[Berjuang]

“Gak papa. Rileks. Jangan tegang gitu”

Ucap Bara sembari mengelus punggung tangan Ares ketika ia menemukan tangan anak itu nampak bergetar.

“Sakit gak, dok? Saya takut” Ares mencicit pelan.

Bara tersenyum sejenak, “Sakitnya bentaran aja kok. Nanti setelah cuci darah, tubuh kamu rasanya bakal lebih ringan dan enakan. Tahan dulu ya?”

Tak menunggu jawaban dari Ares, Bara mulai memakai sarung tangan karetnya dan menginjeksi Ares dengan bius lokal. Dibantu dengan dokter lainnya, Ia kemudian membuat sayatan kecil memanjang di perut Ares.

Beberapa saat berlalu. Tak ada yang Ares rasakan setelah suntikan bius itu. Bahkan saat ini, ia bisa melihat bagaimana cairan bewarna kuning itu keluar dari tubuhnya lewat selang kecil dari perut miliknya.

“Dokter..?” Ares bergumam pelan tatkala tubuhnya mulai terasa lemas.

“Ada apa? Ada yang sakit?”

“Bukan.. Tunggu sebentar ya disini. Nanti kalau saya udah tidur, dokter bisa pergi. Saya takut.. saya takut sendirian”

Dokter Bara tersenyum hangat menangguk. Beberapa saat kemudian, bocah itu mulai terlelap menuju alam mimpinya.


Hari sudah gelap saat mata sipitnya itu terbuka. Badannya terasa luar biasa lemas saat ini.

“Sudah sadar? Hmm bandel ya kamu. Tubuh kamu tuh keracunan segitu banyaknya. Pasti nggak ngelakuin pantangan makan, kan?”

Bara yang gemas dengan Ares langsung mengomel saat melihat mata anak itu terbuka. Ares hanya meringis mendengar omelan Bara.

“Kalau kaya gitu yang sakit siapa? Kamu juga kan? Makanya, nurut sama saya”

“Udah, dok. Saya baru bangun, masak langsung diomelin.”

“Biarin. Bandel sih kamu”

“Dok, kapan saya boleh pulang?”

“Kalau infusnya habis udah boleh pulang. Tapi emang kamu bisa pulang sendiri? Masih lemes gitu.”

“Bisa. Nanti naik ojol”

“Hmm yaaa. Saya sudah resepkan obat. Tinggal ambil aja ke apotek. Inget ya, jangan capek, pola makam juga dijaga. Kalau kondisi kamu baik, cuci darah selanjutnya mungkin bulan depan. Kalau memburuk, bisa jadi frekuensinya bertambah. Yang penting sekarang kamu jaga aja kondisi kamu. Gak usah mikirin aneh-aneh. Kalau merasa kesepian, jangan sungkan untuk menghubungi saya”

“Terima kasih, dok. Terima kasih sudah menemani saya. Terima kasih untuk semuanya”


Pukul sepuluh malam, Ares menginjakkan kakinya di ruang tamu rumah mewah itu. Lampu-lampu nampak sudah padam yang berarti penghuni rumah mungkin sudah terlelap.

Dengan perlahan, Ares menaiki tangga. Namun, langkahnya berhenti kala lampu tiba-tiba menyala, memperlihatkan wanita paruh baya yang tengah duduk di sofa ruang tengah.

“Bagus ya kamu. Kelayapan sampai gak kenal waktu” Sindir Erina, menatap intens Ares.

“Maaf, ma”

“Lain kali gak usah pulang. Daripada tinggal disini tapi gak tahu aturan. Kamu itu dibesarkan sama hewan apa manusia, hah? Gak punya sopan-santun.”

Tangan Ares mengepal. Ia benci disaat seperti ini, disaat ibunya dinilai jelek karena perilaku miliknya.

“Ma, mama boleh marahin Ares, Mama boleh pukul Ares, Mama boleh caci maki Ares, tapi enggak dengan Ibu Shintia. Bagaimanapun, karena beliau Ares bisa hidup sampai hari ini, Ares bisa ngerasain gimana rasanya punya sosok ibu yang bahkan belum pernah Ares dapat dari Mama. Jadi tolong, jangan pernah ungkapin kalimat sejahat itu, Ma. Ares kira, mama sendiri saat ini bukan di posisi yang tepat untuk menilai Ibu Shintia seperti itu. Maaf, Ma. Ares capek, mau istirahat dulu.”


-Sea