Seantara

[Gerbang Bahagia]

Kelereng sipit itu bergerak pelan. Mata sayunya perlahan mengendar. Lima menit sudah berlalu, namun yang bisa ia lakukan hanyalah terdiam, menikmati sensasi nyeri pada seluruh bagian tubuhnya.

“Ares? Bisa dengar suara dokter?” Tanpa disadari Ares, Bara sudah berdiri di sisi kanan ranjang, dengan Cano yang ada di belakangnya. Keduanya tampak mengenakan baju steril bewarna biru.

“Ares bisa denger suara dokter?” Karena tak mendapat jawaban, Bara kembali bertanya disertai gerakan membuka lebar pupil Ares dan menyorotnya dengan pen light.

“Tingkat kesadarannnya belum normal.” Dokter Bara memberitahu Cano.

“Dok...ter...” Ares bergumam pelan dibalik masker oksigen yang menindih wajahnya.

“Kenapa? Ares sakit? Ada yang sakit? Tahan dulu ya, setelah ini kita adakan operasi lanjutan biar Ares nggak sakit, biar Ares bisa sembuh cepat” Dokter Bara memberi pengertian. Ia mengelus kening Ares dengan lembut.

Bukannya menjawab, Ares hanya menggeleng pelan.

“Gak usah... Ares su.. dah sem.. buh” Suara Ares kembali menguar pelan, tertindih suara napasnya sendiri.

Bara mendekati anak itu. Lalu kembali mengelusnya.

“Iya, habis ini sembuh.”

“Nggak.. Ares udah sembuh sekarang..” Ares menatap Bara dengan mata yang penuh keyakinan.

“Dul..u.. Ares kira.. sakitnya Ares ka..rna gin..jal A..res... tapi ternyata bukan. Disini.. Ar res kesakitan k..rna ar..res belum bisa maafin sm..anya... Ar..es ms..ih dendam sama smu..anya..” Meskipun dengan gerakan patah-patah, Ares berhasil membawa tangannya ke arah dada miliknya.

Matanya masih tetap lurus menatap Bara. Meskipun mata itu sudah berkaca-kaca, tetapi ada keyakinan penuh di sana.

“T..pi.. skar..ang dah sembuh..” Ares berusaha menyunggingkan senyum dibalik masker oksigen miliknya.

Diantara Bara dan Cano tak ada satupun yang menyahut perkataan Ares. Saat ini ada rasa takut yang mendekati hati mereka.

“Disini..dah gak sakit lagi... A..res..dah.. maafin smu..anya... A..res.. s..dah menerima takdirnya A..res..” Kelopak indah itu perlahan mulai meneteskan air matanya. Meskipun diucapkan dengan tersenyum, keduanya paham bahwa saat ini Ares tak sedang baik-baik saja.

“Dok..ter...” Ares kembali memanggil Bara.

“Hidup Ar..es.. ud..ah gak lama, ya?”

Bara memejamkan matanya sejenak. Ia sungguh menyayangi pasien yang sudah ia anggap seperti putranya ini.

“Masih lama. Dokter bakal usahain semuanya buat Ares. Jadi, Ares harus tetap optimis, ya?”

Lagi dan lagi, Ares hanya menggeleng pelan.

“A..res.. u..dah ca..pek. Peng..en tidur..”

“Tidur dulu gak papa. Biar pas masuk ruang operasi bisa lebih baik badan kamu.” Untuk pertama kalinya, suara milik Cano terucap lembut kepada Ares.

“Ka..Cano..pus...”

“Apa, hmm? Adeknya Abang mau apa?” Cano bertanya sembari mengelus punggung tangan Ares yang jarinya terdapat oxymeter.

“Bo..leh A..res panggil Abang Ano?” Ares bertanya pelan. Cano mengangguk.

“Titip ma..kasih..buat.. semuanya... Ma..af ... ka..lau hadirnya..A..res..bikin.. s..muanya han..cur” Air mata Ares turun semakin deras. Begitupun juga dengan Cano yang kini mulai memperlihatkan perasaannya.

“Nggak. Maafin abang, Maafin kita semua. Sembuh ya? Bertahan dikit lagi, ya?”

Ares tak menyahut.

“A..bang.. ti..tip jan..tung A..res untuk Lang..it”

Tak bisa dibendung lagi, kalimat itu membuat Cano mulai terisak.

“Dok..ter.. jan..ji ya?” Bara memejamkan matanya. Sulit sekali untuk mengabulkan permintaan Ares.

“Gapa..pa.. A..res pergi. Ta..pi.. seenggaknya j..ntung A..res ba..kal bisa ngrasain ba..hagia.. disayang sama keluar..ga A..res.. sebe..lumnya kan.. be..lum per..nah”

“Enggak boleh! Abang Ano sayang sama Ares. Mama, Bang Alta, semuanya sayang sama Adek. Jangan pergi ya?” Hancur sudah pertahanan Cano. Apalagi saat mendengar permintaan Ares, sekelebat bayangan mengenai potret foto keluarga yang diamankan dari TKP, membuat hati Cano semakin teriris.

“Bang.. A..res mau egois... sekali aja.. A..res ca..pek.. ma..af..A..res tid..ur dulu...” Mata itu perlahan menutup kembali. Suara pelan yang tadi beriringan dengan tarikan napas, kini sudah berhenti, menyisakan suara kasar napasnya beserta denging pada bedside monitor.

Cano menggeleng pelan. Menginginkan semua ini hanyalah mimpi buruk dalam hidupnya. Dia tidak siap, dia tidak akan pernah siap kehilangan Antares, adik kecilnya yang bahkan belum pernah ia sayang dengan tulusnya.

Cano benci mengakui ini, tapi Cano tidak ingin Ares egois. Cano tahu, ini mungkin saat yang paling ditunggu oleh Ares. Ares dapat bertemu dengan sosok yang ia rindu, Ibu dan abang —yang meski dulu tak menyayanginya— namun masih selalu ada disampinya.

Cano harus mengalah. Ares mungkin lelah. Semesta terlalu kejam kepadanya. Dia sudah berjalan dengan peluh dan letih hingga sampai titik ini, Dia sudah berlapang dada sampai hari ini, dan hari ini, mungkin hari terbaik baginya untuk menerima kebahagiaan yang abadi.


-Sea

[Condition]

Altair berlari seperti kesetanan menuju ruang operasi. Tadi saat ia sampai di IGD, pihak IGD mengatakan bahwa Ares sudah dibawa ke ruang operasi untuk menghentikan pendarahan internal.

Altair memelankan langkahnya ketika netranya telah menangkap tiga sosok yang tengah terduduk di depan ruang operasi. Ada mama di kursi paling ujung dan ada Archtur yang memiliki beberapa plester luka yang kini tengah menyederkan kepalanya pada bahu Cano.

“Ma..” Alta mendekati Erina yang nampak benar-benar kacau saat ini. Beberapa bagian tubuhnya nampak lecet, rambutnya berantakan, jejak air mata masih tercetak jelas diwajah ayu wanita itu, hingga Alta menangkap bagaimana baju depan wanita itu sudah berlumur darah hampir sepenuhnya.

“Mama gak papa?” Alta mendekati Erina, bukannya menjawab, Erina malah mendekap tubuh Altair, lalu menangis sesenggukan disana.

“Mama udah jahat sama Ares. Mama.. mama.. mama dosa.. mama gak pernah baik... tapi dia selalu baik sama mama...” Erina terisak, Altair hanya mampu mengelus punggung kecil itu dengan lembut.

“Mama takut... mama takut kalau Tuhan hukum mama dengan ini semua.. mama.. mama.. hiks .. mama gak bisa ...” Erina semakin terisak.

“Mah, udah. Kita gak bisa ngulang segala kejadian yang udah berlalu, jadi sekarang, yang terpenting kita doain Ares ya? Semoga Ares baik-baik aja” Alta memberikan penjelasan dengan lembut kepada Erina.

Dua jam berlalu hanya berisi dengan keheningan. Hingga pintu pada ruangan itu terbuka menampilkan wajah letih dari dua orang dokter yang tadi menangani Ares. Diantara kedua dokter tersebut, hanya satu dokter yang dikenali Alta, yaitu dokter Bara.

“Bagaimana keadaan putra saya, Dok?” Erina berdiri lalu menghujani dokter itu dengan pertanyaan.

Kedua dokter itu tak menyahut, tampaknya mereka sedang menimang apa yang ingin diutarakan.

“Begini bu, operasi ini hanya operasi untuk menghentikan pendarahan internal nak Ares.” Dokter yang lebih muda itu diam lagi setelah mengucapkan kalimat tadi.

Diawali dengan helaan napas, dokter Bara akhirnya membuka suara.

“Kecelakaan tadi mengakibatkan fraktur pada paha sebelah kanan, fraktur pada tulang rusuk yang menyebabkan ada beberapa bagian tulang rusuk yang berhasil merusak dinding paru-paru Ares.”

Erina merasa lemas luar biasa. Alta dan Cano juga nampak terdiam, memikirkan betapa buruknya kondisi adik kandungnya itu.

“Mohon maaf, harus saya katakan bahwasannya bukan itu saja.” Dokter Bara kembali berucap, membuat hati keempat orang yang ada disana semakin berdebar kencang.

“Benturan pada bagian perut juga menyebabkan ginjal kanan milik Ares pecah, sehingga harus dilakukan pengangkatan organ. Padahal seperti yang anda ketahui, bahwa Ares memiliki masalah dengan ginjalnya. Sebelum kecelakaan, hanya sekitar 60% kinerja ginjalnya. Jadi, dengan pengangkatan ginjal, akan beresiko bagi keselamatan Ares.”

Erina terisak mendengar penjelasan dari dokter Bara. Rasanya dunia miliknya seakan runtuh dalam sekejap.

“Apa tidak ada cara lain yang bisa dilakukan untuk mempertahankan adik saya, dok?” Cano bertanya dengan suara yang bergetar.

Dokter Bara kembali menghela napas, lalu menggeleng pelan.

“Sayangnya tidak ada. Meskipun terlalu berisiko, tapi hanya itu satu-satunya jalan yang dapat dilakukan. Dan belum lagi, ketika operasi lanjutan ini berhasil, secepatnya Ares juga harus mendapatkan donor ginjal yang baru”

“Lalu tindakan selanjutnya bagaimana dok?” Kini berganti Alta yang bertanya.

“Kita tunggu sampai keadaan vital Ares cukup membaik, setelah itu akan kami lakukan operasi lanjutan. Operasi lanjutan ini akan melibatkan tiga dokter sekaligus yaitu dokter ortopedi, bedah thorax, serta saya yang akan menangani ginjalnya. Sampai saat itu tiba, tolong kuatkan doa kalian agar Ares bisa tetap bertahan. Karena saat seperti ini, satu-satunya hal yang dapat kita lakukan adalah berdoa dengan kekuatan penuh kepada Tuhan”


Sea

[Hujan Sore Hari]

Hujan gerimis mengguyur kota sore itu. Suasana nampak syahdu karena langit masih bisa menunjukkan warna merah ungu meskipun ia tengah gerimis.

Ares bersenandung ringan sembari membawa potret berukuran 20R ditangan kanannya. Sejenak ia pandangi potret itu, nampak sangat indah dengan isi tujuh orang-meskipun aslinya hanya ada enam orang, namun Ares benar-benar takjub dengan hasil edit Bapak Fotografer itu. Ares seolah-olah benar-benar berada diantara tawa keluarganya, ya hanya seolah-olah.

Beberapa menit kemudian, Ares menghentikan langkahnya. Dia baru tersadar, saat ini ia salah melangkahkan kaki. Harusnya ia langkahkan kaki kecil itu ke arah kontrakan, namun malah sekarang ia tersadar sudah di perempatan dekat rumah milik keluarga Jainendra.

Ares menghembuskan napas sejenak, memandang rumah besar yang sudah tampak dari tempatnya berdiri itu. Jujur saja, Ares bingung dengan dirinya hari ini. Bisa-bisanya rasa rindu terhadap keluarganya begitu terasa seperti ini, hingga tanpa sadar menggerakkannya hingga sampai di posisi ini.

Ares memandang rumah itu bergantian dengan pandangannya ke arah potret yang sedang ia pegang. Ia rindu.. Ia rindu dengan semua hal yang pernah terjadi bersama dengan keluarga barunya itu—Ya meskipun banyak sedihnya, tapi ada beberapa memori menyenangkan dalam benak Ares.

Dengan sedikit terpaksa, Ares melangkahkan kakinya untuk pergi meninggalkan perempatan itu. Namun lagi dan lagi ia harus menghentikan langkahnya tatkala melihat Mama dan juga Archtur yang tengah berjalan keluar dari supermarket. Keduanya nampak asyik tertawa bersama hingga tidak ada yang menyadari bahwa dari arah kanan melaju. sebuah mobil dengan kecepatan tinggi.

Entah dapat dorongan dari mana, Ares berlari mendekati posisi Ibu dan kakaknya itu.

“MAMA AW—”

“BRAKK!!!”

Belum sempat kalimat itu terlontar penuh, tubuh kecil itu sudah melayang setelah terhantam mobil hitam tersebut. Semuanya berjalan dengan sangat cepat, hingga tubuh itu telah terlentang di aspal dengan jarak beberapa meter dari kedua orang yang tadi sempat ia dorong.

Ares terdiam. Semua sisi dari tubuhnya terasa amat sangat menyakitkan. Saking sakitnya, bahkan ia tidak dapat menggerakkan tubuhnya barang seujung jari. Menikmati sensasi ngilu itu, Ares menatap Langit di atasnya. Semburat oranye keunguan itu kini perlahan pudar tergantikan langit abu. Air yang tadi jatuh dengan sopan, kini berubah menjadi bulir-bulir besar yang kasar. Bau anyir begitu menguar, tubuh kecil itu kini berada di atas genangan darahnya sendiri.

Ares menarik napasnya meskipun terasa sulit. Kepalanya ia tolehkan ke samping, ke arah tangan kanan yang tadi menggenggam erat potret keluarga miliknya. Ares menyunggingkan senyum, kala melihat potret itu tidak terlempar jauh dari tangannya. Genggaman eratnya tadi berhasil mempertahankan potret itu meski kini kondisi potret itu juga tak kalah memprihatinkan. Kaca diatasnya pecah dan ada beberapa siratan darah Ares yang tadi mengenai potret itu.

“A...res?” Ares kenal suara ini meski kali ini suara yang biasanya tenang itu terdengar begitu bergetar.

Ares hanya bisa tersenyum memandang mama yang menghampirinya dengan wajah menangis. Raut khawatir itu begitu jelas tersirat dalam wajah wanita cantik di depannya itu.

“Arch.. Arch... panggil Ambulan.. kak alta .. atau papa ... iya papa... cepatt!!” Mama panik, ia berteriak kepada Arctur.

Jalanan kompleks itu sangat sepi. Tidak ada yang membawa handphone saat ini. Archtur berlari ke arah rumah meskipun ada beberapa bagian dari tubuhnya yang juga terluka.

“Ares.. jangan tidur dulu!” Mama berteriak pada Ares yang mulai menutup mata.

Dengan perlahan, Erina membawa kepala Ares yang penuh darah ke pangkuannya.

“Nya...man...” Ares berujar pelan. Matanya tertutup, namun senyum itu masih sempat ia berikan.

“Kalau nyaman, buka mata Ares ya? Jangan tidur disini.. Ares mau kan tidur sama mama?” Erina meracau. Harusnya ia senang, anak yang ia harapkan mati, kini akan mati tepat di depan matanya. Harusnya ia senang, tetapi mengapa ada bagian dari hatinya ikut merasakan sakit luar biasa ketika melihat tubuh kecil itu berlumuran darah?”

“Ma...” Ares mencoba memanggil Erina.

“Apa sayang? Hmm?” Erina bertanya lembut sembari mengelus kening Ares pelan.

“Ambil... Jant..ung ..A..res ..tuk.. La..ngit” Ares tersenyum, matanya kini mengalirkan buih.

“Enggak. Maafin mama. Harusnya mama gak minta itu dari kamu. Maafin mama.” Erina menggeleng, tangisannya semakin kencang tatkala menyadari dosanya dulu.

“Ar...es.. ng..ntuk..” Ares berucap semakin lirih.

“NGGAK! NGGAK BOLEH! ARES DENGERIN MAMA! ARES GAK BOLEH TIDUR!!!” Erina berteriak seperti kesetanan ditengah hujan yang semakin lebat.

Ares tersenyum. Hatinya menghangat meski tubuhnya mulai tak dapat ia rasakan. Erina ternyata juga menyayanginya, meskipun itu baru dapat ia rasakan kini. Tapi ia sendiri sudah merasa bahagia. Hidupnya sudah terasa cukup kali ini. Dan andaikata ini kali terakhir ia dapat bernapas, ia benar-benar berterima kasih pada Tuhan yang telah memberikannya rasa bahagia meskipun untuk terakhir kalinya.

“Ma...Ma..af... ma..k..si..”

Senyum itu perlahan luntur. Mata sayu itu mulai menutup, hingga jeritan Erina berhasil menutup pendengarannya sebelum kegelapan dan keheningan berhasil merenggut kesadaran tubuh yang kian meluruh itu.


Sea

[Potret Keluarga]

Sudah tiga puluh menit Ares terdiam duduk ditempatnya. Tak ada suara apapun di meja pojok itu, meskipun Hagan sudah sampai disana lima belas menit yang lalu. Tadi saat dirumah, ia merasa ingin mengunjungi tempat ini dan kini, ia tahu mengapa hatinya menginginkan itu.

Disana, di ujung kedai yang dijadikan sebagai Studio Photo, Ares dapat melihat dengan jelas bagaimana tawa dan raut bahagia yang kini tengah terpancar dari keenam anggota keluarganya. Ah ralat, keenam orang yang seharusnya jadi anggota keluarganya. Meskipun terhalang oleh ornamen pohon, namun Ares tetap bisa melihat semuanya lewat celah celah yang ada.

“Pindah aja yuk? Ganti ke tempat lain” Hagan berusaha mencegah Ares untuk masuk kedalam luka miliknya.

“Gausah. Gue gak papa” Ares tersenyum, meskipun lagi dan lagi, pancaran nestapa itu menguar dari balik matanya.

“Lo yakin? Gak papa.. gausah ditahan. Lo boleh nangis kalau emang pengen” Hagan berujar pelan.

Mendengar suara Hagan, Ares hanya menunduk. Lalu tak lama bahu ringkih miliknya mulai bergetar. Melihat hal itu, Hagan yang awalnya berada di depan Ares, kini berpindah posisi ke kursi samping Ares, guna merengkuh tubuh kecil itu.

“Gak papa nangis.. Lo udah hebat buat bertahan sampai sini. Hari ini, Nangis lo gak bakal buat lo jadi orang yang lemah. Karena kita semua udah tahu, kalau lo orang yang hebat” Hagan berucap ditelinga Ares, membuat isak Ares semakin terlihat.

Sekuat mungkin, Ares menggigit bibirnya, agar isaknya tak mengambil perhatian orang yang ada disana. Perlahan, bayangan Ibu, Bang Naka, kilas balik kehidupannya, hingga bagaimana pertemuannya dengan Erina kemarin mencuat di pikiran Ares.

“Gan.. salah ya gue hidup? Salah ya kalau gue masih ingin bertahan sama keadaan gue meskipun itu sulit? Salah ya kalau gue belum pengen mati? Salah ya gue ada di dunia ini?” Ares terisak pelan, terasa begitu menyakitkan.

“Enggak...enggak. Lo gak salah. Lo berhak hidup Res. Lo berhak hidup dengan bahagia”

“Tapi kenapa rasanya Tuhan jahat sama gue? Semua orang gak pengen gue ada disini. Bahkan semesta pun mendukung hal itu dengan skenario hidup yang udah diluar nalar gue. Gue capek rasanya. Setiap gue mau mengakhiri semuanya, kenapa selalu datang harapan-harapan baru? Tapi kenapa harapan-harapan itu selalu berakhir menyakitkan buat gue? Harapan baru itu berakhir sangat menyakitkan sampai dia berubah menjadi alasan gue buat mati.”

Ares menangis hingga membuat Hagan juga menjatuhkan airmata.

“Enggak. Lo gak boleh gitu. Tau gak kenapa Tuhan ngasih cobaan ini ke lo? Karena Tuhan percaya, lo lebih kuat dari semua orang yang ada buat nanggung ujian itu. Karena Tuhan percaya lo lebih kuat.. lo lebih bisa.. lo lebih hebat.. makanya Tuhan kasih lo itu”

Hagan berusaha menenangkan Ares.

“Boleh gak sih kalau gue bilang omongan lo itu bullshit?”

“Boleh. Tapi gini deh, pernah gak lo mikir kenapa Tuhan selalu gagalin lo tiap kali lo mau mengakhiri semuanya?”

Ares terdiam, mencerna pertanyaan Hagan.

“Itu karena Tuhan sayanggg banget sama lo. Makanya Dia gak rela kalau lo harus mati lewat jalan yang salah.” Hagan mengelus bahu Ares lembut.

“Lo itu hebaatttttt banget. Jadi, bertahan lebih lama lagi ya? Gue belum siap kalau harus kehilangan lo”


Obrolan panjang antara Ares dengan Hagan akhirnya berakhir setelah dua jam lamanya. Sepuluh menit yang lalu, Hagan mendahului pulang karena ia ada keperluan mendadak. Sedangkan Ares, ia masih duduk dikursi itu. Ia diam, tetapi otaknya memproses segala nasehat yang Hagan berikan untuknya.

Hagan benar, tidak seharusnya Ares mengakhiri hidup singkat ini dengan bunuh diri. Hagan benar, bahwa hidup yang singkat ini tidak perlu dipersingkat lagi. Hagan benar, Ares harus selalu percaya bahwa Tuhan itu baik kepada semua hambaNya.

Perlahan Ares berdiri, menghampiri studio photo yang sudah kosong di kedai itu.

“Pak, saya mau photo, bisa?” Tanya Ares dengan senyuman, meskipun wajahnya masih menampakkan bekas tangisan.

“Bisa-bisa. Itu ada properti atau busana yang bisa digunakan. Mau foto sendiri?” Bapak itu bertanya.

Ares tersenyum lalu mengangguk.

“Saya foto sendiri Pak. Tapi boleh saya minta tolong?” Tanya Ares sopan.

“Minta tolong apa, nak?”

“Disini disediakan jasa edit foto juga kan, Pak? Tolong pilihkan pose untuk saya ya, lalu editkan saya masuk kedalam protret keluarga yang bapak photo tadi” Ares tersenyum, matanya sendu, nampak memohon.

Bapak itu tampak menimang sejenak. Ares yang paham dengan keraguan Bapak tersebut hanya tersenyum sembari berkata,

“Saya ini gak punya keluarga Pak. Cuman, saya pengen ngerasain gimana foto keluarga secara lengkap. Enggak akan saya gunakan untuk kejahatan kok Pak. Hanya akan saya gunakan sebagai kenangan bagi saya”


-Sea

[Angan]

Ares menghentikan langkahnya sejenak sebelum pada akhirnya ia memberanikan diri untuk menghampiri wanita paruh baya yang tengah duduk di kursi taman itu.

“Ares? Duduk sini, nak”

Satu kalimat yang tiba-tiba menghangatkan hati Ares.

“Mama dengar, kamu sakit?” Erina bertanya lembut.

Ares tersenyum. Sungguh, rasanya mulai muncul perasaan bahagia dihati miliknya. Rasa yang telah lama hilang itu perlahan muncul kembali.

“Nggak papa kok Ma. Masih bisa Ares tahan” Ares berucap, sembari tersenyum. Jujur saja ia tidak ingin membuat khawatir ibunya.

“Sakit apa?” Mama bertanya lagi. Kini tangannya mengelus punggung Ares pelan.

“Ginjal..” Ares menunduk pelan, raut mukanya tampak sedikit berubah menjadi sendu.

“Parah?”

“Dokter Bara bilang, cukup buruk tapi masih bisa berharap sama pengobatan yang sekarang Ares jalani. Ya meskipun Ares tahu kalau nyatanya itu semua nggak cukup hehe”

Ares menjawab dengan suara bergetar. Beginikah rasanya bisa membagi isi hati dengan sosok Ibu? Rasanya ia seperti ingin mencurahkan segalanya disana.

“Seburuk itu? Sejauh mana bisa bertahan?” Erina beralih mengelus kepala putranya itu.

“Perkiraan dokter Bara, kalau kondisi Ares membaik, Ares bisa bertahan beberapa tahun kedepan, tapi kalau memburuk.... mungkin hanya sekitar satu tahun.” Ares berucap pelan. Bibirnya masih tersunggingkan senyum meskipun matanya sedang berkaca-kaca.

“Terlalu lama...” Erina bergumam pelan. Ares sendiri tidak tuli untuk mendengarkan gumaman itu.

“Apa, Ma?” Ares menatap mata Erina. Mencoba menelisik bahwa apa yang didengarnya adalah kesalahan.

“Kamu. Masih terlalu lama bertahan. Padahal saya kira kamu bisa secepatnya menjadi pendonor jantung untuk Langit”

Duarr. Sepersekian detik rasanya dunia milik Ares hancur lebur. Baru beberapa menit yang lalu, ia kira ia akan mendapatkan tempat bersandar. Nyatanya, semua itu hanyalah khayal yang ia ciptakan di pikirannya sendiri.

Mama, keluarga, sayang, cinta, itu semua hanyalah hal mewah yang Ares impikan dalam dunia kecilnya. Semuanya... semuanya hanyalah angan yang tak pernah menjadi nyata.

Erina berhenti mengelus kepala Ares. Kini tangannya dengan lembut menangkup kedua bahu milik Ares.

“Sekali ini saja. Jadi anak yang berbakti ya sama saya? Kamu tidak akan bertahan lama kan? Jadi, donorkan jantung kamu untuk Langit ya?”

Untuk kesekian kalinya, lagi dan lagi, hati kecil itu pecah bersamaan dengan asa yang kini mulai ikut menguap.


Sea

[Kosong]

Sudah hampir satu jam Cano duduk di kursi samping ranjang berisi pasien kesayangan dokter Bara itu. Selama itu pula, Cano menatap Ares, menelisik banyak sekali perubahan pada orang yang secara darah adalah adiknya itu.

“Lo gak makan tiga bulan apa gimana sih? Kurus bener sekarang.” Cano bergumam pelan. Sembari mengelus punggung tangan Ares.

“Gue.. jahat banget ya?” Monolog Cano, sangat pelan.

“Maaf...” Entah dapat dorongan dari mana, kata itu berhasil terlontar dari bibir Canopus.

Sesaat hanya keheningan yang menyelimuti ruangan itu. Hingga muncullah suara pelan akibat gesekan dari pergerakan tubuh diatas ranjang.

“Eungh” Ares melenguh pelan. Sesaat mata anak itu nampak mengerjap dan menutup, tanda sedang beradaptasi dengan pencahayaan ruang.

Satu.. dua.. tiga.. berhasil! Keduanya saling bertukar pandang dengan ekspresi yang sama-sama tak terbaca.

“Jangan Ge er! Gue disini nuntasin tugas koas gue. Bukan mau ngurus orang penyakitan kaya lo” Cano meruntuk dalam hati. Entahlah, dari sekian banyak kalimat yang bisa ia lontarkan, mengapa harus kalimat menyakitkan itu yang dapat ia ungkapkan.

Hal yang tak disangka tertangkap penglihatan Cano. Usai mendengar kalimat itu, Hal pertama yang Ares lakukan adalah menghela napas. Kemudian ia sunggingkan senyum, meskipun tak dapat dipungkiri bahwa di matanya tercetak luka yang amat jelas.

“Gimana bisa Ares berpikir Kakak disini untuk Ares? Tanpa kakak kasih tahu pun, Ares udah cukup sadar diri.”


Tak ada percakapan apapun sampai tibalah dokter Bara keruangan tersebut. Jika tadi siang anak itu meronta tidak mau melakukan cuci darah, anehnya malam ini anak itu benar-benar menjadi anak yang patuh. Dia tidak protes, tidak juga menangis, atau meringis saat beberapa selang mulai dimasukkan ke dalam tubuh kecilnya. Tak ada ekspresi apapun yang ditampilkan Antares kecuali wajah tanpa rona yang kini berteman dengan mata tanpa asa. Ia hidup, namun terlihat kosong. Ia hidup, namun seperti mati.

“Nggak sakit?” Dokter Bara bertanya dan hanya dijawab gelengan oleh Ares.

“Saya tahu kamu bohong. Gimana bisa tubuh dimasuki selang kaya gini nggak kerasa sakit? Meskipun udah dikasi anestesi, tapi tetep sakit kan? Tetep lemes kaya biasanya kan?” Dokter Bara mencoba memancing.

“Yang sakit disini” Ares menjawab pelan, sembari memegang dadanya.

“Rasanya kosong. Tapi gatau kenapa terasa sakit sekali...”


-Sea

[Titik Paling Dalam]

Pengukur waktu yang menempel di dinding itu kini menunjukkan pukul satu. Sambil menghirup napas dalam, Cano menengok keadaan sekitar stase penyakit dalam, stase yang akan menjadi bagian dari pembelajaran kliniknya untuk tiga bulan kedepan. Cano masih berdiri, menatap pintu ruangan bertuliskan dr. Bara.

“Semoga kali ini nggak killer ya Allah...” Cano bergumam pelan, lalu sebuah suara menginterupsi heningnya.

“Lhoh? Dek koas ya? Udah mulai rolling lagi to?” Tanya seorang wanita paruh baya, dengan rambut yang digelung alus.

“Iya, Sus. Baru hari pertama.” Jawab Cano sembari tersenyum.

“Shiftnya masih jam dua kan ya? Kok sudah sampai? Apa nggak ingin menikmati waktu satu jam berhargamu?” Suster Laila tampak menggoda. Sudah berpuluh tahun ia bekerja di rumah sakit, jadi paham betul bagaimana pola hidup anak-anak koas disana.

“Hehe, niatnya mau nemuin Dokter Bara dulu, Sus. Salam kenal gitu istilahnya hehe”

“Oh iya saya sampai lupa. Dokter Bara lagi di ruang hemodialisa. Tadi beliau kasih pesan, buat cari aja kesana.”

“Apa enggak ganggu pasien kalau saya tiba-tiba masuk?”

“Kalau Dokter Bara nyuruh gitu, berarti enggak, kan? Pasiennya pasien kesayangan Dokter Bara. Biasanya patuh kalau cuci darah, tapi akhir-akhir ini udah sering telat padahal frekuensi cuci darahnya udah nambah. Dan hari ini, dia malah tantrum, gak mau cuci darah.” Suster Laila menghela napas pelan, gurat kesedihan juga tercetak di wajah cantiknya.

“Pasiennya udah tua , Sus?”

“Masih muda, dek. Umur tujuh belasan. Saya salut sama dia, tapi juga sedih. Akhir-akhir ini dia udah kayak kehilangan semangat hidup, padahal dulu dia semangat sekali untuk sembuh.” Suster Laila mulai bercerita. Matanya sedikit berkaca-kaca.

Mendengar cerita suster Laila, entah mengapa Canopus juga penasaran mengenai sosok pasien tersebut. Usai pamit, Cano langsung berjalan menuju ruang hemodialisa.

Diantara sekian bed, hanya satu yang terisi, yaitu bed yang paling pojok. Perlahan, Cano mendekat kearah ranjang yang dibatasi dengan gorden bewarna biru muda itu. Samar-samar telinganya berhasil menangkap suara isak tangis dari balik gorden.

Sedikit mengintip, Cano mengamati lekat bagaimana cara interaksi Dokter Bara yang kini tengah memeluk pasiennya itu.

“Sekarang kamu maunya gimana? Hmm?” Dokter Bara bertanya lembut. Tangannya ia gunakan untuk mengusap kepala remaja yang kini tengah terbenam di pundaknya.

“Gak mau cuci darah lagi.. semuanya sakit.. tangan Ares, kaki Ares, Badan Ares, semuanya sakit, dok. Apalagi dada Ares rasanya sesek banget tiap cuci darah. Ares udah gak mau.. Ares gak mau sembuh.. Ares mau pergi.. Ares mau nyusul Ibu sama Bang Naka.. Ares capek..”

Cano terhenyak. Hatinya merasakan nyeri mendengar suara yang pernah singgah ditelinganya itu kini merintih dengan amat putus asa. Cano tidak tuli, ia tidak salah mengenali bahwa suara itu milik Ares, adiknya yang belum sempat ia terima.

“Ares boleh capek. Ares nanti boleh nyusul Ibunya Ares, tapi hari ini kita cuci darah dulu ya? Sekali aja, ya?” Dokter Bara masih mencoba membujuk.

“Gak mau. Dokter jahat. Kenapa Dokter masih mau nyoba sembuhin Ares? Kenapa dokter mau ngelihat Ares kesiksa kaya gini?!”

Isak itu semakin mengeras. Benar kata suster Laila, bahwa Ares kini tengah mengalami mental breakdown.

“Enggak. Dokter pengen lihat Ares bahagia, enggak sakit lagi. Jadi mau ya? Dilakuin dulu. Hidup kita itu enggak lama, Nak. Jadi tidak perlu dipersingkat lagi. Bertahan ya?”

“Kenapa dihidup yang singkat ini Tuhan nggak ngasih bahagia ke Ares? Kenapa dihidup yang singkat ini semesta masih jahat banget buat mainin takdir kecil milik Ares? Kenapa?? Kenapa dihidup yang singkat ini Ares selalu sendirian? Ares egois.. Ares gatau diri.. Ares pembawa sial.. makanya Tuhan nggak ngasih bahagia buat Ares.. Ares minta maaf.. Ares minta maaf... ARES MINTA MAAF!!!”

Suara teriakan Ares diikuti suara vas terjatuh membuat Cano segera menarik gorden itu. Dilihatnya, posisi Dokter Bara yang kini tengah kesusahan untuk mendekap tubuh Ares yang terus berontak.

“Tolong, gantikan posisi saya!” Dokter Bara terlihat kalang kabut. Dengan cekatan Cano menggantikan posisi dokter bara yang tadi mendekap Ares agar mencegah tangannya melukai dirinya sendiri. Ares sendiri masih meraung meminta maaf, seperti tak sadar dengan apa yang telah ia lakukan dan bagaimana lingkungannya kini.

Tak lama kemudian, sebuah suntikan berisi penenang berhasil diinjeksikan ke tubuh Ares. Sepersekian detik, tubuh dalam dekapan Cano mulai terasa luruh. Teriakannya kini mulai tinggal gumaman gumaman disertai isak tangis kecil, namun berhasil menyentuh titik paling dalam dari seorang Canopus.

“Ares kesepian... Dunia gak mau terima Ares... Ares ... harus kemana... Ares nggak kuat la..gi..”


-Sea

[Apa kabar?]

Terik matahari sudah mulai terasa meskipun jarum waktu baru menunjukkan pukul delapan pagi. Kemacetan disertai bermacam klakson yang saling menjerit menambah panas suasana hati pemuda yang kini tengah terjebak macet itu.

“Iya, Pa. Hari ini Alta mau cek cabang 9. Menurut aku gak jauh, Pa. Its okay. Sekalian refreshing. Juga cuman pinggir kota tempatnya. Udah ya, Pa, Alta tutup dulu telfonnya.”

Altair menutup panggilan Juno. Ia menghela napas sejenak. Sejujurnya, Alta tidak suka melakukan perjalanan seperti ini. Namun semenjak kepergian Ares, Alta jadi sering melakukannya dengan harapan agar ia bisa menemukan adiknya itu dan membawanya pulang.


Kolaborasi antara suara manusia dengan mesin berkumpul menghasilkan suara semruwet di pabrik beras itu. Meskipun tidak sebesar cabang yang lain, namun pabrik sudah cukup untuk memenuhi pasokan pasar warga pinggir kota.

Di dampingi kepala cabang, Altair dengan teliti meninjau ulang setiap proses produksi hingga sampailah ia di bagian gerbang belakang, tempat dimana truk-truk besar yang membawa gabah (padi yang masih belum diolah), dan juga pengangkutan beras hasil produksi ke truk untuk dipasarkan.

Altair sedikit menutup hidungnya saat dirasa beberapa debu dari truk dan gabah berhasil membuatnya tidak nyaman.

“Disini kotor, Pak. Lebih baik Bapak istirahat terlebih dahulu di ruangan Bapak.” Pak Hendra — pemimpin cabang— tampak tidak enak melihat Bosnya yang terlihat tidak nyaman.

“Brukk!!!”

Sebuah suara menginterupsi perjalanan Alta yang hendak pergi meninggalkan tempat truk. Dicarinya sumber suara yang ternyata berasal dari dua orang yang kini tengah berdiri di belakang truk yang sudah kosong.

“Kamu ini bisa kerja nggak sih? Udah baik Pak manager bawa kamu kesini, eh malah nggak guna ternyata. Memang ya, kalau anak muda udah putus sekolah kayak kamu, sudah dipastikan nggak bisa apa-apa”

Itu Pak Yudi, seseorang yang tadi diperkenalkan Pak Hendra sebagai Kepala Bagian Transportasi di cabang ini. Namun bukan itu yang menjadi titik fokus Alta, melainkan pemuda yang kini sedang menunduk di depan Pak Yudi.

“Maaf, Pak. Saya akan kondisikan mereka.” Pak Hendra terlihat semakin gusar.

“Tidak perlu”
Jawab Alta dingin, lalu mendekat ke arah perkelahian itu.

“KALAU ORANG NGOMONG ITU DIJAWAB! KAMU BISU?!” Pak Yudi berteriak marah.

“Ma.. af. Ma-af, Pak. Tolong jangan pecat saya” Suara yang bergetar itu masih Alta hapal diluar kepala. Perlahan Alta semakin mendekatkan dirinya.

“ANAK PENYAKITAN JANGAN KERJA DISINI DEK!” Pak Yudi mulai menonyor kepala itu. Sedangkan si pemilik tubuh masih saja tetap menunduk sembari berusaha menjaga keseimbangan agar tidak jatuh saat di toyor oleh atasannya.

“DASAR LEMAH!” Pak Yudi kembali memukul anak itu, hingga membuatnya terjatuh.

“NGGAK BERGUNA! MAKAN GAJI BUTA! NGGA-”

BUGHH!!!!

Belum usai sumpah serapah itu, sebuah pukulan telak berhasil menghantam wajah Pak Yudi. Ya, dia Altair, lelaki yang kini menyita perhatian semua orang disana. Bagaimana tidak? Bos yang selama ini dikenal dengan pembawaan begitu dingin dan tenang, kini dengan terang-terangan memukul pegawainya hanya untuk membela anak baru disana.

“P—pak Alta?” Pak Yudi terbata, ia masih syok dengan perlakuan yang baru saja dia dapatkan.

Abai dengan suara-suara dibelakang, Alta mendekat pada tubuh yang kini sedang menunduk dalam posisi duduk itu. Perlahan, tangannya ia gunakan untuk merengkuh tubuh yang terlihat amat sangat rapuh itu, membuat semua orang disana diam seribu bahasa.

“Adeknya Kak Alta, kamu kemana aja? Kakak rindu kamu, dek.”

Suara Alta terdengar bergetar. Jujur saja Alta ingin menangis saat ini apalagi usai melihat betapa memprihatinkan kondisi adiknya itu.

“Gak papa. Kakak ada disini buat Ares. Gak ada yang bisa sakitin Ares lagi. Maaf.. Maafin kakak karena udah pernah gagal lindungin kamu”

Runtuh sudah pertahan Ares ketika ia merasakan pelukan Alta yang semakin menguat disertai suara isakan kecil dari kakak sulungnya itu. Sungguh, rasanya saat ini Ares hanya ingin menangis di dekapan Altair, tidak ada yang lain.


Altair kini masih menatap lekat Antares. Memperhatikan sebanyak apa adiknya itu telah berubah. Jika dulu adiknya itu adalah orang yang optimis, kini adiknya menjadi orang yang selalu menunduk tanpa asa. Jika dulu adiknya cukup berisi, kini tubuhnya terlihat kurus tak terurus. Beberapa bekas luka juga tampak terlihat pada jari jari lentik milik adiknya itu. Kulit putih bersihnya dulu, kini juga mulai berubah menjadi kusam dan kecoklatan. Mungkin, jika orang tidak tahu hubungan diantara keduanya, mereka pasti akan mengira bahwa Ares adalah gelandangan yang saat ini sedang diajak makan oleh seorang yang kaya dengan setelan mahal.

Alta menghela napasnya, prihatin melihat kondisi adiknya yang kini sudah amat sangat berubah. Benar-benar tidak ada yang memulai obrolan apapun hingga pelayan resto mulai memberikan apa saja yang dibeli Altair.

“Jangan nunduk terus gitu, dek. Makanannya udah dianter. Kamu gak laper apa nyium baunya?” Altair sedikit menggoda, berusaha memecah sunyi.

Mendengar itu, Ares perlahan menaikkan kepalanya. Ia tersenyum sembari menatap banyak makanan yang tersedia disana dengan tatapan sendu.

“Kenapa gak di ma- Astaghfirullah. Maaf kakak lupa. Harusnya kakak tadi tanya kamu dulu ya apa aja yang boleh dimakan.”

Altair heboh sendiri menyadari kesalahannya. Sedangnkan Ares terkejut dengan apa yang dilontarkan kakaknya itu.

“Gak perlu disembunyiin lagi, Dek. Kakak udah tau” Alta tersenyum halus kepada Ares.

“Kenapa nggak bilang dari dulu, hmm? Kenapa kamu simpan kaya gini sendirian aja, Dek?”

“Dulu, Ares takut kalau sakitnya Ares bakal membebani kalian, Ares takut kalau Ares bakal dibuang sama kalian karena penyakitan. Ternyata, tanpa tahu Ares sakit pun, nyatanya Ares kini udah terbuang hehe”

Meskipun terlihat luka dimatanya, Antares tersenyum hingga membentuk bulan sabit diawajahnya.

“Nggak. Kamu gak boleh ngerasa terbuang gitu. Pulang yuk? Pulang sama kakak.”

“Pulang kemana?”

“Ke rumah”

“Rumah Ares cuman ibu. Sekarang ibu udah nggak ada, jadi Ares udah gak punya rumah.”

“Ada yang lain. Rumah kita, dimana ada kakak, Mama, Papa, Abang kamu lainnya. Disana juga rumahmu, Dek.” Altair mencoba meyakinkan Ares.

“Bagaimana bisa disebut rumah kalau mereka tidak bisa memberikan rasa nyaman dan perlindungan? Rumah papa memang besar, bahkan muat jika untuk menampung sepuluh Ares lagi. Tapi hati penghuninya, enggak ada yang muat untuk menerima kehadiran satu Ares. Kak Alta, Ares capek, Kak. Ares capek kalau harus berharap terus buat dapetin kasih sayang dari kalian. Jadi, sekarang biarin Ares dijalan Ares sendiri ya? Mari kita kembali ke masa dimana kita enggak saling mengenal, Seolah-olah takdir buruk ini nggak pernah terjadi diantara kita”


-Sea

[Apa kabar?]

Terik matahari sudah mulai terasa meskipun jarum waktu baru menunjukkan pukul delapan pagi. Kemacetan disertai bermacam klakson yang saling menjerit menambah panas suasana hati pemuda yang kini tengah terjebak macet itu.

“Iya, Pa. Hari ini Alta mau cek cabang 9. Menurut aku gak jauh, Pa. Its okay. Sekalian refreshing. Juga cuman pinggir kota tempatnya. Udah ya, Pa, Alta tutup dulu telfonnya.”

Altair menutup panggilan Juno. Ia menghela napas sejenak. Sejujurnya, Alta tidak suka melakukan perjalanan seperti ini. Namun semenjak kepergian Ares, Alta jadi sering melakukannya dengan harapan agar ia bisa menemukan adiknya itu dan membawanya pulang.


Kolaborasi antara suara manusia dengan mesin berkumpul menghasilkan suara semruwet di pabrik beras itu. Meskipun tidak sebesar cabang yang lain, namun pabrik sudah cukup untuk memenuhi pasokan pasar warga pinggir kota.

Di dampingi kepala cabang, Altair dengan teliti meninjau ulang setiap proses produksi hingga sampailah ia di bagian gerbang belakang, tempat dimana truk-truk besar yang membawa gabah (padi yang masih belum diolah), dan juga pengangkutan beras hasil produksi ke truk untuk dipasarkan.

Altair sedikit menutup hidungnya saat dirasa beberapa debu dari truk dan gabah berhasil membuatnya tidak nyaman.

“Disini kotor, Pak. Lebih baik Bapak istirahat terlebih dahulu di ruangan Bapak.” Pak Hendra — pemimpin cabang— tampak tidak enak melihat Bosnya yang terlihat tidak nyaman.

“Brukk!!!”

Sebuah suara menginterupsi perjalanan Alta yang hendak pergi meninggalkan tempat truk. Dicarinya sumber suara yang ternyata berasal dari dua orang yang kini tengah berdiri di belakang truk yang sudah kosong.

“Kamu ini bisa kerja nggak sih? Udah baik Pak manager bawa kamu kesini, eh malah nggak guna ternyata. Memang ya, kalau anak muda udah putus sekolah kayak kamu, sudah dipastikan nggak bisa apa-apa”

Itu Pak Yudi, seseorang yang tadi diperkenalkan Pak Hendra sebagai Kepala Bagian Transportasi di cabang ini. Namun bukan itu yang menjadi titik fokus Alta, melainkan pemuda yang kini sedang menunduk di depan Pak Yudi.

“Maaf, Pak. Saya akan kondisikan mereka.” Pak Hendra terlihat semakin gusar.

“Tidak perlu”
Jawab Alta dingin, lalu mendekat ke arah perkelahian itu.

“KALAU ORANG NGOMONG ITU DIJAWAB! KAMU BISU?!” Pak Yudi berteriak marah.

“Ma.. af. Ma-af, Pak. Tolong jangan pecat saya” Suara yang bergetar itu masih Alta hapal diluar kepala. Perlahan Alta semakin mendekatkan dirinya.

“ANAK PENYAKITAN JANGAN KERJA DISINI DEK!” Pak Yudi mulai menonyor kepala itu. Sedangkan si pemilik tubuh masih saja tetap menunduk sembari berusaha menjaga keseimbangan agar tidak jatuh saat di toyor oleh atasannya.

“DASAR LEMAH!” Pak Yudi kembali memukul anak itu, hingga membuatnya terjatuh.

“NGGAK BERGUNA! MAKAN GAJI BUTA! NGGA-”

BUGHH!!!!

Belum usai sumpah serapah itu, sebuah pukulan telak berhasil menghantam wajah Pak Yudi. Ya, dia Altair, lelaki yang kini menyita perhatian semua orang disana. Bagaimana tidak? Bos yang selama ini dikenal dengan pembawaan begitu dingin dan tenang, kini dengan terang-terangan memukul pegawainya hanya untuk membela anak baru disana.

“P—pak Alta?” Pak Yudi terbata, ia masih syok dengan perlakuan yang baru saja dia dapatkan.

Abai dengan suara-suara dibelakang, Alta mendekat pada tubuh yang kini sedang menunduk dalam posisi duduk itu. Perlahan, tangannya ia gunakan untuk merengkuh tubuh yang terlihat amat sangat rapuh itu, membuat semua orang disana diam seribu bahasa.

“Adeknya Kak Alta, kamu kemana aja? Kakak rindu kamu, dek.”

Suara Alta terdengar bergetar. Jujur saja Alta ingin menangis saat ini apalagi usai melihat betapa memprihatinkan kondisi adiknya itu.

“Gak papa. Kakak ada disini buat Ares. Gak ada yang bisa sakitin Ares lagi. Maaf.. Maafin kakak karena udah pernah gagal lindungin kamu”

Runtuh sudah pertahan Ares ketika ia merasakan pelukan Alta yang semakin menguat disertai suara isakan kecil dari kakak sulungnya itu. Sungguh, rasanya saat ini Ares hanya ingin menangis di dekapan Altair, tidak ada yang lain.


Altair kini masih menatap lekat Antares. Memperhatikan sebanyak apa adiknya itu telah berubah. Jika dulu adiknya itu adalah orang yang optimis, kini adiknya menjadi orang yang selalu menunduk tanpa asa. Jika dulu adiknya cukup berisi, kini tubuhnya terlihat kurus tak terurus. Beberapa bekas luka juga tampak terlihat pada jari jari lentik milik adiknya itu. Kulit putih bersihnya dulu, kini juga mulai berubah menjadi kusam dan kecoklatan. Mungkin, jika orang tidak tahu hubungan diantara keduanya, mereka pasti akan mengira bahwa Ares adalah gelandangan yang saat ini sedang diajak makan oleh seorang yang kaya dengan setelan mahal.

Alta menghela napasnya, prihatin melihat kondisi adiknya yang kini sudah amat sangat berubah. Benar-benar tidak ada yang memulai obrolan apapun hingga pelayan resto mulai memberikan apa saja yang dibeli Altair.

“Jangan nunduk terus gitu, dek. Makanannya udah dianter. Kamu gak laper apa nyium baunya?” Altair sedikit menggoda, berusaha memecah sunyi.

Mendengar itu, Ares perlahan menaikkan kepalanya. Ia tersenyum sembari menatap banyak makanan yang tersedia disana dengan tatapan sendu.

“Kenapa gak di ma- Astaghfirullah. Maaf kakak lupa. Harusnya kakak tadi tanya kamu dulu ya apa aja yang boleh dimakan.”

Altair heboh sendiri menyadari kesalahannya. Sedangnkan Ares terkejut dengan apa yang dilontarkan kakaknya itu.

“Gak perlu disembunyiin lagi, Dek. Kakak udah tau” Alta tersenyum halus kepada Ares.

“Kenapa nggak bilang dari dulu, hmm? Kenapa kamu simpan kaya gini sendirian aja, Dek?”

“Dulu, Ares takut kalau sakitnya Ares bakal membebani kalian, Ares takut kalau Ares bakal dibuang sama kalian karena penyakitan. Ternyata, tanpa tahu Ares sakit pun, nyatanya Ares kini udah terbuang hehe”

Meskipun terlihat luka dimatanya, Antares tersenyum hingga membentuk bulan sabit diawajahnya.

“Nggak. Kamu gak boleh ngerasa terbuang gitu. Pulang yuk? Pulang sama kakak.”

“Pulang kemana?”

“Ke rumah”

“Rumah Ares cuman ibu. Sekarang ibu udah nggak ada, jadi Ares udah gak punya rumah.”

“Ada yang lain. Rumah kita, dimana ada kakak, Mama, Papa, Abang kamu lainnya. Disana juga rumahmu, Dek.” Altair mencoba meyakinkan Ares.

“Bagaimana bisa disebut rumah kalau mereka tidak bisa memberikan rasa nyaman dan perlindungan? Rumah papa memang besar, bahkan muat jika untuk menampung sepuluh Ares lagi. Tapi hati penghuninya, enggak ada yang muat untuk menerima kehadiran satu Ares. Kak Alta, Ares capek, Kak. Ares capek kalau harus berharap terus buat dapetin kasih sayang dari kalian. Jadi, sekarang biarin Ares dijalan Ares sendiri ya? Mari kita kembali ke masa dimana kita enggak saling mengenal, Seolah-olah takdir buruk ini nggak pernah terjadi diantara kita”


-Sea

[Selamat Ulang Tahun]

Merdu kicau burung bersamaan dengan derunya angin, membuat suasana semakin mendamaikan lagi. Disana, di depan sebuah danau kecil kedua pemuda itu tengah diam dipayungi rerimbunan pohon trembesi. Hening. Keduanya terasa begitu menikmati momen menatap riak angin danau yang tidak terlalu tampak.

Perlahan, tangan pemuda yang bertubuh lebih besar itu bergerak, mengulurkan sebuah paperbag bewarna hitam kepada temannya.

“Selamat ulang tahun, Res” Ucap Hagan tersenyum.

Walaupun sedikit terkejut, Ares pun menerima paperbag itu.

“Makasih, Gan. Lain kali, gak perlu kasih kaya gini lagi. Dengan lo ada disini aja saat ini udah cukup buat gue” Jawab Ares tersenyum hingga menampilkan eye smile nya.

“Selamat ulang tahun, anak baik. Selamat lo udah bertahan sampai detik ini. Lo keren banget! Bisa nglewatin 17 tahun yang isinya nggak cuman tawa tapi banyak sedihnya. Lo bener-bener hebat, Res! Gue bangga sama lo! Wish gue, semoga Tuhan selalu memberkati langkah apapun yang lo ambil, hidup lo diselimuti dengan rasa bahagia, sehat, dan bisa menua bersama gue, aaamiin”

Hagan mengucapkan harapannya dengan tangan yang ia ulurkan untuk mengelus punggung Ares. Mata Ares kini telah berkaca-kaca, tetapi senyum itu tak pernah luntur dari bibir tipisnya.

“Makasih, Gan. Makasih udah jadi temen gue”

“Udah jangan nangis gitu ah. Jelek anjir, ntar gue dikira punya hubungan nggak normal sama lo lagi” Hagan mencoba mencegah Ares untuk tidak menangis, padahal dirinya saja kini juga tengan menahan tangis dengan wajah yang memerah.

“Janji ya, Res? Lo bakal menua bareng gue. Kalau enggak, gue geplak pala lo”

Ucap Hagan lagi sembari tertawa. Namun tidak dengan Ares. Perlahan manik hitam itu menatap lekat manik coklat milik sahabatnya.

“Gue... gue gak bisa janji, Gan. Gue bisa janji untuk selalu ada disamping lo, tapi mungkin enggak dengan menua bareng.”

“Res? Lo-”

“Gagal ginjal kronis. Udah mulai cuci darah dari bulan kemarin.”

“Anjing! Gak lucu ya, Nyet. Lo kalau nge prank jangan gini dong! Lo kan yang ulang tahun, harusnya yang nge prank bagian gue”

Hagan bersikeras menolak percaya dengan apa yang dibicarakan Ares. Sedang disebelahnya, Ares hanya tersenyum lembut sembari mengelus tangan Hagan yang bergetar.

“Awal diketahui dua bulan yang lalu, diagnosis pertama gagal ginjal akut. Tapi setelah satu bulan kemudian, gatau deh jadi gini hehe. Bulan lalu udah mulai cuci darah. Nggak parah kok, gak perlu khawatir”

Mendengar jawaban Ares, Hagan terdiam sejenak, lalu menarik Ares ke dalam pelukannya.

“Gan, lepas ah. Ntar dikira homo lagi”

“Gak. Persetan sama omongan orang. Lo jahat banget anjir, Res. Kenapa baru bilang ke gue? Gue bodoh banget buat gak merhatiin gejala yang ada di lo. Goblok banget gue jadi temen”

“Enghak, Gan. Lo udah jadi temen terbaik gue. Salah gue yang emang nggak bilang. Udah, jangan nangis. Ntar gue tinggal lo kalau nangis disini”

Ares melepas pelukan Hagan. Setelah menangkan diri, Hagan menatap lekat wajah Ares yang kini masih dan masih saja tetap tersenyum dengan garis wajah yang halus.

“Res, lo baik-baik aja ?”

Ares mengangguk, tak melunturkan senyum.

“Jangan gitu, Res. Lo berhak buat ngerasa gak baik-baik aja. Gak papa nangis, misuh kalau perlu, jangan apa-apa disenyumin kaya gini doang”

“Terus gue harus gimana? Ini satu-satunya cara gue bertahan. Dengan senyum pun gue masih ngerasa kalau hidup itu sulit buat gue. Apalagi kalau gue udah nangis bilang nyerah, betapa lebih sulitnya hidup itu buat gue?”


-Sea