[Potret]
Kamar mewah miliknya kini begitu tertutup. Tak ada cahaya yang menembus gorden kecuali seberkas sinar yang berhasil melewati celah ventilasi. Samar-samar, siluet tubuh itu nampak bergetar. Antares, remaja itu terduduk di lantai bersandar pada pinggiran kasur sembari memeluk foto ditangannya dengan erat. Dipandanginya potret berisi tiga figur itu. Seorang wanita cantik dengan dua remaja laki-laki disisi kanan dan kiri. Mereka bertiga nampak bahagia di dalam foto —meskipun sebenarnya, senyum ibu kala itu hanya karena dipaksa Bang Naka— namun masih jelas di dalam hati Ares bagaimana rasa bahagianya dulu saat Ia diajak untuk berfoto.
Perlahan, tangan rapuh Ares ia gunakan untuk mengelus pelan wajah-wajah di foto itu dan detik itu juga, isakan samar kembali menguar di ruangan yang gelap nan senyap itu.
Ini sudah hari ketiga. Tiga hari berlalu sejak Lukes datang membawa berita paling buruk selama hidupnya.
“Res, Tante Shintia dan Bang Naka udah pulang”
Satu kalimat yang berhasil menyambar hati Ares dalam sekejap. Orang yang pernah menjadi Ibu dan Kakaknya telah berpulang tanpa mengajaknya.
Ares meraung, rasanya ingin sekali ia menyalahkan takdir yang begitu kejam padanya. Ia hanya ingin Ibu pulang untuk menjemputnya, tapi mengapa Tuhan lebih ingin ibu “pulang” kepada-Nya?
Ares menutup matanya, menikmati segala kesakitan yang kini menderanya. Ia lelah. Hidupnya akhir-akhir ini terasa begitu melelahkan. Semesta begitu mempermainkannya dalam lubang kesengsaraan.
Andai saja. Andai saja semesta sedikit lebih ramah padanya, pasti saat ini ia tidak akan menangis sendirian disini. Pasti saat ini ada orang yang menepuk bahunya pelan sembari menguatkan raganya yang rapuh. Tetapi nyatanya nihil. Semesta tidak ramah, dan tidak ada yang membersamainya saat ini. Tidak ada satupun yang datang padanya untuk sekadar memeluk atau memberikannya kalimat penenang.
Ares masih menangis kala netranya menangkap sebuah kardus berwarna cream didepannya. Sebuah kardus yang ia temukan di kamar ibunya dulu. Perlahan ia buka kardus itu lagi. Membuka lagi jurnal yang dulu pernah ditulis oleh tangan sang ibu.
Ia menelisik kata-kata itu satu persatu. Hingga sampailah ia pada lembar terakhir, lembar yang membuatnya melepaskan buku usang itu dan mengeratkan pelukannya sendiri pada dirinya sendiri.
“Namanya Antares. Putra saya yang paling kuat, meskipun ia hanya memiliki dirinya sendiri. Hingga tanpa sadar, saya tak pernah mendidiknya dengan baik karena dengan sendirinya Ia telah tumbuh menjadi anak yang begitu sempurna. Maafkan ibu, ya? Maafkan ibu yang telah membuat dan menjadi kecacatan dalam hidupmu.”
—dihari saya melepasmu, Sh. ||
-Sea