Seantara

[Hilang Lagi]

Jean membuka matanya kala mendengar knop pintu yang berputar. Senyum tipis langsung terpancar dari wajahnya kala netranya menangkap ketiga orang yang memasuki kamarnya itu.

“Udah, tiduran aja kalau belum kuat buat duduk.” Renan berucap saat matanya menangkap raut Jean yang sedikit kepayahan untuk duduk.

“Lo sakit apa? Sampai di infus gini dirumah?” Hanan mulai menelisik. Jiwa keponya seakan berkembang ketika melihat keadaan Jean.

“Emang separah itu ya tonjokan Rayyan? Kok gue baru sadar sih kalau lebamnya sebanyak ini?” Kini giliran Nendra yang menyahut.

“Enggak papa. Gue baik. Ya cuman capek aja. Emang jatahnya sakit kali” Jawab Jean sembari tersenyum hingga menerbitkan bulan sabit pada wajahnya.

“Oh iya, sorry ya. Cuman ada makanan itu. Kalau kurang pesen aja pakai hp gue.” Suara parau Jean melanjutkan percakapan.

“Ini udah banyak banget anjir” Hanan menjawab sembari mengangkat beberapa plastik yang ia tenteng dari meja makan Jean.

“Lo kalau ada apa-apa tuh ya, ngomong bege. Nggak tiba-tiba ilang kayak perawan ngambek.” Nendra mulai berceramah selayaknya ibu-ibu, sedangkan yang dicerca hanya meringis.

Ceramah itu berlangsung tak terlalu lama karena setelahnya, mereka mulai bercerita random tentang hal-hal lucu sembari memainkan PS yang ada di kamar Jean.

Sore itu, setelah sekian lama, akhirnya rumah ini terasa hidup lagi karena adanya ketiga sahabat barunya. Sebercak rasa hangat pun juga mulai menjalar dalam hati Jean. Sembari merekam jejak tawa kawannya, Jean berharap jika rasa bahagia ini akan menetap pada hatinya untuk waktu yang lebih lama.


Terkadang, harap hanya akan menjadi harap. Begitupun tentang harapan yang Jean labuhkan beberapa saat yang lalu.

“Jean!” Suara bass memanggil namanya dari luar, membuat keempat orang di sana berhenti melakukan aktivitasnya masing-masing.

“Kalian di sini dulu. Gue keluar dulu.” Jean berucap sembari mencabut paksa infus yang tadi merekat pada tangannya.

“Jean anjir itu darah lo netes!” Hanan membelalakkan matanya terhadap apa yang Jean lakukan.

“Gak papa. Gue duluan, bentar kok.” Jean sendiri mulai melangkahkan kakinya meskipun dengan cara jalan yang terseok-seok.


“Papa? Papa apa kabar? Mau Jean bikinin kopi nggak?” Jean tersenyum cerah ketika melihat siapa yang duduk di sofa ruang tamu.

“Duduk!” Lelaki yang dipanggil papa itu menjawab salam manis Jean dengan tatapan yang penuh akan intimidasi.

“Papa, Jean kangen banget deh sama Papa. Kemarin waktu Jean ke rumah Pa-”

“Kamu sakit?” Tanya Damian tiba-tiba, membuat hati Jean sedikit berbunga karena merasa diperhatikan.

“Nggak papa kok, Pa. Jean cuman—”

Bugh!!!

Bukan pelukan, melainkan bogeman dari Damian tiba-tiba sudah mendarat di wajah Jean, membuat kepala Jean yang tadi sedikit pening malah semakin berputar.

“Pa-”

“GARA-GARA KAMU, ANAK SAYA SAKIT! RAYYAN MASUK RUMAH SAKIT!” Suara Damian menggelegar diseluruh penjuru ruang.

Hati Jean mencelos ketika mendengar kalimat Damian. Ternyata, lelaki itu datang bukan untuk sekadar bertanya bagaimana kabarnya, tetapi hanya untuk memberikan penghakiman, seperti kakak-kakaknya yang lain.

“Pa.. sekali aja.. papa nggak bisa ya liat Jean? Jean juga sakit, Pa..” Suara Jean terdengar parau. Matanya sudah siap untuk meneteskan air mata.

“Saya nggak peduli. Yang jelas, Jangan pernah lagi kamu dekati anak-anak saya, termasuk Rayyan.”

“Kenapa? Kenapa harus Jean? KENAPA, PA?!” Jean sedikit berteriak ketika merasa tak sanggup lagi dengan perkataan Damian.

“Kenapa harus kamu? Harusnya kamu yang paling mengerti tentang alasan itu. Apa tidak cukup dengan berhasil membunuh Tian? Apa tidak cukup sehingga kamu mau membunuh putra saya yang lain? KAMU ITU TIDAK LEBIH DARI SEKEDAR SAMPAH PEMBAWA SIAL DI KELUARGA SAYA! HARUSNYA WAKTU ITU KAMU TIDAK PERLU LAHIR! HARUSN-”

Bughhh!! Bughh!! Bughh!!

Suara tonjokan bertubi-tubi berhasil meredam suara Damian. Bukan, bukan Jean yang memukul Damian, tetapi Samuel.

“Gue bertanya-tanya darimana asal sikap sampahnya Jevan, ternyata ajaran bapaknya sendiri”

“Gak usah sok menasehati. Lo sendiri bukan ayah yang baik. Buktinya sampai sekarang belum ketemu kan sama anak dan istri lo. Mikir, Sam! Jean anak gue, dan gue berhak atas hidup dia!”

“Siapa lo? Tuhan? Lo nggak lebih dari salah satu makhluk yang nggak sengaja Tuhan kasih harta berlimpah. Dan itu doang. Selebihnya, karakter lo kayak Tai. Lo nggak berhak nentuin hidup Jean! Semua tentang Tian itu kesalahan Lo sama Tania, bukan Jean! In case kalau lo lupa”

“BANGSAT LO, SAM-”

Jean hanya bisa menatap pemandangan ayah dan kembarannya itu bertengkar. Kepalanya semakin terasa berputar. Apalagi ketika ia selalu mendengar nama Tian dalam semua kekacauan ini. Sebenarnya, siapa Tian? Kenapa semua ini menjadi seperti ini? Memikirkan namanya saja membuat kepala Jean seperti terasa pecah.

“Sshh..” Tanpa sadar, anak itu mulai merintih. Kesadarannya nampak mulai terbang, berbanding terbalik dengan tubuhnya yang kian merosot.

“Jean!” Samuel terkejut melihat tubuh Jean yang tiba-tiba meluruh.

“Jean? Jean hey! Jangan tutup matanya! Jean!” Samuel mulai menepuk-nepuk pipi Jean, sedangkan Damian hanya menatap kejadian itu dengan pandangan acuh tak acuh.

“Shh.. u..dah... jangan berantem sa..ma pa..paa.. Papa gak sa..lah.. yang salah Je..an...” Kalimat itu berhasil menjadi kalimat terakhir sebelum kesadaran Jean benar-benar terenggut.


Sea

[Belum Cukup Baik]

Darrel menatap lekat kearah pemuda yang kini berbalut selimut tebal disertai kompresan pada dahinya. Wajahnya nampak merah karena suhu tubuhnya yang begitu tinggi dan jangan lupakan beberapa luka lebam yang ada disana.

“Nggak gini kalau kamu mau didik adik kamu.” Seorang lelaki berkepala empat itu membuka suara.

“Om tahu kamu mungkin nggak suka lihat Jean terlibat perkelahian, tapi apa pantas kamu pukul dia, kurung dia di gudang yang engap kayak gitu, bahkan nggak kamu kasih makan dua hari. Itu salah, Darrel!”

“Maaf, Om Sam. Darrel lupa.”

“Bisa-bisanya kamu lupa tentang hal yang menyangkut nyawa. Kalau tadi Om nggak ke sini, kapan kamu bakal inget Jean? Tau-tau ingetnya kalau udah kecium bau bangkai dari gudang.” Lelaki bernama Samuel itu sedikit memberikan kalimat sarkas pada keponakannya.

“Udah sih Om, Toh juga bocahnya nggak jadi mati, kan?” Jevan yang kebetulan juga berkunjung menjawab kalimat Samuel.

Samuel cukup terperangah mendengar apa yang dilontarkan ponakannya itu.

“Jevan! Jean itu adik kamu! Kamu nggak sepantasnya ngomong kaya gitu.”

“Kenapa? Manusia baik aja juga bakal mati, kan? Apalagi manusia sampah kayak dia.”

“Jevan! Kalian salah paham! Semua ini kesalah pahaman yang dibuat orangtua kalian. Berhenti anggap Jean sam-”

“Gimana bukan sampah kalau cuman bawa sial? Bang Tian pergi karena Jean. Mama sama papa cerai juga karena dia. Dia yang udah ngerusak kebahagiaan keluarga ini. Dia nggak layak buat hidup bahagia! Dia pantas buat mati!”

Plakkk!!!!

Tamparan keras dari Samuel menghujam Jevan. Darrel sendiri hanya membisu ditempatnya ketika melihat adik dan pamannya saling adu mulut.

Jevan terkekeh pelan sembari mengeluarkan senyum meremehkan, “Om sendiri yang bilang kalau nggak boleh ndidik pakai kekerasan, tapi Om lakuin itu ke Jevan cuman buat bela anak sialan ini.” Kalimat Jevan sebelum ia keluar dari kamar Jean dan menutup pintunya dengan keras menyisakan hening dalam kamar Jean.

“Darrel pamit, mau kerja.”

“Nggak usah kerja dulu. Jean lagi sakit, dan ini karena kamu.”

“Aku ada pasien penting di rumah sakit.”

“Buat apa kamu jadi dokter yang rawat dan sembuhin orang lain, sedangkan buat adik kamu sendiri kamu malah jadi sumber penyakitnya? Jean butuh kamu, Darrel.”

“Tapi aku nggak butuh dia!”

Darrel berlalu begitu saja menyisakan Samuel dan Jean yang nampaknya terlelap sedari tadi, mungkin.

“Om..”

Suara parau menyentak kesadaran Samuel.

“Boy? Udah sadar? Ada yang sakit?” Jean hanya menggeleng lemah menanggapi Samuel.

“Jangan marah sama abang. Disini yang salah Jean, jadi Om nggak perlu marah ke Mas sama Abang.. Jangan pukul abang lagi. Rasanya dipukul itu sakit, biar Jean aja yang ngerasain dipukul, abang-abang Jean jangan sampai” Meskipun terdengar lemah, suara anak itu berhasil menembus hati Samuel.

“Kamu denger darimana aja tadi?”

“Semuanya mungkin?” Jean menjawab dengan mata yang nampak terluka. Tak bisa dipungkiri bahwa diam-diam hatinya terasa teriris oleh perkataan kedua kakakknya tadi.

“Jean-”

“Nggak papa, Om. Jean baik-baik aja. Yang jelas, Om jangan marahin abang lagi ya? Jangan juga pukul abang lagi.”

“Kenapa kamu baik banget, huh?” Samuel mengusap surai Jean, lembut.

“Enggak. Jean belum cukup baik, makanya semesta masih belum ramah sama Jean. Semoga aja besok, waktu semesta udah menganggap Jean layak buat dapat hidup yang lebih baik, Jean masih ada disini. Ngerayain hidup bahagia bareng abang-abangnya Jean.”


Sea

[Berat, ya?]

Disinilah Jean berada sekarang. Di samping danau yang nampak tenang, ditemani dengan dinginnya angin malam serta segelas susu cokelat yang masih nampak mengepul. Sungguh menenangkan.

Sejenak, pandangannya ia arahkan ke arah danau, lalu kembali lagi ia arahkan kepada ketiga kawannya yang kini tengah sibuk bermain kartu di depannya. Senyumnya pun kadang juga ikut mengembang ketika melihat teman-temannya itu saling lempar candaan hingga umpatan yang masih dalam batas wajar.

“Lo ngapa liat doang? Ikut maen sini!” Ucap Hanan.

“Tau tuh, daritadi cuman senyam-senyum, abis itu liatin danau, terus senyum lagi, kayak sok-sok an galau lo,” Renan ikut berkomentar.

Sudah tiga bulan lebih sejak pertemuan Jean dengan ketiga orang yang saat ini telah menjadi temannya itu. Seiring berlalunya waktu, Ia jadi paham betul bagaimana watak dari teman-temannya itu.

Hanan, lelaki berkulit tan itu merupakan orang yang humoris dibalik kecenderungannya yang suka melakukan hal-hal yang cukup “ekstream”. Ia sendiri bukanlah lelaki yang takut akan sesuatu ketika ia merasa kelakuannya sudah dijalan yang benar. Kedua adalah Renan. Lelaki bertubuh mungil itu diberkahi dengan mulut berlebih dan kapasitas tahan emosi yang tipis. Ia cukup mudah untuk meledak, juga lelaki yang paling sensitif di sini. Meskipun begitu, ia merupakan pendengar dan penyuport yang baik diantara ketiganya. Dan yang terakhir adalah Nendra. Lelaki yang cukup abstrak menurut Jean. Ada kalanya Ia akan menjadi seorang yang kalem, namun ada kalanya juga ia menjadi seorang yang aneh. Entahlah, Ia adalah lelaki terandom, namun memiliki hati yang paling peka.

“Lah sempak! Malah diem aja nih bocah. WOY!!!” Teriak Renan di depan telinga Jean.

“Ass-astaghfirullah! Budek gue bentar lagi.” Jean menatap Renan dengan pandangan menyebalkan.

“Lo mikirin apa sih? Dari tadi bengong terus.” Nendra ikut menimpali.

“Gak ada”

“Yakin?” Hanan menatap mata Jean lurus.

“Gue cuman mikir, kok bisa ya kita jadi temen kayak gini.” Jean menatap ketiga temannya sambil terkekeh.

“Takdir” Hanan menjawab singkat.

“Takdir baik karena hidup yang buruk, ya? Wkwkw” Lagi dan lagi, Jean terkekeh. Membuat ketiga temannya tahu bahwa lelaki dengan mata bulan sabit itu tengah dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.

“Tuhan nggak sejahat itu kok. Gak ada hidup yang buruk. Cuman kurang baik aja, dari perspektif kita.” Renan tersenyum halus sambil menepuk bahu Jean pelan.

“Ya kadang emang bangsat tapi yaudahlah ya? Mau gimana lagi? Meskipun hidup seanjing ini tapi kita harus bersyukur kan dikasih kehidupan dimana kita enggak perlu mikir besok ada uang atau enggak buat makan?” Hanan juga ikut berkomentar dengan pembawaannya yang khas.

“Je, lo ada cerita apa? Sini bagi ceritanya ke kita. Even kita gak bisa mengubah hidup lo, seenggaknya kita bisa bantuin lo melewati itu.”

Bukannya bercerita, perkataan Nendra justru membuat Jean menunduk. Lelaki itu nampak meremat tangannya kuat, sedangkan bahunya terlihat sedikit bergetar.

“Hidup itu.... berat ...ya..?”


Sea

[Sesal Milik Darel]

Lelaki berbalut jas hitam itu menarik kasar tangan kurus dibelakangnya untuk memasuki kamar diujung lantai.

“JEANDRA!” Suara keras itu menguar memenuhi seluruh penjuru ruang.

PLAK! Satu kali tamparan.

PLAK!!! Tamparan kedua telah berhasil mendarat di wajah yang penuh lebam itu.

Hampir tangan itu melayang untuk ketiga kalinya, namun kemudian dihempaskan kasar oleh empunya.

“Berapa kali Mas bilang untuk tidak memalukan wajah mas?! BERAPA KALI?!” Darrel berteriak tepat di depan wajah adiknya yang kini tengah diam menunduk.

“Kamu itu bisa nggak sih sekali aja banggain keluarga? Kelakuan kayak berandalan. Mau jadi apa kamu? Jadi preman? Iya?!”

“Seenggaknya kalau kamu nggak berguna, cukup jangan ngerugiin yang lain, bisa?” Darrel mengucapkan kalimat menyakitkan itu dengan penuh penekanan.

“Apalagi ini Rayyan. Rayyan itu saudara kamu, Jean! Bisa-bisanya kamu menyakiti dia seperti ini.”

“Kenapa selain nggak punya otak, kamu juga nggak punya rasa persaudaraan sama sekali?! Benar kata Jevan, Kamu itu cuman anak pembawa sial yang nggak tau diuntung!”

“Terus Mas pengen Jean kayak gimana?” Jean mulai membalas, setelah sumpah serapah Darrel keluar banyak.

“Mas pengen aku diem aja saat dikeroyok gengnya rayyan sampai aku mati gitu? Oh iya lupa. Itu kan yang kalian pengen? Kalian cuman pengen Jean cepet-cepet lenyap dari dunia ini. Kenapa nggak bunuh Jean aja daridulu? Toh Jean nggak pernah diinginkan kan di sini?”

Jean melanjutkan, suaranya terdengar bergetar meski ia sampaikan dengan kekehan pelan. Sedangkan di seberang matanya, Darrel menatap Jean dengan pandangan tak percaya. Rasa kesalnya kini benar-benar meledak tergantikan oleh amarah yang membara.

PLAKK!!!

“TIDAK TAU DIRI! Bisa-bisanya kamu bicara seperti itu setelah saya berikan kamu kehidupan seperti ini? Bisa-bisanya kamu berbicara seperti itu di depan saya yang sudah mau menampung pembunuh sialan seperti kamu!” Sangat datar. Suara yang sangat datar sari Darrel, bahkan disertai dialog 'saya'.

“Kamu harusnya bersyukur! Kalau bukan karena Bang Tian, Mana sudi saya mau menampung pembunuh sepertimu? Harusnya kamu cukup sadar diri anak sialan.”

Setelah itu, Darrel mendekat kearah 'adiknya' itu. Tangannya menangkup kasar wajah penuh luka itu.

“Tidur disini selama skorsing kamu berlangsung. Dan jangan harap kamu bisa berteman lagi dengan bajingan-bajingan kecil yang membawa arus buruk ini.”

“Satu lagi. Percayalah, Jika pada akhirnya saya tahu bahwa kamu tetap menjadi bajingan sialan seperti ini, hari itu lebih baik saya membiarkanmu mati. Saya menyelamatkanmu waktu itu, dan kini saya menyesalinya.”


Sea

[Masalah]

Suasana ramai dan wangi masakan begitu menguar di kantin sekolah itu.
Gelak tawa hampir terdengar memenuhi tiap sudut ruangan. Dan ditengah itu semua, the BH geng juga sedang menikmati makanan mereka dengan khidmat.

Tak lama kekhidmatan itu terjadi, sesosok makhluk hidup bersama kawan-kawannya mulai menginterupsi.

“Ini nih, pengecut yang kemarin nolak ajakan gue” Salah seorang diantara mereka berkata dan disusul gelak tawa lainnya.

Keempat remaja yang duduk di kursi kantin itupun hanya abai lalu kembali melanjutkan makan mereka.

“WOY BUDEK! NGREMEHIN GUE LO?” Rayyan mulai terpancing, Ia berteriak lalu menendang meja itu kasar.

“ASU BATAGOR GUE TUMPAH!” Suara Renan menjawab dengan kesal.

“Lo apa-apaan sih?” Nendra mulai terpancing.

“Mau gue? Simple. Cukup sampah-sampah kayak kalian enyah dari sini.” Rayyan menatap Nendra tajam sembari memberikan senyum meremehkan.

“Heran gue. Bisa-bisanya sampah teriak sampah?” Hanan mulai ikut menimpali membuat suasana semakin menegangkan.

Ya, inilah sisi 'ekstream' dari Hanan. Dibalik topeng badutnya, ia adalah orang yang cukup berani dan berpengaruh dikalangan siswa dan siswi Neo.

Rayyan mengepalkan tangannya kuat-kuat saat mendengar jawaban Hanan. Jujur saja Ia tersinggung, tapi Ia tak boleh menunjukkannya saat ini.

“Gue maafin kali ini. Karena tujuan gue bukan itu hari ini. Gue cuman mau nyapa anggota baru kalian. Sampah temenan sama bajingan? Lucu juga wkwk” Rayyan kembali bersuara. Kemudian ia terlihat berlalu meninggalkan meja tersebut. Namun belum tiga langkah kaki itu melangkah, lebih dulu tangannya bekerja menarik satu mangkuk bakso dari siswi yang tengah lewat lalu menyiramkannya pada punggung Jean.

“Akh—”

“Sorry. Tangan gue kepleset. Selamat datang di neraka, Jeandra.”

Pandangan remeh berhasil Rayyan berikan.

BUGH!!

“Bajingan lo! Lo apain temen gue? Minta maaf sekarang.” Hanan menonjok rahang Rayyan, membuat beberapa siswa disana terkejut.

“Gue? Mana sudi minta maaf sama bajingan kayak dia? Asal lo tahu aja. Dia itu pembunuh. Pem.bu.nuh”

BUGH!!

Terkejut. Semuanya mulai terkejut, tatkala seorang Renan Junanda mulai ikut meninju lelaki di depannya.

“Sorry. Tangan gue kepleset. Mulut lo bau bangke soalnya” Ucap Renan disertai senyuman, membuat beberapa orang disana juga ikut terkekeh.

Merasa dipermalukan, Rayyan mendekati Jean.

BUGH!! BUGH!!

“Satu pukulan balasan untuk Hanan, satu lagi untuk Renan”

“ANJING LO KALAU MAU BALAS MUKUL KE GUE ASU!” Hanan melompat di meja, mulai memukul Rayyan. Melihat bos mereka dalam keadaan darurat pun membuat beberapa 'anak buah' Rayyan ikut menonjok teman-teman Jean yang lain.

Pertarungan sengit itu berlanjut hingga sebuah suara menghentikan aksi mereka.

“HANAN, NENDRA, RENAN, JEAN, RAYYAN, DINO, KAKA! BERHENTI. MASUK RUANGAN BAPAK.”


Sea

[Jean dimata Marsel]

Mentari pagi menyinar begitu terik. Suasana lapangan sekolah itu mulai tampak ramai meskipun Pak Jono —selaku guru BK— tengah berdiri di mimbar upacara dengan alunan ceramah panjangnya.

Bagaimana untuk tak kondusif ? Pak Jono sudah memulai ceramahnya sejak empat puluh lima menit yang lalu, hingga membuat telinga siswa terasa kebas.

Diantara barisan-barisan itu, nampak satu kelas yang kini mulai cukup tidak beraturan. Di sana, nampak seorang siswa bertubuh gempal dengan kulit tan yang terus-terusan berperang kaki dengan pemuda berperawakan mungil disampingnya.

“Hanan anjir lo! Jangan injek kaki gue mulu” Pemuda bername tag Renan Juanda itu mulai nampak terganggu, sedangkan pemuda tan yang disebut sebagai Hanan itu malah terkikik.

“Jangan kenceng-kenceng, ntar kedengeran Sosisnya” Salah satu pemuda yang berbaris dibelakang kedua orang itupun nampak memperingati.

Sedangkan, diantara ketiga orang disana, ada satu orang yang ikut terjebak dalam anak-anak nakal itu. Dia adalah Jean, lelaki yang kini berdiri di belakang kedua orang tadi, tepatnya di samping pemuda lain yang bernama Nendra.

Bukan Hanan namanya kalau akan menyerah untuk mengacau, ia masih mencoba mengganggu Renan, padahal ia tahu kalau Renan itu mudah sekali mele....

“ANJING!!!”

dak.....

Suasana tak kondusif di lapangan menghening seketika. Semua mata kini nampak tertuju pada keempat pemuda di sana.

“Suara siapa tadi?!” Itu Pak Jono, ia bertanya dingin lewat microphone.

“Tolong pihak OSIS segera ditangani kekacauan ini.” Pak Jono kembali berucap. Mengingat ini adalah hari pertama peserta didik baru hadir, ia tidak ingin turun tangan langsung hari ini.

“Buat kepala empat biji tadi, keluar dari barisan!” Kakak kelas dari pihak OSIS mulai mengerubungi barisan tadi, menjalankan instruksi dari Pak Jono.

“Heh! Kamu ngapain?! Keluar!” Suara serak basah itu cukup menggelegar. Membuat beberapa kelas menatap ke arahnya.

Semua nampak diam menatap pemuda yang tak beranjak mengikuti ketiga kawannya yang lain.

“Saya, kak?” Tanyanya saat bahu kanannya disenggol.

“Iya kamu!”

“Tapi saya nggak salah kak.” Jean mulai membela diri.

“Alasan saja kamu. Keluar dari barisan!” Salah seorang perempuan berjas resmi OSIS itu mulai menimpali perkataan sebelumnya.

“Tapi saya benar-benar tidak melakukan kesalahan. Saya bahkan tidak mengenal ketiga orang tadi.” Jean berusaha tenang, meskipun sebenarnya ia sedikit gemetar. Ia tak suka menjadi bahan tontonan seperti ini, apalagi memperlihatkan dirinya yang tengah dimarahi seperti ini.

“Kenapa ramai-ramai?” Seorang dengan suara yang familiar di telinga Jean, datang menghampiri gerombolan OSIS disana.

“Sorry Mars, tapi dia bebal banget. Udah disuruh baik-baik malah nggak mau nurut. Berandalan banget.” Wanita dengan kuncir kuda itu mengadukan sikap adik kelasnya pada Marsel, seorang yang cukup disegani di OSIS.

Marsel menatap wajah teduh itu dengan tatapan yang sangat tajam, hingga membuatnya menunduk. Dengan perlahan, Marsel mendekati Jean, kemudian menarik kasar tangan Jean yang terasa dingin dan berkeringat itu.

“Keluar.dari.barisan.sekarang.ju.ga.”

Telak. Selalu seperti ini. Suara yang Jean harap dapat ia dengar menyapanya dalam keadaan lembut, malah membuatnya merasa terintimidasi setengah mati.

“Baru sehari belum usai aja udah melakukan hal yang memalukan. Memang ya, nggak ada yang bisa diharapin dari orang kaya kamu, dek.”

Pelan sekali suara Marsel pada telinga Jean, tetapi begitu berhasil menusuk hati dari pemuda yang kini berusaha menahan tangisannya itu.

Mungkin benar kata Marsel. Seseorang sepertinya tak layak untuk diharapkan. Tak layak untuk bahagia, atau bahkan tak layak untuk hidup.


Sea

[Tentang Luka]

Pukul dua dini hari, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Jean yang memang belum tertidur pun akhirnya menyibak selimutnya kala mendengar suara beberapa barang terjatuh di bawah.

“Mas..?” Jean bersuara, menyusuri tangga, sembari menyalakan lampu utama.

Usai lampu benderang, Jeandra cukup terhenyak kala melihat pandangan di depannya.

Mas yang biasanya berpenampilan rapi, kini nampak kacau dengan setelan yang sudah sedikit terbuka. Matanya tertutup, tetapi bibirnya masih menggumamkan sesuatu. Pipinya yang putih bersih kini nampak memerah, dan menguar juga bau alkohol yang cukup menyengat.

“Mas? Tidur di dalem yuk. Di sini dingin.” Jean mendekat, membopong Darrel ke arah kamarnya yang berada di lantai satu. Dengan perlahan, Jean membawa Darrel ke tempat tidur, memposisikan Darrel agar dapat tertidur dengan nyaman.

Jean menatap lekat Darrel. Jarang sekali ia bisa sedekat ini dengan Darrel saat orang itu dalam keadaan sadar. Kemudian, tangannya dengan gesit melepaskan sepatu serta kaus kaki milik Darrel. Ia juga membuka baju Darrel, menggantikannya dengan kaos yang nyaman, lalu mengambil handuk kecil dan mmembersihkan badan Darrel agar kakaknya itu lebih nyenyak.

“Mas Tian..” Darrel mulai mengigau tak jelas.

“Maaf... Maaf.. Maafin Darrel yang gak bisa jadi abang yang baik buat adek-adek..” Meskipun matanya terpejam, namun terlihat perubahan wajah Darrel seperti orang bersedih.

“Ma..af...”

“Jeje kita sekarang udah besar...”

“Jeje sekarang sama Darrel.. Tapi.. Darrel gak bisa ngasih dia kebahagiaan” Kelopak mata Darrel mulai mengeluarkan air mata.

“Hati Darrel masih sakit ketika ngeliat Jeje.. Darrel selalu ingat sama Mas.. Harusnya itu bukan salah Jean.. Tapi kami semua.. menyalahkannya..”

Jean terdiam. Ia sendiri bingung harus bagaimana. Ini adalah cerita yang sama yang telah kesekian kalinya ia dengar. Semua dari bibir kakaknya itu, Jean tidak pernah ingat. Siapa Tian, Alasan perceraian kedua orang tuanya, hingga alasan kebencian saudara-saudaranya, Ia tak pernah tau dengan jelas.

Yang ia tahu hanya satu. Semua ini karena kesalahannya. Begitu kata keluarganya.

“Jean sendirian... Pasti dia kesepian..”

Gumaman Darrel itu berhasil membuat mata Jean berkaca-kaca. Ia kira Masnya itu begitu abai terhadapnya, nyatanya tidak.

“Jean... Maaf...”

“Maaf...maaf...”

Hanya gumaman meminta maaf itu yang terus terdengar hingga Darrel benar-benar terlelap, meninggalkan Jean dengan pertanyaan besar dalam hatinya, serta dengan luka yang masih menganga.


Sea

[Meaning]

Kaki putih itu mulai menapak pada anak tangga dengan hati-hati. Pandangannya sedikit berbayang, namun ia harus menuju dapur. Tenggorokannya terasa sangat kering, apalgi ditambah dengan suhu tubuh yang tinggi menambah rasa lemas pada diri anak itu.

Ia lelah. Hidupnya selalu terasa seberat ini. Selalui melewati malam panjang dengan mimpi buruk yang tak berkesudahan, lalu terbangun dalam keadaan yang lelah. Jujur saja, bukan hanya mentalnya yang rusak namun seperti fisiknya juga ikut melebur.

Rumah mewah itu nampak sepi, tidak ada siapa-siapa disana karena ini hari Jumat. Semua masih beraktivitas seperti biasa, kecuali dirinya, yang selalu saja tertinggal seperti ini.

Langkah lemah kakinya kini berhenti kala telinganya dengan samar menangkup suara yang amat ia rindukan. Kedua insan yang sangat ia ingin kehadirannya. Tubuhnya ia sembunyikan dibalin panil jati yang memisahkan ruang tamu itu dengan ruang keluarga.

“Sudah sepuluh tahun, ya?” Suara itu milik Aline, wanita yang telah berhasil menghadirkan sosok Aelazar ke dunia ini.

Tak ada jawaban apapun dari Devian kecuali deheman singkat.

“Mau apa kamu kesini?”

“Cuman mau mengapresiasi kamu saja. Ternyata bisa juga ya kamu membesarkan anak itu sampai sekarang.” Wanita itu terkekeh.

“Jelas. Dan masih sesuai perjanjian, kan?” Dev menjawab dengan dingin.

“Hahaha.. Devian.. Devian.. ternyata kamu masih sama ya?”

Dev hanya menaikkan alisnya untuk menjawab Aline.

“Ku kira setelah sepuluh tahun bersamanya akan ada rasa sayang kepadanya hahaha. Ternyata kamu masihlah tetap Devian yang lama.”

“Tugasku hanya untuk membesarkannya. Masalah aku menyayanginya atau tidak, itu tidak disebutkan ke dalam perjanjian”

“Ckckck tipekal Devian, hanya mau mengeksploitasi keuntungan. Bagaimana rasanya mempunyai perusahaan yang maju dengan cara memeras orangtuaku sebagai sumber investasi mu, Dev? Kamu gunakan bukti-bukti kekerasan Mami pada Ael untuk mendapatkan semua ini, kan?”

Devian mengeratkan genggaman tangannya erat hingga buku kukunya nampak memutih. Mimik mukanya menampilkan aura gelap yang cukup mencekat, namun itu malah membuat wanita di depannya terkekeh.

“Aku jadi penasaran, bagaimana perasaan bocah itu saat tahu bahwa ayah yang selama ini menyayanginya hanyalah menggunakan dirinya sebagai umpan? Oh ralat, bukan menyayangi tapi hanya 'nampak menyayangi', kan? Kau pikir aku tak tahu? Kau memperkerjakan asisten untuk bocah itu, selalu memberikannya dorongan untuk hidup lebih lama, tapi padahal niatmu tak setulus itu. Kau menjaganya tetap hidup agar bisa terus memeras mamiku. Kau menjaganya tetap hidup agar mami tak bisa menghilangkannya dari dunia ini kan? Karena kalau dia mati, kau tak bisa lagi menakuti mami.”

Saat telinganya berhasil menangkap kalimat-kalimat menyakitkan itu, Ael meluruh detik itu juga. Bahunya merosot, bersamaan dengan tubuhnya yang tiba-tiba terasa lemas luar biasa.

Degup jantungnya aneh. Ada juga perasaan yang sangat menyakitkan menembus ulu hatinya. Hawa panas juga mulai merambah ke manik Ael, hingga beberapa buliran air pun tak lagi dapat ia bendung.

“Ngga ... mungkin..... kan?” Ael bertanya kepada dirinya sendiri. Ia terkekeh dengan keadaannya yang seperti ini. Miri, ternyata memang selama ini ia tak hidup dengan perasaan cinta orang lain. Dia hanya hidup dalam angan 'dicintai' yang ia buat sendiri dikepalanya, padahal nyatanya tidak.

Daddy.. nggak mungkin kan sejahat itu?

“Mau kamu apasih, Lin?!” Suara Devian meninggi.

“Mau aku? KURUNG ANAK ITU DAN JANGAN SAMPAI DIA MENDEKATI KELUARGAKU LAGI!” Aline membalas suara dev dengan tinggi juga.

“Maksud kamu?”

“Kamu pura-pura nggak ngerti atau gimana sih, Mas? Anak kamu itu GILA! Sungguh memalukan. Apalagi dia yang kemarin mendekati Eden saat aku di taman. Aku nggak mau ya kejadian ini terulang lagi. Bilang sama dia untuk berhenti mengganggu hidupku! HIDUPKU SUDAH SANGAT SEMPURNA TANPA KALIAN!”

“Hidup aku juga sudah sempurna sekarang. DAN TANPA ANAK ITU. Aku mau akhirin perjanjian itu. Perusahaanku sudah besar, aku tak perlu lagi invest dari orangtuamu. Sebagai gantinya, bawa anak itu pergi dari sini!”

Benar-benar perkataan yang amat tak layak untuk keluar dari mulut orang yang harusnya melindungi buah hati mereka.

Sakit. Rasanya sakit sekali untuk Ael mendengar ini semua. Jujur, hatinya seperti ingin meninggalkan obrolan sampah itu, tapi kakinya seperti tak ingin meninggalkan tempatnya kini.

“Sepuluh tahun anak itu bareng kamu, harusnya kamu bertanggung jawab dong ke dia! Jangan main asal lempar ke aku! Aku gak mau hidup yang sudah sesusah payah ini aku bangun akan jadi kacau dengan keberadaan anak itu.”

“Benar-benar ibu yang buruk, kamu Aline.”

“Dan orang yang membuatku seperti adalah kamu! KAMU! KAMU SENDIRI, DEVIAN GENIO!” Aline berteriak marah. Emosinya benar-benar seperti meledak.

“KAMU BRENGSEK! KAMU HANCURIN HIDUP AKU! SEMUA MIMPI AKU! BAHKAN KETIKA AKU SUDAH MENERIMA KEADAAN ITU KAMU MALAH SELINGKUH DENGAN PELACUR ITU!”

PLAKKKK

Suara tamparan menggema dari arah ruang tamu. Dapat Ael lihat, Aline nampak sedikit gemetar usai ditampar oleh Devian.

“Tutup mulut kamu! Jangan pernah sebut Asmara sebagai pelacur!”

“Lalu harus aku sebut apa? Wanita berhati malaikat yang telah berhasil mengambil hati suamiku? Ngigau kamu. KALAU DIA EMANG BERHATI MALAIKAT, DIA NGGAK AKAN HAMIL ANAK KAMU SAAT AKU JUGA HAMIL ANAK KAMU! ANAK ITU, ANAK KEMBAR YANG SANGAT KAU SAYANG ITU CUMA ANAK DARI HASIL HUBUNGAN LELAKI BAJINGAN DAN PELACUR RENDAH-”

“ALINE!!!”

PYARRR

Suara kaca pecah mengisi ruang. Aline masih menutup mata saat pandangan terakhirmya tadi menangkap wajah Dev yang penuh amarah, sedangkan tangan kirinya membawa gelas kaca yang digerakkan ke arahnya.

Sepersekian detik tak terasa apapun pada Aline selain adanya dekapan dari seseorang, hingga saat ia membuka mata, baru ia tahu kenapa gelas itu tak melayang padanya.

Dihadapannya kini, tampak Devian dengan nafas terengah memegang gelas kaca yang tinggal seperempat bagian saja. Sedangkan didekapnya, ada anak laki-laki dengan kepala dan wajah yang berdarah. Bahkan di wajahnya nampak beberapa serpih pecahan gelas yang masih menempel.

Perlahan anak itu mengambil posisi diantara kedua orang disana. Meski bocah itu tersenyum, namun matanya terlihat berkaca-kaca, seperti menahan kesakitan yang luar biasa.

“Ayah boleh benci Ael, tapi jangan sampai sakiti Mom. Ayah itu lelaki yang meski nampak biasa, tapi tenaganya kuat. Sedang Mom itu wanita yang harus diperlakukan dengan lembut. Kalau ayah pengen Ael pergi dari kehidupan ayah, Ael bisa pergi. Tapi jangan paksa Mommy dan sampai bikin Mom terluka kaya gini. Dan untuk Mom, Ael minta maaf kalau kehadiran Ael udah hancurin kehidupan berharga Mommy. Pasti Mom kesusahan banget ya karena Ael? Maaf ya. Maaf juga untuk kemarin kalau pertemuan kita yang tidak sengaja malah membuat hari mommy memburuk. Ael benar-benar minta maaf kepada kalian berdua”

Anak itu menunduk. Ia tak bisa lagi menahan tangisnya. Dengan kasar, ia mengelap air mata itu. Lalu kembali menatao kedua orangtuanya dengan wajah penuh arti.

“Ael ke kamar dulu, mau beres-beres buat pergi. Mommy nanti kalau nyetir pulang hati-hati ya.. Ael sayang Mommy”

Anak itu mengambil tangan lembut Aline, lalu menciumnya dengan cukup lama. Setelah itu ia membalikkan badan, menjauh dari kedua orang yang kini menatapnya dengan tatapan penuh arti.


Sea

(AelSena)

“Ck, lemah banget deh lo. Perasaan tadi di chat kayak dakjal, gue pulang malah disambut beginian” Sena menggerutu pelan sembari memeras kompresan lalu ditaruhnya pada kepala Ael.

Bocah itu tadi Sena temukan dalam keadaan terkapar di lantai tangannya. Suhu tubuhnya sangat tinggi, dan jangan lupakan sebagian wajahnya yang tadi terluka akibat pecahan gelas.

“Ini udah lo obatin belum si? Tau gue benci banget sama darah. Malah muka lo kayak gini” Sena masih terus mengomel.

“Gue udah beliin makanan nih. Habis banyak duit ya. Awas kalau nggak lo makan”

“Lo mau sampai kapan ngedumel kayak ibu-ibu gitu sih, na? Gue pusing. Tolong diem” Ael berucap, namun matanya masih enggan membuka.

“Kenapa lo? Masih sakit? Ke rumah sakit aja elah”

Ael hanya menggeleng pelan.

“Harusnya lo periksa nggak sih, na? Lo aneh hari ini. Lo nggak mau bunuh gue, kan?”

“Lambemu!”

Ael berucap, sedangkan Sena reflek memukul mulut Ael.

“Kalau ngomong itu yang bener. Kita harus bersyukur dikasih hidup hari ini. Sok-sok an mau mati, emang udah yakin masuk surga?”

“Nggak tahu. Tapi buat apa gue hidup dunia ini kalau nyatanya di dunia ini hati gue udah mati? Buat apa gue tetep hidup kalau dunia gue udah kayak neraka sekarang..” Ael berkata dengan nada mengambang. Ia sedikit tersenyum, tetapi matanya masih senantiasa tertutup. Meskipun begitu, Sena tahu, dibalik senyum dan mata itu, Ael tengah berusaha menahan tangisnya mati-matian.

“Buat diri lo sendiri. Jangan hidup buat orang lain, tapi hiduplah buat diri lo sendiri. Hidup emang susah, tapi mati juga nggak tentu bakal lebih baik, kan?”

Perlahan badan Ael nampak bergetar. Mungkin karena fisik dan emosional yang tak stabil, membuat Ael sangat sensitif.

“Lo nggak pernah tau gimana rasanya... Lo nggak pernah tahu gimana rasanya diri lo jadi alasan hancurnya dunia lo sendiri, dunia milik orang yang lo cintai. Lo nggak pernah tahu gimana rasanya kehadiran lo nggak pernah dianggap ada. Lo nggak pernah tau rasanya jadi gue..

Gue sakit, tapi nggak ada yang pernah mau tau tentang itu”


Sea

[Terjebak]

Jam dinding sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Namun mata sipit itu belum juga bisa terpejam. Sejenak ia menarik napasnya dalam-dalam guna menstabilkan jalur napas yang ia rasa mulai sesak.

Tubuhnya terasa lelah luar biasa, namun daritadi usahanya untuk menidurkan diri tak kunjung berbuah. Tiap kali ia akan terbawa mimpi, gejolak di perutnya selalu memberontak, hingga membawanya ke kamar mandi.

Ael lelah. Ia merasa ingin saja menidurkan diri di depan kloset daripada harus bolak-balik dari tempat tidur ke sini.

Ttok ttok ttok

Terdengar suara pintu terketuk. Namun Ael terlalu lemas untuk sekedar menjawab.

Sedangkan, dibelakang pintu sana, seorang pemuda berdimple sedang berdiri di depan pintu dengan tangan yang membawa nampan berisi minuman.

Merasa tak kunjung mendapat balasan, pemuda itu membuka pintu dengan mandiri. Setelah masuk, dilihatnya ranjang tidur itu nampak kosong dan berantakan.

Juna menaruh nampan di nakas, lalu duduk di tepi ranjang Ael sembari mengamati bagaimana bentuk dan isi kamar adiknya itu. Sungguh aneh ternyata, kamar adiknya itu meskipun luas, nyatanya nampak sangat sederhana, tak lebih mewah dari kamar yang ia dan saudaranya tempati, padahal notabenya Ael lah yang merupakan tuan rumah disini.

Rasa penasaran itu langsung tergantikan dengan rasa khawatir tatkala suara gemericik air yang tadi terdengar, kini malah terdominasi dengan suara orang muntah.

“El, lo oke?” Juna bertanya, namun tak ada jawaban apapun dari dalam kamar mandi.

Karena khawatir, Juna langsung membuka kamar mandi itu, dan dapat ia lihat bahwa Ael sudah duduk bersimpuh di depan kloset dengan tangan yang sengaja ia masukkan ke mulut.

“Heh, lo apa-apaan? Itu bikin muntah anjir” Juna panik melihat perilaku Ael, tangannya dengan gesit menarik tangan yang Ael gunakan untuk merogoh tenggorokannya sendiri.

“Enggak.. nggak.. harus muntah.. Aell.. hoek...” Ucapan Ael terputus kala ia gejolak itu keluar dari tenggorokannya. Tak ada apapun yang keluar dari mulut Ael kecuali air bewarna jernih, yang tandanya memang sudah tidak ada apapun di perut yang bisa Ael muntahkan.

“Heh?! Lo nggak papa?”

“A- Ael harus muntahin donatnya.. kepala Ael sakit... oma marah.. Ael harus..”

Juna terhenyak mendengar penuturan lemas dari adik tirinya itu. Kemarin ia memang mendapat cerita dari Mas Rama kalau adiknya itu tidak baik-baik saja, tapi ternyata ini lebih buruk dari yang ia bayangkan.

“Ael.. Udah.. disini ada Abang. Nggak ada oma atau siapapun yang bakal marahin kamu.” Juna mencoba menenangkan Ael, membantunya berdiri untuk berjalan ke arah ranjang. Sedangkan Ael hanya menatap kosong, matanya tampak memerah, kulitnya nampak begitu pucat, dan seluruh badannya terlihat bergetar.

“Oma jahat ke Ael... A-Ael harus telan donatnya kalau nggak nanti Oma marah terus pukul Ael.. Ael takut...” Ael tiba-tiba menangis hingga membuat Juna bingung sendiri.

“Ssst.. udah.. Ael pasti capek. Sekarang tidur ya? Abang temenin sambil puk-puk. Udah, tutup mata Ael, percaya sama Bang Juna kalau nggak akan ada orang yang sakitin Ael.” Juna mencoba menidurkan Ael dengan cara memeluk bocah itu sembari mengelus kepalanya pelan.

Beberapa menit berlalu, dan benar saja Ael sudah terbawa ke dalam alam mimpi.

“Semenakutkan itu sampai bikin kamu nangis saat tidur kaya gini?” Juna berujar pelan kala mendengar isak kecil dalam tidur Ael.

Sebenarnya apa yang telah dilalui adiknya ini?


“Ael sayang.. Bangun. Oma bawakan donat coklat kesukaanmu. Kamu senang kan?” Suara wanita yang akhir-akhir ini terdengar menyeramkan di telinga Ael, membuat tidur bocah itu terganggu.

Badan kecil itu langsung bergetar hebat kala netranya menangkap wajah wanita monster itu.

“Kenapa gemeteran gitu, hmm? Ael takut sama oma?” Wanita itu bertanya sambil terkekeh. Sedangkan Ael kecil malah memejamkan matanya erat agar tak bersitatap dengan 'oma'nya.

“KALAU ORANG BICARA ITU DITATAP, AEL!”

Wanita itu berteriak, tangannya menarik paksa kepala kecil itu, hingga rambutnya ikut rontok dalam genggaman kasarnya.

“Nah, lihat mata oma seperti ini sayang... sekarang, Ael makan ya. Sudah dua hari tidak makan kan? Ini oma bawakan makanan kesukaan kamu.”

Wanita itu tersenyum. Tangannya menyuapkan satu donat ke arah bibir mungil itu. Ael menggeleng menatap donat itu hingga membuat wanita tua itu marah.

“MAKAN!” Wanita tua itu langsung memasukkan satu donat utuh ke dalam mulut Ael kecil. Belum sempat Ael mengunyah donat itu, satu donat lagi kembali dijejalkan. Ael ingin sekali memutahkan makanan dalam mulutnya, namun tangan wanita tua itu lebih dulu membekap mulut kecilnya.

“Huk..uhuk..uhuk.. hah .. hoekk” Ael tersedak hebat, sebagian donat itu berhasil masuk kedalam kerongkongannya, namun sebagian lagi ia muntahkan. Seluruh bagian kepala anak itu terasa sakit, apalagi saat ada beberapa remah kacang dan coklat yang keluar dari hidungnya saat tersedak tadi.

“O..m..a..a...ir..”

“SAYA BILANG MAKAN KENAPA KAMU MUNTAHKAN, ANAK TIDAK TAHU DIUNTUNG!!!”

PLAAK PLAK PLAK BUGH

Wanita tua itu marah, lalu menampar dan memukul Ael kecil dengan membabi buta. Usai puas dengan kelakuannya, wanita tua itu meninggalkan Ael kecil dengan sakit yang menderanya tanpa air seteguk pun.

Dan mulai hari itu.. Tak ada lagi hal manis yang Ael suka. Karena nyatanya, setelah hari itu memang tidak pernah ada hal manis dalam hidupnya, semuanya telah tertelan oleh pahit bertahun silam yang sampai saat ini masih membekas dengan dalam.


Sea