lagi. Membuka lagi jurnal yang dulu pernah ditulis oleh tangan sang ibu.

Ia menelisik kata-kata itu satu persatu. Hingga sampailah ia pada lembar terakhir, lembar yang membuatnya melepaskan buku usang itu dan mengeratkan pelukannya sendiri pada dirinya sendiri.

“Namanya Antares. Putra saya yang paling kuat, meskipun ia hanya memiliki dirinya sendiri. Hingga tanpa sadar, saya tak pernah mendidiknya dengan baik karena dengan sendirinya Ia telah tumbuh menjadi anak yang begitu sempurna. Maafkan ibu, ya? Maafkan ibu yang telah membuat dan menjadi kecacatan dalam hidupmu.”

—dihari saya melepasmu, Sh. ||


-Sea

[Belajar Berekspresi]

“Kamu benar sudah mau pulang?” Tanya Dokter Bara untuk kesekian kalinya ketika melihat Ares memberesi barang-barangnya.

Tanpa menjawab, pemuda dengan wajah yang masih pucat itu hanya menganggukkan kepala sembari tersenyum.

“Saya tahu senyummu itu bagus, tapi kalau ada apa-apa itu dijawab, jangan cuman disenyumin aja. Ya kalau orang lain lakuin hal baik, kalau hal buruk? Masa kamu juga mau senyum gitu doang?” Dokter Bara —yang memang suka blak-blakan— berkomentar jengah.

Masalahnya, pemuda di depannya ini sedang tidak dalam kondisi yang baik-baik saja, tapi kenapa masih tersenyum.

“Gak papa, dok.”

“Gipipi gipipi... halah.. sekali kali ngomong dong ANJENG BANGSAT – EH ASTAGHFIRULLAH BARA NGAJARIN ANAK ORANG APASIH” Dokter Bara memukul mulutnya pelan tatkala menyadari kesalahannya, hal itu sontak membuat Ares tertawa.

“Kamu nih ya, kenapa harus ngeyel? Udah di sini aja dulu, saya temani. Kamu juga masih belum sehat gitu.”

Antares menghembuskan nafasnya, “Disini sepi, Dok. Udah empat hari, dan tiap saya bangun, selalu sendirian. Papa Mama pasti sibuk jaga Langit. Abang-abang pasukannya Bang Dion juga sibuk sekolah karena weekdays. Ares gamau ngrepotin mereka. Kan kalau dirumah, Ares bisa ngobrol sama Mbok Nari, Pak Jiman, eh iya, ke sekolah ntar bisa nongki sama Hagan” Pemuda itu tersenyum lagi hingga memunculkan bulan sabit di matanya.

“Hmm ya, tapi inget ya apa yang saya bilang. Mulai sekarang, cukup minum obat yang saya resepkan. Hentikan penggunaan promaghmu, mulai makan pakai nasi yang dihalusin dulu, inget pantangan makannya ya? Jangan terlalu banyak makan makanan berlemak, daging olahan, kacang-kacangan, jus buah, sayur hijau, dan jangan banyak minum, dan–”

“Banyak bener dok. Ini dokter gak nambah-nambah kan? Hehe” Ares memutus perkataan dokter Bara.

“Antares” Dokter Bara menekan nama Ares, membuat pemilik nama terkekeh karena godaannya berhasil.

“Iya iyaa, Dok. Hobi banget ngomongin hal panjang lebar padahal dari kemarin udah bilang” Ares menjawab santai.

“Takut kalau kamu lupa. Oh iya, paling penting sekarang jangan banyak ngelakuin aktifitas berat ya. Jangan begadang juga”

“Iya Dok”

“Sekarang boleh pulang, tapi minggu depan balik lagi ya. Kontrol sama saya”

“Harus banget ya, dok? Masak seminggu sekali kayak nge date aja”

“Hih kamu ini. Milih patuh atau saya bongkar rahasia ini?”

“Iya Dok ampun. Mainnya suka ancam-ancam huh” Ares cemberut menjawab perkataan Bara.

“Lucu juga ya kamu. Saya kira cuman bisa diem doang wkwkwk. Gitu dong jadi orang. Gak papa mengekspresikan sesuatu, kasian hati kamu kalau terus kamu kurung di dalam sana”


-Sea

[Jangan Capek]

Mata sipit itu mulai nampak mengerjap pelan. Perlahan ia sesuaikan retinanya terhadap bola lampu yang terasa begitu menyilaukan mata. Kepalanya masih terasa pening dan wajahnya terasa berat karena ditimpa oksigen mask.

Kosong. Ruangan serba putih itu nampak lengang tanpa ada siapapun selain dirinya. Selalu saja, rasa kesepian langsung menyerbak di relung hatinya acapkali ia terbangun dari tidur —– atau pingsannya.

Kepalanya yang amat berat membuat Ares memejamkan mata sipitnya lagi, namun belum lewat lima belas menit, suara langkah kaki tertangkap di telinga Ares.

“Sudah bangun? Ada yang di rasa sakit?” Lelaki bersnelli putih dengan bordiran Bara itu menyapa Ares.

Ares hanya menatap sayu dokter paruh baya tersebut. Benar-benar ia berusaha untuk menyunggingkan senyum.

“Sem..ua dok.. sa..kit..” Suara milik Ares terdengar begitu samar, bahkan lebih dominan terdengar hanya helaan nafasnya yang membuat masker oksigennya beruap.

“Sabar ya. Tahan dulu sebentar. Saya tidak bisa sembarang memberikan painkiller padamu karena hasil labnya belum keluar.”

Ares hanya mengangguk, lalu mencoba memejamkan matanya lagi.

“Heh, jangan tidur lagi. Tahan dulu bentar.” Dokter Bara menepuk pipi Ares perlahan.

“Tadi kakak kamu yang bawa kamu ke sini nungguin dari pagi sampai siang, tapi dengar-dengar saudaramu di ruangan lainnya nge drop. Sepertinya jantungnya bermasalah, karena tadi dokter spesialis jantung yang mendatangi dia.”

Antares cukup terkejut mendengar penuturan dokter Bara. Pantas saja ia sendiri di sini. Mungkin memang kondisi Langit cukup parah, hingga semua harus ke sana. Meskipun sedikit sedih, namun Ares berpikir bahwa ia harus mengerti tentang itu.

“Tapi juga banyak kok yang nungguin kamu bangun. Cuman kamunya gak bangun-bangun, makanya mereka izin makan dulu bentar di kantin. Saya konsulennya abang kamu yang lain. Kamu adiknya Dion kan? Tadi dia panik lihat kamu gak napas sampai tremor” Dokter Bara bercerita sembari melepas masker oksigen milik Ares lalu menggantinya dengan nasal canula.

Bulan sabit langsung terbit di wajah Ares tatkala Dokter Bara menceritakan hal tersebut. Hati Ares menghangat, ternyata ia tidak sendiri.

“Hasil labnya mungkin bakal keluar besok pagi. Jadi, istirahat yang banyak dulu ya. Gak usah mikir apa-apa dulu. Nanti juga saya sempatin berkunjung setelah shift saya usai. Saya kembali visit pasien lainnya dulu. Itu abang-abang kamu dah kenyang, mukanya cerah bener wkwkw”

Dokter Bara terkekeh, melihat kedatangan Lukes dan yang lainnya. Kemudian ia izin pamit meninggalkan ruangan.


“Udah bangun? Butuh apa?” Tanya Dion mendekati brankar Ares usai basa-basi dengan Bara.

Ares hanya menggelengkan kepalanya. Pinggang dan perutnya terasa begitu ngilu hingga membuatnya mager untuk sekadar menggeser posisi.

“LO TUH YA, DIBILANGIN KEMAREN KE RS AJA MALAH NGEYEL, HERAN BANGET GUE ITU PUNYA TEMEN KAYAK LO” Omel Hagan memenuhi ruangan Ares.

“Emang bener, Bocah satu ini goblok banget kalau masalah jaga diri. Kemarin-kemarin dikasih tau buat check ke dokter aja gak mau, nah gini kan akhirnya tumbang ckckck” Lukes ikut mengomel, membuat Antala dan Dion menggelengkan kepala.

“Mau minum gak? Gue bantuin.” Antala menawarkan, namun hanya dibalas gelengan disertai senyum oleh Ares.

“Tadi ada Bang Alta nungguin lo, tapi dia nyusul ke ruangan langit bareng keluarga lo karena si Langit sempat sesak napas berulang, perkiraannya sih indikasi jantungnya yang dulu pernah di operasi mulai bermasalah lagi.”

Dion berusaha membuat pengertian kepada Ares tatkala ia menangkap mata Ares sendu menatap pintu ruangan.

Ares tersenyum, berusaha untuk tidak menangis karena ketidakhadiran keluarganya di sini barang seorang pun.

“Gue tau kok, Bang. Gue juga coba ngerti. Cuman masih susah aja buat nerima keadaan kayak gini. Tapi yaudah sih, mau gimana lagi, kan? Hehe.”

Ares tertawa sumbang. Sebenarnya dapat terlihat dengan jelas bahwa dibalik kekehannya itu ada bagian yang terluka dari hatinya.

“Jangan capek temenin gue ya, Bang? Kalau kalian capek, tahan aja bentar. Soalnya gue gatau, dimana lagi bahu yang mau meluk gue selain kalian”


-Sea

[Jangan Capek]

Mata sipit itu mulai nampak mengerjap pelan. Perlahan ia sesuaikan retinanya terhadap bola lampu yang terasa begitu menyilaukan mata. Kepalanya masih terasa pening dan wajahnya terasa berat karena ditimpa oksigen mask.

Kosong. Ruangan serba putih itu nampak lengang tanpa ada siapapun selain dirinya. Selalu saja, rasa kesepian langsung menyerbak di relung hatinya acapkali ia terbangun dari tidur —– atau pingsannya.

Kepalanya yang amat berat membuat Ares memejamkan mata sipitnya lagi, namun belum lewat lima belas menit, suara langkah kaki tertangkap di telinga Ares.

“Sudah bangun? Ada yang di rasa sakit?” Lelaki bersnelli putih dengan bordiran Bara itu menyapa Ares.

Ares hanya menatap sayu dokter paruh baya tersebut. Benar-benar ia berusaha untuk menyunggingkan senyum.

“Sem..ua dok.. sa..kit..” Suara milik Ares terdengar begitu samar, bahkan lebih dominan terdengar hanya helaan nafasnya yang membuat masker oksigennya beruap.

“Sabar ya. Tahan dulu sebentar. Saya tidak bisa sembarang memberikan painkiller padamu karena hasil labnya belum keluar.”

Ares hanya mengangguk, lalu mencoba memejamkan matanya lagi.

“Heh, jangan tidur lagi. Tahan dulu bentar.” Dokter Bara menepuk pipi Ares perlahan.

“Tadi kakak kamu yang bawa kamu ke sini nungguin dari pagi sampai siang, tapi dengar-dengar saudaramu di ruangan lainnya nge drop. Sepertinya jantungnya bermasalah, karena tadi dokter spesialis jantung yang mendatangi dia.”

Antares cukup terkejut mendengar penuturan dokter Bara. Pantas saja ia sendiri di sini. Mungkin memang kondisi Langit cukup parah, hingga semua harus ke sana. Meskipun sedikit sedih, namun Ares berpikir bahwa ia harus mengerti tentang itu.

“Tapi juga banyak kok yang nungguin kamu bangun. Cuman kamunya gak bangun-bangun, makanya mereka izin makan dulu bentar di kantin. Saya konsulennya abang kamu yang lain. Kamu adiknya Dion kan? Tadi dia panik lihat kamu gak napas sampai tremor” Dokter Bara bercerita sembari melepas masker oksigen milik Ares lalu menggantinya dengan nasal canula.

Bulan sabit langsung terbit di wajah Ares tatkala Dokter Bara menceritakan hal tersebut. Hati Ares menghangat, ternyata ia tidak sendiri.

“Hasil labnya mungkin bakal keluar besok pagi. Jadi, istirahat yang banyak dulu ya. Gak usah mikir apa-apa dulu. Nanti juga saya sempatin berkunjung setelah shift saya usai. Saya kembali visit pasien lainnya dulu. Itu abang-abang kamu dah kenyang, mukanya cerah bener wkwkw”

Dokter Bara terkekeh, melihat kedatangan Lukes dan yang lainnya. Kemudian ia izin pamit meninggalkan ruangan.


“Udah bangun? Butuh apa?” Tanya Dion mendekati brankar Ares usai basa-basi dengan Bara.

Ares hanya menggelengkan kepalanya. Pinggang dan perutnya terasa begitu ngilu hingga membuatnya mager untuk sekadar menggeser posisi.

“LO TUH YA, DIBILANGIN KEMAREN KE RS AJA MALAH NGEYEL, HERAN BANGET GUE ITU PUNYA TEMEN KAYAK LO” Omel Hagan memenuhi ruangan Ares.

“Emang bener, Bocah satu ini goblok banget kalau masalah jaga diri. Kemarin-kemarin dikasih tau buat check ke dokter aja gak mau, nah gini kan akhirnya tumbang ckckck” Lukes ikut mengomel, membuat Antala dan Dion menggelengkan kepala.

“Mau minum gak? Gue bantuin.” Antala menawarkan, namun hanya dibalas gelengan disertai senyum oleh Ares.

“Tadi ada Bang Alta nungguin lo, tapi dia nyusul ke ruangan langit bareng keluarga lo karena si Langit sempat sesak napas berulang, perkiraannya sih indikasi jantungnya yang dulu pernah di operasi mulai bermasalah lagi.”

Dion berusaha membuat pengertian kepada Ares tatkala ia menangkap mata Ares sendu menatap pintu ruangan.

Ares tersenyum, berusaha untuk tidak menangis karena ketidakhadiran keluarganya di sini barang seorang pun.

“Gue tau kok, Bang. Gue juga coba ngerti. Cuman masih susah aja buat nerima keadaan kayak gini. Tapi yaudah sih, mau gimana lagi, kan? Hehe.”

Ares tertawa sumbang. Sebenarnya dapat terlihat dengan jelas bahwa dibalik kekehannya itu ada bagian yang terluka dari hatinya.

“Jangan capek temenin gue ya, Bang? Kalau kalian capek, tahan aja bentar. Soalnya gue gatau, dimana lagi bahu yang mau meluk gue selain kalian”


-Sea

[Ares Capek]

Mentari tampak malu-malu di ujung timur. Kumpulan awan sudah menggenang di Angkasa. Semburat fajar di iringi kicau burung menambah suasana syahdu pagi gerimis hari itu.

Dengan langkah kaki cepat, Altair membawa tubuh beserta koper dan beberapa oleh-oleh menuju rumah yang sudah seminggu ini ia rindukan.

Usai membuka pintu utama, langkah itu melambat, sebanding dengan pandangannya yang menyapu seluruh bagian rumah yang nampak sepi.

“Mah?? Dek?? Kakak pulang” Teriaknya namun tak ada siapapun yang menjawab hingga munculah Mbok Nari, ART kediaman Jainendra.

“Lhoh, den Alta sudah pulang?”

“Iya Mbok, Kangen rumah. Ini tumben masih sepi? Pada masih molor ya? Kebiasaan banget adek-adek, weekend malah ngebo” Alta berkata sembari bercanda.

“Enggak den. Orang rumah pada ke rumah sakit ta-”

“Kok bisa?! Siapa yang sakit mbok? Kok gak ada yang telfon aku?”

“Maaf den, Mbok lupa. Dari semalam Den Langit panas, tambah tadi subuh dia juga muntah-muntah gak berhenti, jadi dibawa ke Rumah sakit sama bapak.”

Raut muka Altair langsung khawatir usai mendengarkan penjelasan bibi. Dengan gerak cepat, ia memutar langkahnya ke arah pintu utama lagi.

“Maaf, Den. Mbok bisa minta tolong?” suara Mbok Nari menghentikan gerakan Alta.

“Minta tolong apa Mbok? Aku mau susul yang lain ke rumah sakit.”

“Den Ares dari semalem dikunci bapak di teras dekat kolam renang. Pekerja di sini bisa dipecat kalau bukain pintunya. Tapi tadi pagi, semua pada panik sampai lupa belum bukain pintu buat den Ares”

Mbok Nari menjelaskan hal tersebut dengan mata berkaca-kaca. Sedangkan Altair terkejut bukan main kala mengetahui hukuman yang diberikan oleh orang tuanya.

Dengan langkah cepat, Alta menuju pintu teras samping. Tangannya dengan kasar membuka gorden, disusul dengan bukaan kunci.

Altair terhenyak. Dipojok pintu, Ares terlihat tidur dengan posisi kepala terbenam diatas lutut yang ia tekuk. Ini sudah pukul enam pagi, tapi Ares masih berseragam lengkap bahkan punggungnya masih menggendong ransel sekolah miliknya.

Manik Alta tiba-tiba mengembun setelah melihat kondisi adiknya itu. Hujan dari semalam bahkan tidak mengenal reda, bagaimana bisa dia tidur di sini? Bukankah itu sangat dingin?

Dengan perlahan, Altair mengelus punggung Ares, mencoba membangunkannya.

“Res”

”..”

“Res, bangun dulu. Masuk yuk, biar posisi tidurnya enak”

Alta berkata lirih, dan masih belum ada jawaban dari Ares.

“Res, bangun! Tidur di kamar sana!”

Berulang kali Alta mencoba membangunkan bocah itu, tapi Ares tetap tak memberikan pergerakan sama sekali membuat Alta mau tak mau menegakkan tubuh ringkih itu.

1..2...3... sepersekian detik jantung Altair terasa ingin meloncat. Antares, pemuda itu masih terpejam dengan jejak merah di hidung bangirnya. Tangan kecil miliknya berkerut tanda kedinginan, bahkan ujung jari dan bibirnya sudah tampak membiru.

“Astaghfirullah, Ares! Res! Bangun ya Allah” Altair panik. Ia benar-benar panik apalagi saat menyadari suhu tubuh Ares dingin, dan dadanya naik turun dengan amat sangat lambat, hampir tidak terlihat.

“YA ALLAH DEN ARES! MAS ALTA, BAWA KE RUMAH SAKIT! PAK JIMANNNNN!!! BANTUIN DEN ALTA BAWA DEN ARES!”

Suara teriakan Mbok Nari membuyarkan kepanikan Altair. Benar, ia tidak boleh panik saat ini. Dengan cepat ia gendong Ares menuju mobil yang sudah disiapkan Pak Jiman.


Selama perjalanan, hanya gosokan tangan yang bisa Altair berikan kepada Ares. Matanya yang tadi mengembun kini sudah seperti menangis. Tidak, tidak pernah terbayangkan sekali pun ia akan melihat kondisi adiknya seperti ini. Walaupun ia belum sepenuhnya menerima anak itu sebagai adiknya, tapi ia juga tak ingin melihatnya terluka seperti ini.

Altair hanya mampu mengalunkan doa. Bulir-bulir air matanya kini semakin deras, utamanya saat bayangan penemuan Ares terlintas bersamaan dengan pesan di roomchat terbuka pada HP yang Ares genggam.

“Ares Capek, Rasanya udah gak kuat lagi...”


-Sea

[Suatu Hari di Bulan Februari]

Belum juga bel masuk setelah istirahat berbunyi, tetapi sudah terhitung 5 kali bocah bermata sipit itu mengunjungi toilet untuk mengeluarkan segala isi perutnya yang kini hanya tersisa cairan bening saja.

Bulir-bulir keringat kini bertamu pada wajah tampannya. Warna pucat pasi seakan sudah menyebar ke seluruh badan, ditambah dengan mata kuyu membuat siapapun langsung tahu bahwa orang di depannya tidaklah mungkin sedang baik-baik saja.

Dengan bertopang pada dinding kamar mandi, Ares berusaha melangkahkan kaki untuk keluar, namun di langkahnya yang kelima, hampir saja tubuh itu menghantam lantai jika Hagan tidak segera menopang tubuh ringkih Ares.

Samar-samar Ares masih bisa mendengar suara Hagan hingga denging yang menyeruak di telinganya mengambil alih batas kesadarannya.


Ngilu. Satu kata yang bisa Ares utarakan ketika ia terbangun di uks. Seluruh persendiannya —utama punggungnya— begitu terasa ngilu. Kepalanya berat, dan pandangannya masih berputar. Ringisan pelan juga ia lontarkan kala merasakan sakit di area perut miliknya.

“Udah sadar? Dimana yang sakit? Anjir lo pingsan apa simulasi mati sih? Lama bener”

Hagan langsung bertanya ketika melihat pergerakan dari temannya yang telah pingsan selama lebih dari 7 jam.

Ares tak menanggapi. Jujur saja kini tubuhnya terasa begitu lemas.

“Mau minum?” Tawar Hagan dan Ares hanya mengangguk.

Dengan hati-hati, Hagan menyendokkan air kepada Ares karena dirasa Ares belum sanggup untuk sekedar menaikkan posisi.

“Jam berapa?”

“Jam 5.15”

Ares nampak terkejut mendengar penuturan Hagan. Dengan memaksakan tubuhnya, Ares segera mengambil posisi duduk.

“Lo apa apaan sih? Tau belum bisa duduk tegap eh malah langsung nyoba mau berdiri”

“Langit. Gue naik mobil sendiri. Hari ini Kak Archtur les buat UTBK, gue pulang bareng Langit. Pasti dia nunggu”

“Loh? Langit kan pasti tahu lo di uks.”

“Lo lupa? Semester ini kelas kita di acak. Langit beda kelas sama kita, Gan”

Ares membalas dengan suara parau. Tangannya dengan gesit ia kerahkan untuk memakai sepatu.

“Pulang bareng gue aja. Lo jalan aja masih oleng apalagi bawa mobil. Gak siap gue kalau harus liat lo mati duluan” Hagan berkata sarkastik.

“Lagipun ini hari Jumat. Udah pada pulang dari jam 3 ogeb. Pasti Langit juga udah pulang”

Ares nampak menimbang tawaran Hagan. Jujur saja siang ini tubuhnya benar-benar terasa letoy seperti jelly.

“Cari Langit di seluruh sekolah dulu ya. Baru kita pulang. Barangkali dia masih nunggu gue”


“Ares pul—”

PLAKK!!!

Sebuah tamparan keras berhasil menyapa pipi Ares, membuat kepalanya yang berat terasa semakin berat.

Napas Ares semakin tercekat kala melihat tangan siapa yang baru saja menamparnya.

“Papa..”

“Antares! Pulang sekolah jam 3 sedangkan Jam 6 baru sampai rumah? Lupa kamu sama Langit? Asik ngelayap, iya?”

Ares terdiam sejenak, menikmati setiap rasa sakit yang kini menyergap hatinya. Untuk kali pertama, ia lihat papanya membentak bahkan bermain tangan seperti ini.

Tak hanya Ares, Cano dan Archtur yang juga menyaksikan kejadian itu hanya bisa bungkam.

“Lihat! Gara-gara kamu lupa sama Langit, dia tumbang kayak gini. Dia tungguin kamu selama satu jam lebih sampai rela naik ojek dan berakhir pingsan dirumah. Kamu dimana saja hah? Papa sama mama udah berapa kali sih kasih tau kamu? Langit itu punya riwayat jantung dulu, dia gak sekuat kamu walaupun dia kelihatan normal. Sebenarnya kamu paham atau enggak sama omongan papa? Hah?” Juno semakin mengeraskan suaranya tatkala melihat Ares hanya menunduk di depannya.

“LIHAT SINI!”

Juno menarik dagu Ares.

“LIHAT KE KAMAR LANGIT, LIHAT! KAMU BIKIN KESALAHAN DAN NGGAK ADA RASA PENYESALAN SAMA SEKALI DI WAJAH KAMU?”

“Pa, maaf, tadi Ar— Akhhh pa lepasin sakit”

“IKUT SAYA!”

Juno menarik lengan Ares kuat. Ares yang memang sedang tidak dalam kondisi yang sehat pun hanya bisa pasrah mengikuti langkah Juno menuju teras samping, area taman di dekat kolam renang.

“Malam ini, tidur di sini! Coba kamu rasain gimana Langit tadi nunggu kamu. Coba kamu rasain gimana rasanya nunggu pintu rumah di buka untuk kamu.”

Suara itu datar dan dingin, benar-benar terasa mengintimidasi.

“Pah, Ares mohon. Apapun untuk hukuman Ares, tapi jangan ini. Dan jangan kali ini. Di luar hujan Pa, Ares kedinginan. Ares sakit Pa.. “

Ares nampak memohon, sedangkan Juno hanya abai sembari mulai mengunci pintu kaca itu dari dalam rumah, meninggalkan Ares di teras samping sendirian.

“Segitu susahnya ya bagi orang dirumah ini buat sekedar dengerin gue? Sekali aja... sekali aja, gue pengen ditanya, gimana hari-hari gue, apa gue udah makan atau belum, atau sekadar tanya apa gue baik-baik aja. Jangankan mengharap sayang dari kalian, bahkan sekadar mengharap buat di dengerin aja terasa jauh banget dari jangkauan gue... “

Ares menekuk lututnya untuk menyangga kepalanya yang kian terasa berat.

“Ma.. Pa.. Ares juga sakit.. Badan Ares semua rasanya sakit. Pengen dipeluk juga biar hangat...”

Ares menyeka air mata yang kini mengalir di pipinya. Badannya terasa tidak karuan, membuat hatinya cukup sensitif hari ini. Kemudian, ia tatap Langit berhujan itu dengan dalam.

“Tuhan.. hujan kali ini jangan terlalu dingin ya? Ares masih mau bernafas besok. Kalau Engkau saja menolak permintaan ini, kepada siapa lagi hati ini akan berharap?”


-Sea

[Suatu Hari di Bulan Februari]

Belum juga bel masuk setelah istirahat berbunyi, tetapi sudah terhitung 5 kali bocah bermata sipit itu mengunjungi toilet untuk mengeluarkan segala isi perutnya yang kini hanya tersisa cairan bening saja.

Bulir-bulir keringat kini bertamu pada wajah tampannya. Warna pucat pasi seakan sudah menyebar ke seluruh badan, ditambah dengan mata kuyu membuat siapapun langsung tahu bahwa orang di depannya tidaklah mungkin sedang baik-baik saja.

Dengan bertopang pada dinding kamar mandi, Ares berusaha melangkahkan kaki untuk keluar, namun di langkahnya yang kelima, hampir saja tubuh itu menghantam lantai jika Hagan tidak segera menopang tubuh ringkih Ares.

Samar-samar Ares masih bisa mendengar suara Hagan hingga denging yang menyeruak di telinganya mengambil alih batas kesadarannya.


Ngilu. Satu kata yang bisa Ares utarakan ketika ia terbangun di uks. Seluruh persendiannya —utama punggungnya— begitu terasa ngilu. Kepalanya berat, dan pandangannya masih berputar. Ringisan pelan juga ia lontarkan kala merasakan sakit di area perut miliknya.

“Udah sadar? Dimana yang sakit? Anjir lo pingsan apa simulasi mati sih? Lama bener”

Hagan langsung bertanya ketika melihat pergerakan dari temannya yang telah pingsan selama lebih dari 7 jam.

Ares tak menanggapi. Jujur saja kini tubuhnya terasa begitu lemas.

“Mau minum?” Tawar Hagan dan Ares hanya mengangguk.

Dengan hati-hati, Hagan menyendokkan air kepada Ares karena dirasa Ares belum sanggup untuk sekedar menaikkan posisi.

“Jam berapa?”

“Jam 5.15”

Ares nampak terkejut mendengar penuturan Hagan. Dengan memaksakan tubuhnya, Ares segera mengambil posisi duduk.

“Lo apa apaan sih? Tau belum bisa duduk tegap eh malah langsung nyoba mau berdiri”

“Langit. Gue naik mobil sendiri. Hari ini Kak Archtur les buat UTBK, gue pulang bareng Langit. Pasti dia nunggu”

“Loh? Langit kan pasti tahu lo di uks.”

“Lo lupa? Semester ini kelas kita di acak. Langit beda kelas sama kita, Gan”

Ares membalas dengan suara parau. Tangannya dengan gesit ia kerahkan untuk memakai sepatu.

“Pulang bareng gue aja. Lo jalan aja masih oleng apalagi bawa mobil. Gak siap gue kalau harus liat lo mati duluan” Hagan berkata sarkastik.

“Lagipun ini hari Jumat. Udah pada pulang dari jam 3 ogeb. Pasti Langit juga udah pulang”

Ares nampak menimbang tawaran Hagan. Jujur saja siang ini tubuhnya benar-benar terasa letoy seperti jelly.

“Cari Langit di seluruh sekolah dulu ya. Baru kita pulang. Barangkali dia masih nunggu gue”


“Ares pul—”

PLAKK!!!

Sebuah tamparan keras berhasil menyapa pipi Ares, membuat kepalanya yang berat terasa semakin berat.

Napas Ares semakin tercekat kala melihat tangan siapa yang baru saja menamparnya.

“Papa..”

“Antares! Pulang sekolah jam 3 sedangkan Jam 6 baru sampai rumah? Lupa kamu sama Langit? Asik ngelayap, iya?”

Ares terdiam sejenak, menikmati setiap rasa sakit yang kini menyergap hatinya. Untuk kali pertama, ia lihat papanya membentak bahkan bermain tangan seperti ini.

Tak hanya Ares, Cano dan Archtur yang juga menyaksikan kejadian itu hanya bisa bungkam.

“Lihat! Gara-gara kamu lupa sama Langit, dia tumbang kayak gini. Dia tungguin kamu selama satu jam lebih sampai rela naik ojek dan berakhir pingsan dirumah. Kamu dimana saja hah? Papa sama mama udah berapa kali sih kasih tau kamu? Langit itu punya riwayat jantung dulu, dia gak sekuat kamu walaupun dia kelihatan normal. Sebenarnya kamu paham atau enggak sama omongan papa? Hah?” Juno semakin mengeraskan suaranya tatkala melihat Ares hanya menunduk di depannya.

“LIHAT SINI!”

Juno menarik dagu Ares.

“LIHAT KE KAMAR LANGIT, LIHAT! KAMU BIKIN KESALAHAN DAN NGGAK ADA RASA PENYESALAN SAMA SEKALI DI WAJAH KAMU?”

“Pa, maaf, tadi Ar— Akhhh pa lepasin sakit”

“IKUT SAYA!”

Juno menarik lengan Ares kuat. Ares yang memang sedang tidak dalam kondisi yang sehat pun hanya bisa pasrah mengikuti langkah Juno menuju teras samping, area taman di dekat kolam renang.

“Malam ini, tidur di sini! Coba kamu rasain gimana Langit tadi nunggu kamu. Coba kamu rasain gimana rasanya nunggu pintu rumah di buka untuk kamu.”

Suara itu datar dan dingin, benar-benar terasa mengintimidasi.

“Pah, Ares mohon. Apapun untuk hukuman Ares, tapi jangan ini. Dan jangan kali ini. Di luar hujan Pa, Ares kedinginan. Ares sakit Pa.. “

Ares nampak memohon, sedangkan Juno hanya abai sembari mulai mengunci pintu kaca itu dari dalam rumah, meninggalkan Ares di teras samping sendirian.

“Segitu susahnya ya bagi orang dirumah ini buat sekedar dengerin gue? Sekali aja... sekali aja, gue pengen ditanya, gimana hari-hari gue, apa gue udah makan atau belum, atau sekadar tanya apa gue baik-baik aja. Jangankan mengharap sayang dari kalian, bahkan sekadar mengharap buat di dengerin aja terasa jauh banget dari jangkauan gue... “

Ares menekuk lututnya untuk menyangga kepalanya yang kian terasa berat.

“Ma.. Pa.. Ares juga sakit.. Badan Ares semua rasanya sakit. Pengen dipeluk juga biar hangat...”

Ares menyeka air mata yang kini mengalir di pipinya. Badannya terasa tidak karuan, membuat hatinya cukup sensitif hari ini. Kemudian, ia tatap Langit berhujan itu dengan dalam.

“Tuhan.. hujan kali ini jangan terlalu dingin ya? Ares masih mau bernafas besok. Kalau Engkau saja menolak permintaan ini, kepada siapa lagi hati ini akan berharap?”


-Sea