[Apa kabar?]
Terik matahari sudah mulai terasa meskipun jarum waktu baru menunjukkan pukul delapan pagi. Kemacetan disertai bermacam klakson yang saling menjerit menambah panas suasana hati pemuda yang kini tengah terjebak macet itu.
“Iya, Pa. Hari ini Alta mau cek cabang 9. Menurut aku gak jauh, Pa. Its okay. Sekalian refreshing. Juga cuman pinggir kota tempatnya. Udah ya, Pa, Alta tutup dulu telfonnya.”
Altair menutup panggilan Juno. Ia menghela napas sejenak. Sejujurnya, Alta tidak suka melakukan perjalanan seperti ini. Namun semenjak kepergian Ares, Alta jadi sering melakukannya dengan harapan agar ia bisa menemukan adiknya itu dan membawanya pulang.
Kolaborasi antara suara manusia dengan mesin berkumpul menghasilkan suara semruwet di pabrik beras itu. Meskipun tidak sebesar cabang yang lain, namun pabrik sudah cukup untuk memenuhi pasokan pasar warga pinggir kota.
Di dampingi kepala cabang, Altair dengan teliti meninjau ulang setiap proses produksi hingga sampailah ia di bagian gerbang belakang, tempat dimana truk-truk besar yang membawa gabah (padi yang masih belum diolah), dan juga pengangkutan beras hasil produksi ke truk untuk dipasarkan.
Altair sedikit menutup hidungnya saat dirasa beberapa debu dari truk dan gabah berhasil membuatnya tidak nyaman.
“Disini kotor, Pak. Lebih baik Bapak istirahat terlebih dahulu di ruangan Bapak.” Pak Hendra — pemimpin cabang— tampak tidak enak melihat Bosnya yang terlihat tidak nyaman.
“Brukk!!!”
Sebuah suara menginterupsi perjalanan Alta yang hendak pergi meninggalkan tempat truk. Dicarinya sumber suara yang ternyata berasal dari dua orang yang kini tengah berdiri di belakang truk yang sudah kosong.
“Kamu ini bisa kerja nggak sih? Udah baik Pak manager bawa kamu kesini, eh malah nggak guna ternyata. Memang ya, kalau anak muda udah putus sekolah kayak kamu, sudah dipastikan nggak bisa apa-apa”
Itu Pak Yudi, seseorang yang tadi diperkenalkan Pak Hendra sebagai Kepala Bagian Transportasi di cabang ini. Namun bukan itu yang menjadi titik fokus Alta, melainkan pemuda yang kini sedang menunduk di depan Pak Yudi.
“Maaf, Pak. Saya akan kondisikan mereka.” Pak Hendra terlihat semakin gusar.
“Tidak perlu”
Jawab Alta dingin, lalu mendekat ke arah perkelahian itu.
“KALAU ORANG NGOMONG ITU DIJAWAB! KAMU BISU?!” Pak Yudi berteriak marah.
“Ma.. af. Ma-af, Pak. Tolong jangan pecat saya” Suara yang bergetar itu masih Alta hapal diluar kepala. Perlahan Alta semakin mendekatkan dirinya.
“ANAK PENYAKITAN JANGAN KERJA DISINI DEK!” Pak Yudi mulai menonyor kepala itu. Sedangkan si pemilik tubuh masih saja tetap menunduk sembari berusaha menjaga keseimbangan agar tidak jatuh saat di toyor oleh atasannya.
“DASAR LEMAH!” Pak Yudi kembali memukul anak itu, hingga membuatnya terjatuh.
“NGGAK BERGUNA! MAKAN GAJI BUTA! NGGA-”
BUGHH!!!!
Belum usai sumpah serapah itu, sebuah pukulan telak berhasil menghantam wajah Pak Yudi. Ya, dia Altair, lelaki yang kini menyita perhatian semua orang disana. Bagaimana tidak? Bos yang selama ini dikenal dengan pembawaan begitu dingin dan tenang, kini dengan terang-terangan memukul pegawainya hanya untuk membela anak baru disana.
“P—pak Alta?” Pak Yudi terbata, ia masih syok dengan perlakuan yang baru saja dia dapatkan.
Abai dengan suara-suara dibelakang, Alta mendekat pada tubuh yang kini sedang menunduk dalam posisi duduk itu. Perlahan, tangannya ia gunakan untuk merengkuh tubuh yang terlihat amat sangat rapuh itu, membuat semua orang disana diam seribu bahasa.
“Adeknya Kak Alta, kamu kemana aja? Kakak rindu kamu, dek.”
Suara Alta terdengar bergetar. Jujur saja Alta ingin menangis saat ini apalagi usai melihat betapa memprihatinkan kondisi adiknya itu.
“Gak papa. Kakak ada disini buat Ares. Gak ada yang bisa sakitin Ares lagi. Maaf.. Maafin kakak karena udah pernah gagal lindungin kamu”
Runtuh sudah pertahan Ares ketika ia merasakan pelukan Alta yang semakin menguat disertai suara isakan kecil dari kakak sulungnya itu. Sungguh, rasanya saat ini Ares hanya ingin menangis di dekapan Altair, tidak ada yang lain.
Altair kini masih menatap lekat Antares. Memperhatikan sebanyak apa adiknya itu telah berubah. Jika dulu adiknya itu adalah orang yang optimis, kini adiknya menjadi orang yang selalu menunduk tanpa asa. Jika dulu adiknya cukup berisi, kini tubuhnya terlihat kurus tak terurus. Beberapa bekas luka juga tampak terlihat pada jari jari lentik milik adiknya itu. Kulit putih bersihnya dulu, kini juga mulai berubah menjadi kusam dan kecoklatan. Mungkin, jika orang tidak tahu hubungan diantara keduanya, mereka pasti akan mengira bahwa Ares adalah gelandangan yang saat ini sedang diajak makan oleh seorang yang kaya dengan setelan mahal.
Alta menghela napasnya, prihatin melihat kondisi adiknya yang kini sudah amat sangat berubah. Benar-benar tidak ada yang memulai obrolan apapun hingga pelayan resto mulai memberikan apa saja yang dibeli Altair.
“Jangan nunduk terus gitu, dek. Makanannya udah dianter. Kamu gak laper apa nyium baunya?” Altair sedikit menggoda, berusaha memecah sunyi.
Mendengar itu, Ares perlahan menaikkan kepalanya. Ia tersenyum sembari menatap banyak makanan yang tersedia disana dengan tatapan sendu.
“Kenapa gak di ma- Astaghfirullah. Maaf kakak lupa. Harusnya kakak tadi tanya kamu dulu ya apa aja yang boleh dimakan.”
Altair heboh sendiri menyadari kesalahannya. Sedangnkan Ares terkejut dengan apa yang dilontarkan kakaknya itu.
“Gak perlu disembunyiin lagi, Dek. Kakak udah tau” Alta tersenyum halus kepada Ares.
“Kenapa nggak bilang dari dulu, hmm? Kenapa kamu simpan kaya gini sendirian aja, Dek?”
“Dulu, Ares takut kalau sakitnya Ares bakal membebani kalian, Ares takut kalau Ares bakal dibuang sama kalian karena penyakitan. Ternyata, tanpa tahu Ares sakit pun, nyatanya Ares kini udah terbuang hehe”
Meskipun terlihat luka dimatanya, Antares tersenyum hingga membentuk bulan sabit diawajahnya.
“Nggak. Kamu gak boleh ngerasa terbuang gitu. Pulang yuk? Pulang sama kakak.”
“Pulang kemana?”
“Ke rumah”
“Rumah Ares cuman ibu. Sekarang ibu udah nggak ada, jadi Ares udah gak punya rumah.”
“Ada yang lain. Rumah kita, dimana ada kakak, Mama, Papa, Abang kamu lainnya. Disana juga rumahmu, Dek.” Altair mencoba meyakinkan Ares.
“Bagaimana bisa disebut rumah kalau mereka tidak bisa memberikan rasa nyaman dan perlindungan? Rumah papa memang besar, bahkan muat jika untuk menampung sepuluh Ares lagi. Tapi hati penghuninya, enggak ada yang muat untuk menerima kehadiran satu Ares. Kak Alta, Ares capek, Kak. Ares capek kalau harus berharap terus buat dapetin kasih sayang dari kalian. Jadi, sekarang biarin Ares dijalan Ares sendiri ya? Mari kita kembali ke masa dimana kita enggak saling mengenal, Seolah-olah takdir buruk ini nggak pernah terjadi diantara kita”
-Sea