Seantara

[Not Fine]

“Hah...hah... he...lp..”

“Mo..mmy..d..ad..hah.. help...”

Dengan nafas yang hampir habis anak berusia lima tahun ini mencoba memanggil bantuan. Mengharap sebuah keajaiban datang di tempat paling menakutkan ini.

Sudah sekitar tiga minggu dia di dalam ruang kotor itu. Penampakkannya sangat mengenaskan. Ia duduk di lantai kotor itu, tangan dan kakinya diberi rantai yang diikat pada tiang yang memang sengaja dibuat untuk anak itu, kedua bagian rantai itu nampak menimbulkan kemerahan disertai darah, bahkan sebagian telah menimbulkan nanah disertai rasa nyeri yang luar biasa bagi anak sekecil itu.

Anak itu hampir menyerah. Semua usahanya terasa sia-sia. Tiga minggu dalam kurungan gelap memberikan ketakutan luar biasa pada anak itu. Dia diperlakukan layaknya hewan, hanya diberi makan dan minum setiap dua hari sekali, bahkan dengan cara yang sangat kasar. Wanita tua itu akan datang untuk menarik rambut anak itu kuat-kuat, mengelusnya sejenak, kemudian menamparnya dengan membabi buta. Terkadang dia juga membawa makanan, menyuapkannya dengan banyak dan cepat hingga membuat anak itu tersedak dan sebagian nasinya keluar lewat hidung.

“O..ma... ja..ngan... A..el m..aaf...” Anak itu menangis kala eksistensi wanita tua itu mulai nampak dari ujung pintu.

“Once again”

“No..pl..ease..A..el..sa..kit..so..ly...iam.. so..ly” Bocah yang memanggil dirinya dengan sebutan Ael itupun mulai memohon.

PLAKKK!!!

“ANAK KURANG AJAR! SAMPAI KAPAN PUN, MAAFMU TIDAK AKAN SAYA TERIMA! KARENA KAMU! KARENA ANAK SIALAN SEPERTI KAMU, PUTRI SAYA KEHILANGAN MASA DEPANNYA! KALAU SAJA KAMU MATI SEBELUM LAHIR, PASTI PUTRI SAYA SEKARANG SUDAH JADI WANITA DENGAN HIDUP CERAH! DASAR ANAK SIALAN! MATI KAMU!!!!”

Wanita itu mulai mencekik Ael kecil. Ael sendiri pun tak bisa berontak sama sekali. Ia ingin semuanya berakhir dengan cepat, namun naluri manusianya masih ingin mempertahankan hidup.

“MATI KAMU ANAK SIALAN!!!!!”

“Please oma... Ael solly... maaf.. uhuk uhuk.. ampun.. A-Ael masih mau hidup..”

“MATI KAMU BAJINGAN KECIL!!!”


“Hah.. hah.. hah..” Lagi dan lagi. Ael terbangun dengan keadaan seperti ini. Ini masih pukul tiga pagi dan mimpi itu selalu datang mencekiknya setiap malam, membuatnya selalu terbangun dalam keadaan sulit bernapas.

“Uhuk..uhuk.. ” Ael terbatuk kala merasakan udara yang perlahan menjauhinya.

“Please.. jangan sekarang.. hah..hah.. inhealernya mana..hah...” Ael mulai mengeluarkan suara mengi yang amat ketara. Tangannya sibuk mengobrak abrik laci nakas sisi tempat tidur.

Ah sial, tidak ada Inhealernya disana. Satu-satunya tempat yang ada obat-obat miliknya adalah lemari khusus, tepatnya lemari yang ada diujung kamar tersebut.

Ael menatap lemari itu tatapan sayu. Tubuhnya mulai melemas kala tak dapat menghirup oksigen disekitarnya, matanya juga mulai berkunang-kunang. Dengan langkah pelan, ia berusaha bangun.

BRAKK!!!

Tubuhnya ambruk kala kakinya melemas dengan sempurna. Ael memejamkan matanya, menikmati rasa sakit yang kini menghujam dadanya.

“Astaghfirullah! Dek, lo kenapa ?” Sayup-sayup Ael dapat mendengar suara ini.

“Uhuk uhuk..t..o..long.. di le..mari po..jok..uhuk hah hah” Ael berkata lemas, matanya masih tertutup. Pendengarannya kini menangkap langkah kaki itu nampak cepat menuju lemari yang ditunjuk Ael.

Tidak. Ael kini merasakan kepalanya sangat berat. Namun, saat telinganya mulai menangkup dengung, sebuah benda tepat masuk ke dalam mulutnya. Ael tahu, ini mouth piece dari inhealernya.

Ael masih terlalu lemas untuk membuka mata, namun ia dapat merasakan jika kini tubuhnya di tegakkan dan ditempatkan di dada orang yang menolongnya.

“Pelan pelan.. tarik nafas yang kuat..” Lelaki itu membantu Ael untuk memegang inhealer bocah itu.

Beberapa menit berlalu, usai semprotan ke delapan, Ael mulai tampak sedikit tenang, meskipun napasnya masih tersengal.

“Kuat buat jalan? Mas gendong ya ke tempat tidur.” Lelaki yang menyebut dirinya sebagai Mas itu langsung menggendong Ael ala bridal style.

Ditatanya bantal di headboard agar punggung anak itu tetap tegak dan napasnya bisa semakin lancar. Sejenak lelaki itu menatap Ael dengan pandangan khawatir. Perlahan tangannya mulai mengelus wajah pucat Ael yang kini tengah bermandikan keringat.

“Ael gak pantas hidup... Ael bikin sial..sakit.. sakit.. tangan sama kaki Ael sakit oma...sorry... sorry... A- Ael mau mati...”

Ael mulai terisak. Bayangan mimpinya selalu berhasil mengalahkannya disaat ia lemah seperti ini. Rama yang melihat anak itu menangis sambil terpejam hanya bisa mengelus kepalanya pelan, sembari membisikkan kata penenang.

“Enggak, itu cuman mimpi buruk tadi. Udah gak papa. Sekarang Ael aman sama Mas. Udah gak papa”

Sepuluh menit berlalu, isakan Ael mulai terhenti. Perlahan ia membuka matanya, maniknya kini langsung menatap manik Rama yang kini tampak khawatir.

“Udah, gak papa. Mau Mas panggilkan dad?”

Ael menggeleng lemah.

“Jangan kasih tahu Dad. Takut nanti Dad marah. Kata dad, Ael gak boleh manja kalau mau sembuh. Jadi jangan ganggu Dad kalau cuman mau bilang ini. Ini udah biasa kok, Mas. Ael gak papa”

Ael menatap Rama dengan mata yang berkaca. Meskipun jawaban itu ia sampaikan dengan tersenyum, tapi kini Rama mulai menyadari satu hal.

Percakapan kemarin pagi sepertinya cukup membekas baginya. Adiknya itu tidak baik-baik saja.


Sea

[Yang Tak Pernah Lelah Menunggu]

Jeff pulang dalam perasaan dongkol. Seluruh perasaannya berkecamuk, dan semakin memburuk kala melihat Lily keluar dari pintu kamar Biru.

“Mas ud-”

“Mau kamu apa sebenarnya?” Jeff memotong percakapan Lily, menghunuskan tatapan tajam.

“Maksud mas?”

“Cerai. Kenapa tidak kamu tanda tangani sekarang?!”

“Aku tidak mau.”

“Egois kamu, Ly.”

“Bertahun-tahun kamu bermain wanita dibelakangku, kenapa aku yang egois? Sadar nggak sih mas? Diantara kita, kamu yang paling egois!” Lily berteriak marah kepada Jeff. Matanya menatap Jeff berkaca-kaca.

“Saya nggak akan bermain wanita kalau dari awal kamu tidak menerima ini.”

“Pernikahan tanpa cinta ini nggak bisa kamu jadiin alasan buat menghianati tanggung jawab yang udah kamu emban setelah ikrar pernikahan. You did. Kamu udah ngucapin ikrar itu di hadapan banyak orang, dan artinya kamu siap menanggung semua konsekuensi” Lily berkata tegas.

“Kamu tuli?! BERAPA KALI SAYA HARUS BILANG KALAU KITA AKAN BERCERAI. SAYA GAK PEDULI APAPUN LAGI!” Jeff semakin murka karena tersinggung dengan jawaban Lily.

Hening sejenak, keduanya masih saling memberikan tatapan membunuh satu sama lain.

“Karena Sarah?”

Lily berucap. Suaranya bergetar kali ini.

“Kamu ..?” Jeff nampak terkejut.

“APA KARENA WANITA MURAHAN ITU KAMU MAU MENGORBANKAN RUMAH TANGGA KITA?! PIKIR MAS! HUBUNGAN INI BUKAN HANYA ADA AKU DAN KAMU, TAPI JUGA ADA BIRU DI DALAMNYA.” Lily berteriak marah. Perlahan, beberapa tetes air mata telah jatuh dari pelupuk matanya.

“Tiap hari anak kamu menunggu kepulanganmu. Tiap hari ia rindu pada sosok ayah yang bahkan sama sekali nggak pernah ingat tentang dia. Kalau bercerai, gimana aku jelasin semua ini ke Biru? He loves you more than his own world. Perasaan Biru ke kamu itu tulus sebagaimana anak yang merindukan ayahnya. Tapi kenapa kamu tega, Mas? Aku gak masalah kalau selama pernikahan ini nggak pernah ada rasa tumbuh darimu untukku. Tapi enggak dengan Biru. Mau gak mau, Kamu harus punya rasa sayang itu ke dia, kalau kamu masih manusia.”

Lily mulai berderai. Pandangannya menerawang senyum manis yang selalu putranya lontarkan kala menunggu ayahnya pulang di teras, meskipun lebih sering sosok itu tak datang hingga malam menjadi esok lagi, tapi wajah mungil itu tak pernah lelah menunggu.

“Biru bukan anak saya. Jika bukan karena Sarah selingkuh hari itu dan saya hangover, saya tidak akan sudi melakukan hal itu denganmu”

Benar-benar kalimat Jeff sangat tidak beradap.

“Aku tahu kalau kamu berengsek, Mas. Tapi aku ga tahu kalau kamu sebajingan ini”

“Bagus kalau kamu sadar. Cepat tandai surat perceraian ini.” Jeff memaksa tangan Lily memegang bolpoin yang ia bawa. Sedangkan Lily tampak berontak.

“Sebegitu enggannya kamu mengakui Biru? MEMANGNYA KAMU YAKIN KALAU ANAK SARAH ADALAH ANAK KAMU?!”

PLAKK!!!

Sebuah tamparan keras berhasil mendarat di pipi mulus Lily.

“KURANG AJAR KAMU, LY! SAYA DENGAN SARAH SALING MENCINTAI. TIDAK ADA DARI KAMI YANG MENGHIANATI CINTA INI.”

“TAPI DIA ADALAH JALANG! DIA MENGGODA SUAMI ORANG LAIN! DIA WANITA MURAHAN, DIA BAJ-”

Belum usai kalimat Lily, Jeff lebih dahulu kehilangan kesabaran. Tangannya mulai terangkat kembali. Saat tangan itu hendak menyentuh tubuh Lily, ada tangan kecil yang lebih dahulu mencoba untuk menghentikannya. Kalap, Jeff begitu kalap hingga ia menghempaskan tangan beserta tubuh itu dengan kuat. Benar-benar tubuh kecil itu terpelanting beberapa depa, dan nahasnya, tubuh kecil itu ditangkap oleh ujung tangga.

Semuanya tampak begitu cepat. Lily langsung merasakan lemas luar biasa kala melihat tubuh kecil itu menggelinding di anak tangga. Sedangkan Jeff, ia tidak tahu apa yang dia rasakan kini. Yang ada, hanyalah perasaan kosong yang tiba-tiba menyeruak hebat di relung hatinya.

“Bi..ru..?” Lily bergetar memanggil nama putranya. Air matanya tak lagi bisa ia bendung saat ini. Dengan langkah cepat, Lily berlari ke arah tangga, mendekap sang putra yang kini telah berlumuran darah.

“Biru denger Bunda? Biru.. Biru!” Lily mencoba meraih kesadaran Biru.

Jeff yang merasakan sedikit rasa bersalah, ikut mendekat ke tubuh Biru. Sedangkan Biru, malah berusaha tersenyum ketika melihat sang ayah mendekatinya.

“Ya..yah.. nda.. ja..ngan.. bel..a..tem.. ka..ta bu ..gulu.. ndak..b..gus” Biru berucap pelan saat kedua orangtuanya mendekatinya. Masih terekam jelas dalam otaknya bahwa Bu Guru di sekolah pernah menasehatinya tatkala ia bertengkar dengan Haekal.

“Biru..” Lily menangis, memeluk tubuh itu. Tak kehilangan akal sehat, Jeffrian menarik dekapan Lily. Lalu segera menggendong Biru.

“Ke rumah sakit sekarang.” Itu suara datar Jeff kala melihat Lily menangis.

“Bi..lu..ndak..pa..pa” Biru berucap saat Jeff mulai mengangkat tubuhnya.

Lily menangis mendengar suara Biru yang terdengar lemah. Sedangkan Jeff hanya menatap manik indah itu dengan tatapan yang sangat sulit ia definisikan.

“Ja..ngan.. ke lumah..sakitt... kan ya..yah ndak pelnah gen..dong Bilu... halus..nya..kit..a ma..in..bel..sama..”


Sea

[Ego]

Mentari menampakkan sinarnya tanpa malu. Jarum di dinding baru menunjukkan pukul 7.30 namun sinar itu telah berhasil masuk menusuk ruang-ruang kosong dari balik jendela dan pintu.

Berbeda dengan pagi biasanya yang sepi, kali ini pagi di rumah mewah itu tampak riuh. Harum masakan pun juga menguar ke segala penjuru, membuat cacing-cacing di perut lebih bersemangat.

“Awas panas” Suara Ibun kala mendaratkan wadah sayur soup yang masih menguap.

“Selamat makan kesayangan Ibun” Ibun tersenyum lalu mempersilahkan suami beserta anak-anaknya untuk makan.

“Wahh enak banget, sayang” Devian berucap, membuat semua mata menuju ke arahnya. Sedangkan ibun tersenyum malu, lalu mencubit perut Devian.

“Mas, ada anak-anak disini.”

“Nanti dulu adegan dewasanya ya pak, buk. Kasian yang disini pada jomblo.” Lelaki dengan lesung di kedua pipinya itu menyahut membuat kedua pasutri baru itu senyum cengengesan.

“Oh iya, Sena sama Ael besok udah masuk sekolah, kan?” Ibun membuka topik.

“Mereka seumuran gak sih, bun?” Si sulung bertanya, ibun mengangguk.

“Satu kelas juga” Itu Sena, yang tiba-tiba ikut menimpali percakapan.

“Oh iya? Kok Ael gak bilang ke Dad?” Dev menatap Ael yang daritadi hanya diam menyimak obrolan.

“Ael gak tahu kalau sekelas”

“Iyalah gak tahu. Orang hari pertama aja udah bengek duluan sebelum bel.” Sindir Sena, membuat beberapa orang disana terkejut.

“Loh? Kenapa? Ael sakit?” Ibun nampak khawatir, sedangkan Ael hanya tersenyum lalu menggeleng.

“Trauma. Jadi buat dia gampang kena serangan panik.” Devian menjawab sembari tetap melahap makanannya.

“Beneran? Dulu Sena juga ada trauma. Kadang juga serangan panik, tapi sekarang udah biasa aja tuh” Ibun berucap pelan. Tanpa sadar membuat Devian sedikit berpikir.

“Mungkin Mas terlalu memanjakan Ael, makanya dia gak sembuh-sembuh.” Ibun berkata dengan spontan tanpa menyadari ada dua hati yang sedang terusik dengan kalimatnya.

“Mental orang kan beda-beda, Bun. Nggak semua bisa disamaratakan pake perlakuan yang sama.” Rama menengahi setelah menyadari perubahan ekspresi milik adik barunya itu.

“Benar juga. Tapi wah hebat ya putra ayah yang satu ini. Keren, udah bisa survive.” Devian tersenyum sembari mengacak rambut Sena pelan.

Jujur saja, sebenarnya Ael ingin menangis kali ini. Ia tak suka menjadi bahan pembicaraan dengan topik sesensitif ini. Ia tidak suka kalau ada orang lain yang dibandingkan dengannya. Ia tahu kalau sekarang anak ibun juga menjadi anak Dad. Tapi Ia tak rela kalau harus berbagi kasih dengan seperti ini. Jika Ael merasa sedih, apakah ia egois?


Sea

[Bad Day]

G. Aelazar J.S. Begitulah nama yang kini tersemat di atas saku lelaki bule itu. Kulitnya yang putih dengan rambut yang bewarna blonde diantara kepala-kepala hitam, membuatnya terlihat amat sangat mencolok.

Setelah cukup lama berdiri memandang pintu yang bertuliskan XI MIPA 1, Ael pun melangkahkan kakinya dengan perlahan. Suasana kelas yang awalnya ramai langsung menjadi senyap kala Ael menapakkan kakinya ke dalam. Jujur saja, Ael sangat membenci menjadi pusat perhatian seperti ini. Dia sangat risih.

Ael menelisik kelas. Ini baru pukul 6.15, sehingga baru setengah dari kursi kelas yang terisi. Dengan langkah pasti, ia menuju kursi pojok belakang, tepatnya kursi di dekat jendela.

Ael sadar jika dirinya kini masih menjadi pusat perhatian di kelas. Ia muak, sungguh sangat memuakkan. Dengan tatapan amat sangat tajam, Ael pun membalas tatapan teman sekelasnya itu hingga membuat mereka kelabakan.

Ael menghadap ke arah jendela. Dari tempat duduknya, ia bisa melihat lapangan sekolah beserta taman yang ada pada tiap sisi-sisi bangunan. Angin yang berhembus, serta sinar mentari yang kini mulai menelisik lewat ventilasi sungguh membuat Ael merasa nyaman. Hingga tanpa sadar, ia memejamkan matanya sembari menikmati kedamaian itu.

BRAKKK!!!

kedamaian itu buyar kala seseorang menggebrak mejanya dengan keras. Ael begitu terkejut, jantungnya kini terasa berdetak tak karuan. Abai dengan sakit yang kini ia rasakan, Ael menolehkan kepala hingga menangkap presensi dari tiga orang yang kini berdiri disamping mejanya.

“Gue Genta. Dan ini tempat duduk gue”
Lelaki berkulit tan itu mendekat ke arah Ael sembari menampilkan wajah yang kurang bersahabat.

“So?” Ael membalas tatapan itu dengan tatapan yang lebih dingin hingga membuat Genta terkejut.

“Ya gue mau duduk” Genta sedikit gemas dengan manusia blonde di depannya ini.

Beberapa detik berlalu. Tak ada sedikitpun pergerakan dari Ael, seolah-olah kalimat Genta barusan hanyalah angin lalu.

“You know Indonesia? Go away from my chair” Genta kembali menggertak dengan bahasa inggris yang ala kadarnya kala melihat keabaian Ael.

“Gue gak mau. Siapa lo nyuruh-nyuruh gue?” Ael memberikan deathglare kepada Genta. Sejujurnya, Ael kini juga merasa gelisah. Ia hanya mempraktekkan apa yang Tedi ajarkan, namun jauh dilubuk hatinya masihlah ada katakutan yang perlahan mulai muncul kembali.

“Woy, berani bener nih bocah cari masalah” Lelaki bername tag Atarruk itu menanggapi.

Suasana kelas nampak tegang, namun tak ada yang memisah. Warga kelas sendiri pun sebenarnya sudah mengetahui watak Genta dan kawannya kala mereka mengajak berteman —-Karena dulu mereka juga pernah menjadi korban kejahilan. Memang caranya mengajak berteman aneh, tapi percayalah, sesungguhnya ketiga orang yang nampak menggertak itu sebenarnya adalah badut kelas.

“Gue diem daritadi. Gak ada nama lo dimeja ini. Jadi sah-sah aja dong gue duduk di sini?” Datar. Benar-benar amat datar dan dalam suara milik Ael.

“Wuidiihh suaranya serak-serak basah nie boss slebeww Hahahaha” Jemian yang baru saja masuk kelas tiba-tiba menyahuti membuat anak-anak disana tertawa.

De javu. Tawa teman-teman sekelasnya membuat ketakutan milik Ael semakin menjalar dengan hebat. Bayang-bayang masalalu kembali muncul pada permukaan memorinya. Bulir-bulir keringat mulai jatuh dari pelipisnya. Napasnya yang teratur kini menjadi cepat dan sedikit menimbulkan suara mengi.

Lelaki bernama Antasena yang daritadi duduk disamping Ael mulai merasa was-was kala melihat pergerakan aneh dari anak baru disampingnya. Ia tidak salah mendengar, meskipun tawa teman-teman sekelasnya membuat riuh, namun telinganya mampu mendengar suara mengi dari anak baru itu.

“Udah Gen. Berhenti. Lo kelewatan kali ini.” Itu suara Antasena, suara yang jarang-jarang menguar di kelas ini. Seketika suasana kelas nampak hening.

“Yahh, padahal bentar lagi klimaks.” Genta memanyunkan bibirnya pada Sena.

“Gue tahu, kalian ingin temenan. Tapi kali ini udahan aja anjir. Kasian tuh bocah. Udah pucet gitu mukanya” Raynan yang tadi hanya melihat pun kini ikut menyela.

Genta menghela napas mendengar wejangan dari teman-temannya. Dengan cepat ia memandang kembali Ael, dan merubah rautnya menjadi raut cengengesan, sangat bersahabat.

“Sorry. Gue tadi bercanda. Selamat bergabung dalam persaudaraan MIPA satu. Gue Gentala”

Gentala mengulurkan tangannya. Sedangkan Ael hanya menatap tangan itu dengan tatapan lemah.

“Sorry elah. Tangan gue mau lo anggur— EH ANJIR”

Teriakan samar-samar dari Genta pada akhirnya menjadi menutup pendengaran Aelazar sebelum kegelapan lagi dan lagi merenggut kesadarannya.


Sea

[Api]

Jeff pulang dalam perasaan dongkol. Seluruh perasaannya berkecamuk, dan semakin memburuk kala melihat Lily keluar dari pintu kamar Biru.

“Mas ud-”

“Mau kamu apa sebenarnya?” Jeff memotong percakapan Lily, menghunuskan tatapan tajam.

“Maksud mas?”

“Cerai. Kenapa tidak kamu tanda tangani sekarang?!”

“Aku tidak mau.”

“Egois kamu, Ly.”

“Bertahun-tahun kamu bermain wanita dibelakangku, kenapa aku yang egois? Sadar nggak sih mas? Diantara kita, kamu yang paling egois!” Lily berteriak marah kepada Jeff. Matanya menatap Jeff berkaca-kaca.

“Saya nggak akan bermain wanita kalau dari awal kamu tidak menerima pernikahan ini.”

“Pernikahan tanpa cinta ini nggak bisa kamu jadiin alasan buat menghianati tanggung jawab yang udah kamu emban setelah ikrar pernikahan. You did. Kamu udah ngucapin ikrar itu di hadapan banyak orang, dan artinya kamu siap menanggung semua konsekuensi” Lily berkata tegas.

“Kamu tuli?! BERAPA KALI SAYA HARUS BILANG KALAU KITA AKAN BERCERAI. SAYA GAK PEDULI APAPUN LAGI!” Jeff semakin murka karena tersinggung dengan jawaban Lily.

Hening sejenak, keduanya masih saling memberikan tatapan membunuh satu sama lain.

“Karena Sarah?”

Lily berucap. Suaranya bergetar kali ini.

“Kamu ..?” Jeff nampak terkejut.

“APA KARENA WANITA MURAHAN ITU KAMU MAU MENGORBANKAN RUMAH TANGGA KITA?! PIKIR MAS! HUBUNGAN INI BUKAN HANYA ADA AKU DAN KAMU, TAPI JUGA ADA BIRU DI DALAMNYA.” Lily berteriak marah. Perlahan, beberapa tetes air mata telah jatuh dari pelupuk matanya.

“Biru bukan anak saya. Jika bukan karena Sarah selingkuh hari itu dan saya hangover, saya tidak akan sudi melakukan hal itu denganmu”

Benar-benar kalimat Jeff sangat tidak beradap.

“Aku tahu kalau kamu berengsek, Mas. Tapi aku ga tahu kalau kamu sebajingan ini”

“Bagus kalau kamu sadar. Cepat tandai surat perceraian ini.” Jeff memaksa tangan Lily memegang bolpoin yang ia bawa. Sedangkan Lily tampak berontak.

“Sebegitu enggannya kamu mengakui Biru? MEMANGNYA KAMU YAKIN KALAU ANAK SARAH ADALAH ANAK KAMU?!”

PLAKK!!!

Sebuah tamparan keras berhasil mendarat di pipi mulus Lily.

“KURANG AJAR KAMU, LY! SAYA DENGAN SARAH SALING MENCINTAI. TIDAK ADA DARI KAMI YANG MENGHIANATI CINTA INI.”

“TAPI DIA ADALAH JALANG! DIA MENGGODA SUAMI ORANG LAIN! DIA WANITA MURAHAN, DIA BAJ-”

Belum usai kalimat Lily, Jeff lebih dahulu kehilangan kesabaran. Tangannya mulai terangkat kembali. Saat tangan itu hendak menyentuh tubuh Lily, ada tangan kecil yang lebih dahulu mencoba untuk menghentikannya. Kalap, Jeff begitu kalap hingga ia menghempaskan tangan beserta tubuh itu dengan kuat. Benar-benar tubuh kecil itu terpelanting beberapa depa, dan nahasnya, tubuh kecil itu ditangkap oleh ujung tangga.

Semuanya tampak begitu cepat. Lily langsung merasakan lemas luar biasa kala melihat tubuh kecil itu menggelinding di anak tangga. Sedangkan Jeff, ia tidak tahu apa yang dia rasakan kini. Yang ada, hanyalah perasaan kosong yang tiba-tiba menyeruak hebat di relung hatinya.

“Bi..ru..?” Lily bergetar memanggil nama putranya. Air matanya tak lagi bisa ia bendung saat ini. Dengan langkah cepat, Lily berlari ke arah tangga, mendekap sang putra yang kini telah berlumuran darah.

“Biru denger Bunda? Biru.. Biru!” Lily mencoba meraih kesadaran Biru.

Jeff yang merasakan sedikit rasa bersalah, ikut mendekat ke tubub Biru. Sedangkan Biru, malah berusaha tersenyum ketika melihat sang ayah mendekatinya.

“Ya..yah.. nda.. ja..ngan.. bel..a..tem.. ka..ta bu ..gulu.. ndak..b..gus” Biru berucap pelan saat kedua orangtuanya mendekatinya. Masih terekam jelas dalam otaknya bahwa Bu Guru di sekolah pernah menasehatinya tatkala ia bertengkar dengan Haekal.

“Biru..” Lily menangis, memeluk tubuh itu. Tak kehilangan akal sehat, Jeffrian menarik dekapan Lily. Lalu segera menggendong Biru.

“Ke rumah sakit sekarang.” Itu suara datar Jeff kala melihat Lily menangis.

“Bi..lu..ndak..pa..pa” Biru berucap saat Jeff mulai mengangkat tubuhnya.

Lily menangis mendengar suara Biru yang terdengar lemah. Sedangkan Jeff hanya menatap manik indah itu dengan tatapan yang sangat sulit ia definisikan.

“Ja..ngan.. ke lumah..sakitt... kan ya..yah ndak pelnah gen..dong Bilu... halus..nya..kit..a ma..in..bel..sama..”


Sea

[Hati yang Penuh Kerinduan]

Biru mengaduk makanan di depannya tanpa minat. Sudah dua jam ia menunggu Jeff pulang di depan pintu rumah, namun Jeff sampai sekarang belum pulang hingga membuat wajah anak itu tampak murung.

Sebenarnya, tadi Biru bersikeras masih ingin menunggu Jeff dulu. Namun karena Satrio tidak tega melihat cucunya itu termenung di depan pintu, ia menggendong cucunya itu masuk sambil bermain bersamanya.

“Biru kok cuman dilihatin? Ndak enak, le?” Itu suara Asmara, nenek Biru.

“Enak kok, yang. Masakan Bunda selalu enak. Kita kan juga ndak boleh bilang nggak enak. Namanya tidak menghalgai yang memasak.” Anak itu sedikit tersenyum menjawab pertanyaan Eyang putri nya (yangti).

“Terus kenapa nggak dimakan, sayang?” Lily bertanya.

“Bilu makannya nanti aja nunggu yayah. Kasian nanti yayah makan ndak ada temennya” Anak itu memberi alasan, membuat keempat orang dewasa yang ada di sana terdiam.

“Nanti ayah Jeff biar mami Krystal aja yang nemenin makan. Yang penting sekarang Biru makan dulu. Biru nggak mau nanti Ayah Jeff marah karena biru bandel kan?” Krystal bertanya dan dibalas anggukan lugu dari Biru.

“Tapi janji ya nanti bilangin ke ayah kalau Bilu ndak bandel. Promise?” Biru menjulurkan kelingkingnya ke arah Krystal.

“Pinky promise” Jawab Krystal tertawa sembari mengacak rambut putra adiknya itu dengan gemas.

“Biru makan yang banyak, nanti keburu dihabiskan semua lho sama Ekal” Satrio menimpali percakapan.

“Bilu ayo lomba. Nanti yang habis terakhir kalah ya!” Haekal berteriak membuat suasana mellow tampak mencair.

“Oke, siapa takut wleee” Biru membalas dengan ejekan, membuat semua orang tertawa renyah.

Detik demi detik berlalu. Ruang makan itu hanya berisi celotehan khas anak-anak dari Biru dan Haekal. Semuanya nampak normal, meskipun di sana ada hati yang mendamba satu sosok untuk pulang.

“Yeyyy! Bilu habiss” Biru berteriak kegirangan.

“Kan Bilu mamnya cuman satu piling. Ekal kan dua” Haekal nampak masih menikmati makanannya, namun ia juga tak mau kalah.

“Tapi kan tadi –”

“Biru!”

Belum usai perkataan Biru, suara Lily lebih dulu menggema di ruangan tersebut. Satu tangannya kini dengan sigap meraih tissue lalu menaruhnya di depan hidung sang anak.

“No. Jangan diangkat kepalanya. Kepalanya tegak kedepan kayak biasa” Lily memberikan instruksi kepada Biru yang kini nampak tak nyaman karena tiba-tiba beberapa tetes genangan merah meluncur dari hidung mancungnya.

“Nda.. ada ..da..lahnya”
Biru menatap Lily dengan mata yang berkaca-kaca. Ia sendiri masih kaget kenapa tiba-tiba hidungnya mengeluarkan darah.

“Its okay. Gak papa sayang” Lily memeluk putranya, lalu mengelus punggung kecil itu.

“Sakit apa enggak, le? Kamu pusing?” Eyang uti bertanya. Semua wajah disana tampak khawatir.

“Endak. Bilu cuman capek.” Biru menjawab sambil bersandar pada Lily.

“Biru sering mimisan, Ly?”

“Biasanya enggak kak. Cuman akhir-akhir ini kalau kecapean dia suka mimisan. Kemarin kata dokter itu cuman efek kecapean aja.”

“Nda..”

“Apa sayang?”

“Yayah kok lama? Bilu udah ngantuk.” Biru bertanya pelan. Ia nampak murung lagi. Entahlah, akhir-akhir ini bocah itu terlihat sedikit sensitif.

“Biru digendong yang kung, yuk? Bobo sama eyang sini” Satrio merentangkan tangannya berharap dengan gendongannya bisa menurunkan sedikit rasa rindu terhadap ayah yang ada di hati cucu kecilnya itu.

“Nanti eyang capek. Kasian. Bilu bisa kok bobo sendili” Luar biasa. Anak itu masih saja memikirkan orang lain disaat seperti ini.

“Its okay. Eyang kuat seperti yayah Jeff. Sini sayang” Satrio langsung mengambil Biru dari dekapan Lily dan membawa Biru menjauh dari ruang makan.

“Ekal cuci tangan dulu yuk sama mami” Krystal juga mengajak Haekal pergi, memberikan ruang untuk ibunya dan Lily berbicara.

“Jeff.. masih sama?” Asma bertanya pelan. Jujur saja, ia malu menghadapi kondisi Lily seperti ini. Benar-benar ia merasa bahwa ia telah gagal mendidik putranya menjadi lelaki yang bertanggung jawab.

Lily hanya tersenyum kecil, kemudian mengangguk.

“Maaf ya. Maaf Mama sama Papa telah gagal mendidik Jeff. Maafkan kami atas semua hal yang terjadi”

“Nggak papa, Ma. Yang penting sekarang Mama sama Papa bantu doa ya. Semoga mas Jeff segera terketuk hatinya buat pulang ke Lily. Kasian Biru, dia rindu ayahnya”


Sea

[Pemikiran Sederhana Milik Biru]

“Maaf ya sayang” Lily mengelus rambut Biru saat bocah itu sudah duduk di kursi samping pengemudi.

“Ndak papa kok, Nda. Bilu tadi ditemenin sama bu gulu” Anak itu tersenyum hingga memunculkan bulan sabit diwajahnya.

“Biru capek?” Lily kembali bertanya saat dilihatnya putranya itu nampak bersender letih di kursi sembari menatap jendela luar.

“Bilu ndak capek. Soalnya pas tadi yangti jemput ekal, yangti bilang kalau nanti mau main ke lumah. Kan kalau yangti yangkung datang pasti Ayah Jeff nanti pulang. Bilu seneng mau ketemu ayah. Jadi Bilu ndak boleh capek hali ini” Anak itu tersenyum ke arah Lily memamerkan deretan gigi susunya.

“Biru kangen sama ayah?”

Anak itu mengangguk. Bibirnya maju beberapa senti.

“Tapi yayah ndak pulang kalau ndak ada acara di lumah. Apa yayah ndak sayang sama Bilu ya?” Biru bertanta kepada Lily. Matanya kini mulai berkaca-kaca.

Melihat itu, Lily menhentikan mobilnya ke pinggir jalan. Ia kemudian menyentuh kedua bahu kecil milik Biru. Menatap mata kecil itu dengan penuh kelembutan.

“Ayah sayang kok sama Biru. Buktinya ayah kan kerja untuk Biru. Biar biru bisa makan yang enak, sekolah, membeli mainan, dan lainnya. Jadi Biru nggak boleh merasa kalau Ayah nggak sayang sama Biru. Okey?”

“Tapi tapi, Nda... Kata Nana, kalau yayah sayang kan belalti harus main belsama. Om Yuda sama nana selalu belmain belsama. Tapi yayah ndak pelnah ajak Bilu main” Biru menunduk, memilin ujung seragamnya hingga kusut.

“Tapi Biru pernah lihat nggak Nana main sama Mamanya Nana?” Lily bertanya dan Biru hanya menggeleng.

“Biru juga sering ketemu nggak sama babanya Renja?”

Lagi dan lagi, anak itu menggeleng.

“Ekal juga jarang main sama uncle Kainan, Kan?” Anak itu mengangguk.

“Nah berarti kan Biru enggak sendirian. Hidup di dunia ini memang begitu, Sayang. Kita enggak bisa dapetin semua yang kita mau. Terkadang, kita harus mengerti kenapa hal yang kita ingin enggak bisa kita dapetin, bisa jadi itu demi kebaikan kita. Yayah contohnya. Biru ingin dekat dengan ayah, kan? Padahal ayah di luar sana bekerja untuk Biru, demi kebaikan Biru. Jadi, Biru harus mengerti ya?” Lily mencoba pelan-pelan memberikan anaknya itu pengertian agar tidak terlalu merasa sedih.

Biru memandang mata Lily lalu mengangguk sembari tersenyum lagi.

“Iya Bunda, Bilu mengelti. Telima kasih, Nda” Biru tersenyum membuka tangannya ke arah Lily.

Lily yang mengerti maksud Biru pun membalas rentangan tangan Biru. Memeluk putra kesayangannya itu dengan begitu erat.

“Pintar sekali jagoan Bunda. Jangan sedih lagi ya”

“Siap laksanakan, Bunda!”

Dan mereka pun tertawa bersama menutup dialog dalam mobil sore itu.


-Sea

[Hidup Bahagia]

Weekend, identik dengan kata family time, begitupun bagi keluarga Jainendra. Di pagi yang cerah itu mereka menggunakan waktunya untuk bersantai bersama di teras dekat kolam renang.

Saat ini, Ares berada di teras ditemani Juno dan Erina, sedangkan Langit dan kakak-kakaknya yang lain sedang beradu kekuatan di dalam kolam renang. Mereka semua nampak sangat bahagia. Kelakuan ajaib dari Langit dan Cano, Alta yang hanya pasrah dikerjai adik-adiknya, ditambah Archtur yang super receh benar-benar membuat suasana nampak hidup disana.

“Dek, belajar jalan pakai walker yuk?”
Erina mengusak pelan rambut Ares.

“Ares kalau bisa jalan sampai ke Papa, nanti papa kasih hadiah” Juno tersenyum di tempat duduknya, yang mungkin hanya berjarak lima langkah normal dari tempat duduk Ares.

“Kaki Ares belum kuat, nanti kalau Ares jatuh gimana?” Ares tampak tak percaya diri.

“Gak akan. Papa nggak akan ngebiarin kamu jatuh.” Juno menatap Ares lembut. Memberikan suport batin ke Ares.

“Semangat, Res! Ntar kak Alta traktir sepuasnya kalau bisa jalan sendiri” Alta yang tadi mengikuti komunikasi kedua orangtuanya pun kini juga ikut menimbrung.

Setelah mendapat anggukan dari Ares. Erina segera menempatkan walker berbentuk U di depan kursi roda anak itu. Beberapa saat berlalu nampaknya anak itu masih kepayahan dalam mengangkat kakinya untuk berdiri, namun tak terlihat setitik pun raut menyerah dari wajahnya yang kini telah berpeluh.

Berhasil. Setelah percobaan yang gagal berkali-kali, akhirnya Ares berhasil berdiri dengan bantuan alat bantu jalannya. Sesaat ia mulai mencoba melangkahkan kakinya kedepan. Satu langkah, dua langkah, Berhasil, meskipun hanya langkah yang amat sangat pendek.
Belum ada setengah meter anak itu berjalan, nampaknya ia sudah mulai kesusahan, hingga pada langkahnya yang kelima, keseimbangannya ntah pergi kemana membuat Ares panik.

“Pa-”

Brak

Hanya walker Ares yang jatuh. Sedangkan tubuh Ares berhasil ditangkap oleh Juno sebelum menyentuh lantai. Juno tersenyum menatap wajah Ares yang penuh keringat.

“Good job anaknya Papa. Udah keren banget buat hari ini”

Ucap Juno sembari menggendong Ares untuk didudukkan di kursi rodanya kembali.

“Minum dulu, dek.” Erina memberikan minum sembari mengelap keringat di wajah tampan putranya itu.

“Bener kata Papa. Anaknya mama udah hebat hari ini” Erina tersenyum, sontak membuat Ares juga ikut tersenyum juga.

“Ares mau dipeluk mama papa deh” Ares berucap pelan, namun hal itu dapat ditangkap oleh kedua orang yang dimaksud.

Dengan perlahan, Erina dan Juno memeluk tubuh Ares dengan penuh sayang.

“Makasih ya Ma, Pa. Makasih udah terima Ares. Ares sayanggg sekali sama kalian.”

“Papa sama mama juga sayang sama Ares. Jadi, Ares harus kuat bertahan disini ya. Kita hidup bahagia bersama selamanya”


-Sea

[Another Life]

Detik terus berlalu menghantarkan keluarga Jainendra pada waktu yang sebenarnya ingin mereka hindari. Semalaman tak ada dari mereka yang dapat tertidur, bahkan Erina isi malam utuhnya untuk menangis disamping putra yang akan ia lepas itu.

“Anaknya Mama.. Antares.. Anak mama yang paling hebat... “

Erina bergumam pelan disamping telinga Ares. Tangannya ia gunakan untuk mengelus surai Ares lembut.

“Maaf... Maaf... Maaf sayang... Mama udah jahat sama kamu, nak.. Maaf.. Mama udah egois nahan kamu sakit sendirian selama ini... maaf.. maaf.. Sebelum pergi, Mama pengen Ares tahu kalau Ares itu putra yang mama banggakan. Ares udah jadi anak baik selama ini. Ares juga udah jadi anak yang sangat kuat.. “

Erina menangis lagi dan lagi. Rasa bersalahnya kepada Ares begitu dalam dan besar membuatnya merasa jadi ibu paling berdosa di muka bumi ini.

“Anak mama udah cukup sedihnya.. udah cukup sakitnya disini.. sekarang... “

Erina menarik napasnya. Lidahnya kelu, dan dadanya terasa luar biasa sesak.

“Sekarang.. Ares jemput bahagianya Ares ya.. Mama... mama ikhlas sayang”

Tepat setelah kalimat berat itu menguar. Erina mengecup kening Ares. Sangat lama, ia mempertahankan posisi itu, hingga air matanya jatuh terurai di pipi tiru Ares.

Sepersekian detik berlalu, bersamaan dengan air mata Erina, beberapa bulir air juga menetes dari kelopak yang masih terpejam itu. Dan taklama suara bising elektrokardiogram dan sirine code blue memenuhi penjuru ruang disertai tubuh yang Ares yang tiba-tiba mengejang hebat membuat siapapun yang ada di ruangan itu menjadi kalang kabut.


Kita tidak pernah tahu, apa yang Tuhan telah tulis dalam skenario kehidupan kita. Terkadang Tuhan ingin menguji sejauh mana hati kita dapat mengikhlaskan segala kehendakNya sebelum Ia memberikan hal yang berkali-kali lipat indah dibalik itu semua.

Hal itulah yang mungkin juga terjadi dalam keluarga Jainendra. Setelah mereka memutuskan untuk ikhlas mengembalikan titipan-Nya kembali, hal yang tak pernah mereka duga kembali terjadi lagi.

Benar, selalu datang keajaiban bersama orang-orang yang luar biasa. Kali kedua keajaiban itu menjadi hadiah indah dalam keluarga yang telah lama tak menunjukkan rona bahagianya.

Ini sudah dua minggu berlalu dari hari dimana mereka akan melepas kepergian Antares. Setelah Ares kejang hebat pagi itu. Namun tiba-tiba dengan kuasa Tuhan, kelopak itu malah terbuka untuk pertama kalinya setelah enam bulan terpejam erat.

Ya, sudah dua minggu Ares terbangun dengan keadaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Jika dulu, ia selalu terbangun sendirian, Kali ini setiap ia bangun ia pasti akan menemukan orang yang menunggu di sampingnya, entah itu mama, papa, kakak-kakaknya, atau bahkan semuanya. Ares terbangun di kehidupan yang sama, namun dengan perasaan yang amat sangat berbeda. Kehangatan dan rasa sayang yang dulu hanya sebatas angan kini menjadi nyata di hadapannya. Bagaimana jika rasa bahagia ini hanya bunga tidurnya saja?

“Dor!”

Suara Cano membuat Ares terkejut.

“Ngelamunin apa, hmm?” Tanya Cano sembari mengusak rambut Ares pelan. Sedangkan Ares hanya menggeleng pelan.

“Butuh apa, dek? Mau minum nggak?” Cano bertanya. Dan Ares mengangguk pelan.

Dengan sangat hati-hati, Cano membantu menyendokkan air minum ke bibir Ares, takut kalau anak itu tersedak.

“Ukh!! Ukhh ! Ukh!”

Dan benar, Ares lagi-lagi tersedak hebat saat ini. Cano buru-buru menepuk dada Ares pelan, membantu meredakan batuk adiknya itu. Setelah reda, Cano juga mengambil tissue, mengusapnya pada bekas-bekas Air yang kini sedikit membasahi piyama rumah sakit Ares.

“Masih sakit? Napas dulu yang bener” Cano bertanya, sedangkan Ares hanya mampu menyunggingkan sedikit senyumnya. Tenaganya seperti terkuras habis walau hanya sekadar untuk menggelengkan kepala.

Sudah dua minggu Ares bangun dengan keadaan yang tak bisa dianggap baik. Tidur selama enam bulan lamanya membuat motorik anak itu terganggu. Apalagi diperparah dengan adanya kejang yang berdampak pada syarafnya. Selain itu, penggunaan ventilator dan alat bantu pernapasan lainnya juga menyebabkan tenggorokan anak itu mengalami infeksi sehingga butuh waktu untuk mengembalikan semuanya ke keadaan normal.

“M..a..f..” Suara yang amat lirih itu menguar, terdengar seperti suara yang tak sampai.

Cano tersenyum hangat sembari membenarkan letak nasal canulla yang tadi sempat bergeser saat ares tersedak.

“Nggak papa. Namanya juga lagi proses sembuh. Ntar lama-lama pasti bisa kok minum dan makan kayak dulu lagi. Nggak perlu mikir macem-macem dulu. Abang, kakak, mama , papa, dan semuanya, nggak ada yang ngerasa direpotin sama Ares. Yang penting Ares cepet sembuh”

Benar-benar terasa seperti mantra untuk Ares. Perkataan Cano, meskipun sederhana namun berhasil menyalurkan getar hangat pada hatinya.

“Ano, kok adeknya diajak ngobrol mulu sih? Tadi kan Ares habis terapi, pasti capek. Kasian kalau kamu ajak ngomong terus” Itu suara Mama yang terdengar bawel. Membuat senyuman terbit diwajah Ares.

“Ares bobok dulu ya sayang?”

Erina menatap Ares lembut. Sedang yang ditatap kini memberikan tatapan manja yang penuh harap, uhh sungguh menggemaskan!

“Iya-iya mama kelonin. Tapi janji harus bobok ya? Nanti sore papa balik lho dari Lombok. Kak Alta juga katanya mau kesini. Kak Archtur sama Langit paling pulang sekolah nanti udah pada geloyoran di lantai sini juga. Jadi kamu tidur dulu, biar nanti enakan bisa ngobrol bareng.” Erina tersenyum hangat. Lalu perlahan menaiki kasur Ares. Untung saja tubuhnya kecil jadi bisa muat berdua. Entahlah, semenjak bangun dari tidur panjangnya dan mengetahui bahwa keluarganya berubah, Ares mulai menunjukkan sisi-sisi lain yang belum pernah ia keluarkan dulu, salah satunya adalah sisi manja seperti saat ini.

“Anaknya mama bahagia ya sama Mama Papa disini. Jangan nyoba pergi lagi. Mama Papa nggak mau kehilangan Ares untuk kedua kalinya. Bobok yang nyenyak sayangnya mama”


-Sea

[You..]

Depresi berat. Itu yang psikiater dan psikolog tegakkan kepada kondisi Erina. Setelah kejadian operasi enam bulan yang lalu, Erina seperti orang kesetanan yang terus-terusan menangis di samping tubuh Ares yang berada di ambang hidup dan mati.

Selama itu pula Erina berubah menjadi ibu yang hanya memedulikan Ares. Tidak ada satupun nama anaknya yang mendapatkan atensinya, karena kini dunianya hanya berputar pada Ares. Ya mungkin inilah yang dinamakan karma. Dulu saat Ares masih ada disampingnya, ia sia-siakan begitu saja. Namun kini saat Ares akan pergi, penyesalan besar mencekiknya sendiri hingga menghilangkan setengah kewarasannya.

Hening. Ruangan yang telah ditempati remaja itu selama enam bulan hanya terisi dengan bunyi elektrokardiograf. Berbeda dari hari-hari sebelumnya, kini semua orang yang ada di ruangan itu nampak tegang, apalagi ketika Bara dan Josef –dokter penanggung jawab Ares– tiba-tiba mengajak kedua wali Ares untuk membicarakan sesuatu.

“Mohon maaf. Setelah melakukan perundingan, kami sebagai wakil dari pihak rumah sakit pada akhirnya angkat tangan dalam merawat putra Bapak dan Ibu.”

Suara Josef menggema di ruangan itu menyebabkan beberapa hati disana terasa patah.

Juno memejamkan matanya. Sungguh, ia sangat tidak suka mendengar kalimat ini.

“Saya akan bayar berapapun! Jadi tolong jangan menyerah kepada putra saya”

Suara Juno terdengar bergetar. Semua putranya menunduk di sofa dalam ruangan tersebut, dan Erina sudah mulai menangis mendengar berita buruk itu.

“Ini bukan masalah pembayaran, Pak. Selama enam bulan perawatan, bahkan Antares tidak menunjukkan peningkatan ap-” Josef berusaha memberi pengertian.

“LALU APA?! MENGAPA KALIAN MENYERAH TERHADAP ANAK SAYA? Dokter.. dokter Bara tahu kan kalau Ares itu anak yang kuat? Ares.. Ares gak mungkin mau nyerah sekarang. ARES GAK MUNGKIN NINGGALIN SAYA!!!” Erina mulai histeris, tidak terima perkataan apapun. Altair yang melihat itupun berusaha memeluk daksa ibunya agar lebih tenang.

“ENAM BULAN!” Semua tertegun. Untuk pertama kalinya mereka semua mendengar nada tinggi dari seorang dokter Bara.
Mata Bara tampak berair. Menyadari kesalahannya, Bara mencoba menurunkan nada suaranya.

“Enam bulan Ares sudah berjuang. Selama itu pula kita tidak pernah merasakan betapa sakitnya Ares harus bertahan dengan cara disuntik setiap saat, di tempeli alat-alat seperti ini, bahkan dimasukkan selang ukuran sebesar itu dijalur napasnya. Kita nggak pernah tahu gimana sakitnya Ares.. “

Dokter Bara berhenti sejenak. Air matanya mulai turun kali ini. Persetan dengan profesional, Ares tetaplah Ares yang dulu ia anggap sebagai putranya.

“Ares pernah bilang kepada saya bahwa kematian itu membahagiakan. Ia sudah merencanakan banyak hal dari hari itu, dihari ia menyerahkan kehidupannya. Dengan tersenyum dia mengatakan kepada saya bahwa hari yang ditunggu sudah tiba, ia akan bahagia karena bertemu Ibu dan Abangnya, serta berhasil menjadi anak yang berguna bagi keluarga yang ia tinggalkan. Tapi ternyata ada kehendak lain dari Tuhan. Sempat saya juga merasa bahagia karena Ares bisa tertolong dengan adanya operasi lanjutan dan lain sebagainya. Tapi hasilnya? Bahkan sekalipun dia tidak pernah membuka matanya lagi setelah operasi itu. Sudah cukup.... Sudah enam bulan kita semua menahannya disini dengan rasa sakit. Kita semua tahu, Ares memang anak yang kuat. Dulu, dia sudah banyak sekali berjuang sendirian. Kini.. waktunya kita yang mengantarkan perjuangan terakhirnya”

Dokter Bara tak bisa menahan isaknya. Bahkan perkataannya berhasil menembus rongga hati keluarga Ares yang ada di sana.

“Ngga.. nggaboleh.. pokoknya nggaboleh... NGGAK BOLEH!!!” Erina meronta dalam pelukan Alta.

“Apa ada tega membiarkan Ares kepayahan disini? Apa anda tega melihat Ares yang seringkali kejang dalam tidur panjangnya? Apa anda tega melihat Ares semenderita ini? Anda seorang ibu .. Ares pernah bercerita jika ia begitu mencintai Anda bahkan hari dimana anda meminta kehidupannya, anak itu berkonsultasi kepada saya, menanyakan kecocokan jantungnya agar ia bisa berbakti kepada ibunya. Sebesar itu cinta Ares kepada Anda dulu. Jadi kali ini.. jika anda mencintai Ares, tolong ikhlaskan Ares, Nyonya Erina. Ares sudah sangat sakit seperti ini..”

“Ares... “ Erina tak menjawab pertanyaan Bara. Yang ia lakukan kini hanya meraung dalam dekapan Alta sambil memanggil nama putra yang telah ia buang itu.

“Beri.. ” Juno menghentikan perkataannya. Ia mengusap air matanya kasar, sembari menarik nafas dalam.

“Beri kami waktu untuk perpisahan. Anda.. anda boleh melepas semua alat bantu pernafasan putra saya besok pagi”


-Sea