[Suatu Hari di Bulan Februari]
Belum juga bel masuk setelah istirahat berbunyi, tetapi sudah terhitung 5 kali bocah bermata sipit itu mengunjungi toilet untuk mengeluarkan segala isi perutnya yang kini hanya tersisa cairan bening saja.
Bulir-bulir keringat kini bertamu pada wajah tampannya. Warna pucat pasi seakan sudah menyebar ke seluruh badan, ditambah dengan mata kuyu membuat siapapun langsung tahu bahwa orang di depannya tidaklah mungkin sedang baik-baik saja.
Dengan bertopang pada dinding kamar mandi, Ares berusaha melangkahkan kaki untuk keluar, namun di langkahnya yang kelima, hampir saja tubuh itu menghantam lantai jika Hagan tidak segera menopang tubuh ringkih Ares.
Samar-samar Ares masih bisa mendengar suara Hagan hingga denging yang menyeruak di telinganya mengambil alih batas kesadarannya.
Ngilu. Satu kata yang bisa Ares utarakan ketika ia terbangun di uks. Seluruh persendiannya —utama punggungnya— begitu terasa ngilu. Kepalanya berat, dan pandangannya masih berputar. Ringisan pelan juga ia lontarkan kala merasakan sakit di area perut miliknya.
“Udah sadar? Dimana yang sakit? Anjir lo pingsan apa simulasi mati sih? Lama bener”
Hagan langsung bertanya ketika melihat pergerakan dari temannya yang telah pingsan selama lebih dari 7 jam.
Ares tak menanggapi. Jujur saja kini tubuhnya terasa begitu lemas.
“Mau minum?” Tawar Hagan dan Ares hanya mengangguk.
Dengan hati-hati, Hagan menyendokkan air kepada Ares karena dirasa Ares belum sanggup untuk sekedar menaikkan posisi.
“Jam berapa?”
“Jam 5.15”
Ares nampak terkejut mendengar penuturan Hagan. Dengan memaksakan tubuhnya, Ares segera mengambil posisi duduk.
“Lo apa apaan sih? Tau belum bisa duduk tegap eh malah langsung nyoba mau berdiri”
“Langit. Gue naik mobil sendiri. Hari ini Kak Archtur les buat UTBK, gue pulang bareng Langit. Pasti dia nunggu”
“Loh? Langit kan pasti tahu lo di uks.”
“Lo lupa? Semester ini kelas kita di acak. Langit beda kelas sama kita, Gan”
Ares membalas dengan suara parau. Tangannya dengan gesit ia kerahkan untuk memakai sepatu.
“Pulang bareng gue aja. Lo jalan aja masih oleng apalagi bawa mobil. Gak siap gue kalau harus liat lo mati duluan” Hagan berkata sarkastik.
“Lagipun ini hari Jumat. Udah pada pulang dari jam 3 ogeb. Pasti Langit juga udah pulang”
Ares nampak menimbang tawaran Hagan. Jujur saja siang ini tubuhnya benar-benar terasa letoy seperti jelly.
“Cari Langit di seluruh sekolah dulu ya. Baru kita pulang. Barangkali dia masih nunggu gue”
“Ares pul—”
PLAKK!!!
Sebuah tamparan keras berhasil menyapa pipi Ares, membuat kepalanya yang berat terasa semakin berat.
Napas Ares semakin tercekat kala melihat tangan siapa yang baru saja menamparnya.
“Papa..”
“Antares! Pulang sekolah jam 3 sedangkan Jam 6 baru sampai rumah? Lupa kamu sama Langit? Asik ngelayap, iya?”
Ares terdiam sejenak, menikmati setiap rasa sakit yang kini menyergap hatinya. Untuk kali pertama, ia lihat papanya membentak bahkan bermain tangan seperti ini.
Tak hanya Ares, Cano dan Archtur yang juga menyaksikan kejadian itu hanya bisa bungkam.
“Lihat! Gara-gara kamu lupa sama Langit, dia tumbang kayak gini. Dia tungguin kamu selama satu jam lebih sampai rela naik ojek dan berakhir pingsan dirumah. Kamu dimana saja hah? Papa sama mama udah berapa kali sih kasih tau kamu? Langit itu punya riwayat jantung dulu, dia gak sekuat kamu walaupun dia kelihatan normal. Sebenarnya kamu paham atau enggak sama omongan papa? Hah?” Juno semakin mengeraskan suaranya tatkala melihat Ares hanya menunduk di depannya.
“LIHAT SINI!”
Juno menarik dagu Ares.
“LIHAT KE KAMAR LANGIT, LIHAT! KAMU BIKIN KESALAHAN DAN NGGAK ADA RASA PENYESALAN SAMA SEKALI DI WAJAH KAMU?”
“Pa, maaf, tadi Ar— Akhhh pa lepasin sakit”
“IKUT SAYA!”
Juno menarik lengan Ares kuat. Ares yang memang sedang tidak dalam kondisi yang sehat pun hanya bisa pasrah mengikuti langkah Juno menuju teras samping, area taman di dekat kolam renang.
“Malam ini, tidur di sini! Coba kamu rasain gimana Langit tadi nunggu kamu. Coba kamu rasain gimana rasanya nunggu pintu rumah di buka untuk kamu.”
Suara itu datar dan dingin, benar-benar terasa mengintimidasi.
“Pah, Ares mohon. Apapun untuk hukuman Ares, tapi jangan ini. Dan jangan kali ini. Di luar hujan Pa, Ares kedinginan. Ares sakit Pa.. “
Ares nampak memohon, sedangkan Juno hanya abai sembari mulai mengunci pintu kaca itu dari dalam rumah, meninggalkan Ares di teras samping sendirian.
“Segitu susahnya ya bagi orang dirumah ini buat sekedar dengerin gue? Sekali aja... sekali aja, gue pengen ditanya, gimana hari-hari gue, apa gue udah makan atau belum, atau sekadar tanya apa gue baik-baik aja. Jangankan mengharap sayang dari kalian, bahkan sekadar mengharap buat di dengerin aja terasa jauh banget dari jangkauan gue... “
Ares menekuk lututnya untuk menyangga kepalanya yang kian terasa berat.
“Ma.. Pa.. Ares juga sakit.. Badan Ares semua rasanya sakit. Pengen dipeluk juga biar hangat...”
Ares menyeka air mata yang kini mengalir di pipinya. Badannya terasa tidak karuan, membuat hatinya cukup sensitif hari ini. Kemudian, ia tatap Langit berhujan itu dengan dalam.
“Tuhan.. hujan kali ini jangan terlalu dingin ya? Ares masih mau bernafas besok. Kalau Engkau saja menolak permintaan ini, kepada siapa lagi hati ini akan berharap?”
-Sea