[Ares Capek]
Mentari tampak malu-malu di ujung timur. Kumpulan awan sudah menggenang di Angkasa. Semburat fajar di iringi kicau burung menambah suasana syahdu pagi gerimis hari itu.
Dengan langkah kaki cepat, Altair membawa tubuh beserta koper dan beberapa oleh-oleh menuju rumah yang sudah seminggu ini ia rindukan.
Usai membuka pintu utama, langkah itu melambat, sebanding dengan pandangannya yang menyapu seluruh bagian rumah yang nampak sepi.
“Mah?? Dek?? Kakak pulang” Teriaknya namun tak ada siapapun yang menjawab hingga munculah Mbok Nari, ART kediaman Jainendra.
“Lhoh, den Alta sudah pulang?”
“Iya Mbok, Kangen rumah. Ini tumben masih sepi? Pada masih molor ya? Kebiasaan banget adek-adek, weekend malah ngebo” Alta berkata sembari bercanda.
“Enggak den. Orang rumah pada ke rumah sakit ta-”
“Kok bisa?! Siapa yang sakit mbok? Kok gak ada yang telfon aku?”
“Maaf den, Mbok lupa. Dari semalam Den Langit panas, tambah tadi subuh dia juga muntah-muntah gak berhenti, jadi dibawa ke Rumah sakit sama bapak.”
Raut muka Altair langsung khawatir usai mendengarkan penjelasan bibi. Dengan gerak cepat, ia memutar langkahnya ke arah pintu utama lagi.
“Maaf, Den. Mbok bisa minta tolong?” suara Mbok Nari menghentikan gerakan Alta.
“Minta tolong apa Mbok? Aku mau susul yang lain ke rumah sakit.”
“Den Ares dari semalem dikunci bapak di teras dekat kolam renang. Pekerja di sini bisa dipecat kalau bukain pintunya. Tapi tadi pagi, semua pada panik sampai lupa belum bukain pintu buat den Ares”
Mbok Nari menjelaskan hal tersebut dengan mata berkaca-kaca. Sedangkan Altair terkejut bukan main kala mengetahui hukuman yang diberikan oleh orang tuanya.
Dengan langkah cepat, Alta menuju pintu teras samping. Tangannya dengan kasar membuka gorden, disusul dengan bukaan kunci.
Altair terhenyak. Dipojok pintu, Ares terlihat tidur dengan posisi kepala terbenam diatas lutut yang ia tekuk. Ini sudah pukul enam pagi, tapi Ares masih berseragam lengkap bahkan punggungnya masih menggendong ransel sekolah miliknya.
Manik Alta tiba-tiba mengembun setelah melihat kondisi adiknya itu. Hujan dari semalam bahkan tidak mengenal reda, bagaimana bisa dia tidur di sini? Bukankah itu sangat dingin?
Dengan perlahan, Altair mengelus punggung Ares, mencoba membangunkannya.
“Res”
”..”
“Res, bangun dulu. Masuk yuk, biar posisi tidurnya enak”
Alta berkata lirih, dan masih belum ada jawaban dari Ares.
“Res, bangun! Tidur di kamar sana!”
Berulang kali Alta mencoba membangunkan bocah itu, tapi Ares tetap tak memberikan pergerakan sama sekali membuat Alta mau tak mau menegakkan tubuh ringkih itu.
1..2...3... sepersekian detik jantung Altair terasa ingin meloncat. Antares, pemuda itu masih terpejam dengan jejak merah di hidung bangirnya. Tangan kecil miliknya berkerut tanda kedinginan, bahkan ujung jari dan bibirnya sudah tampak membiru.
“Astaghfirullah, Ares! Res! Bangun ya Allah” Altair panik. Ia benar-benar panik apalagi saat menyadari suhu tubuh Ares dingin, dan dadanya naik turun dengan amat sangat lambat, hampir tidak terlihat.
“YA ALLAH DEN ARES! MAS ALTA, BAWA KE RUMAH SAKIT! PAK JIMANNNNN!!! BANTUIN DEN ALTA BAWA DEN ARES!”
Suara teriakan Mbok Nari membuyarkan kepanikan Altair. Benar, ia tidak boleh panik saat ini. Dengan cepat ia gendong Ares menuju mobil yang sudah disiapkan Pak Jiman.
Selama perjalanan, hanya gosokan tangan yang bisa Altair berikan kepada Ares. Matanya yang tadi mengembun kini sudah seperti menangis. Tidak, tidak pernah terbayangkan sekali pun ia akan melihat kondisi adiknya seperti ini. Walaupun ia belum sepenuhnya menerima anak itu sebagai adiknya, tapi ia juga tak ingin melihatnya terluka seperti ini.
Altair hanya mampu mengalunkan doa. Bulir-bulir air matanya kini semakin deras, utamanya saat bayangan penemuan Ares terlintas bersamaan dengan pesan di roomchat terbuka pada HP yang Ares genggam.
“Ares Capek, Rasanya udah gak kuat lagi...”
-Sea