Seantara

[Curhat ke Abang]

“Udah muntahnya?” Laut hanya mengangguk lemah. Tubuhnya kini bertumpu pada tubuh tegap Arent.

“Balik ke kasur? Abang gendong ya” Tawar Arent sedang Laut menggeleng.

“Bisa...hah...ja..lan..hah” Laut menjawab dengan napas yang agak berat.

“Seharian udah makan apa aja kamu dek?” Arent bertanya sedikit tegas. Mengingat adiknya itu tadi hanya memuntahkan cairan bening saja.

Melihat Laut yang hanya menggeleng lemah membuat Arent membuang napas kasar.

“Itu pasti asam lambung kamu naik. Udah tau ada magh tapi masih aja bandel banget dibilangin buat makan. Makan itu kegiatan pokok yang harus kita lakuin sebagai makhluk hidup dek. Kalau udah gini siapa juga yang ngerasain sakit? Kamu sendiri kan?”

“Maaf... abang jangan marah hiks” Laut menunduk. Seketika ia merasa sangat bersalah akibat omongan dari abangnya itu.

“Sstt ssst.. udah, maafin abang ya udah bentak kamu. Sekarang makan dulu ya. Abang udah siapin sup jagung kesukaan kamu. Buka mulutnya.. aaa..”

Arent melunak. Ia tidak boleh menghadapi Laut dengan keras.

“Udah.. kenyang..” Laut menolak suapan keenam dari Arent.

“Yaudah, minum obat terus bobo ayo”


“Gak bisa tidur” Laut berucap pelan.

“Kenapa?” Arent yang tertidur disamping anak itupun membuka mata.

“Abang belum tidur? Laut ganggu abang ya?”

“Kamu kenapa ga bisa tidur? Cerita sama abang sini” Bukannya menjawab, Arent malah bertanya balik.

“Bang, kenapa manusia itu susah percaya sama orang yang di awal tuh udah dia kasih label? Kayak apa ya... kayak meskipun kita udah usaha sampe mampus, tapi kalau di awal dah di cap 'gak bisa', sampai akhir dia bakal ngecap buruuuukkk terus. Kaya gak ngehargain effort kita.” Laut bercerita sembari menatap langit-langit kamarnya.

“Adek, liat abang sini.” Arent menarik Laut hingga anak itu kini saling bersitatap.

“Sebagai manusia kita punya dua opsi buat ngehadapin situasi kaya gitu. Pertama, adek boleh egois dengan gak usah peduliin persepsi orang, toh itukan gak ngaruh di hidup kita.”

“Tapi ade—”

“Gak bisa ya? Kalau gak bisa, adek bisa pilih opsi yang kedua. Adek mencoba mengerti alasan dibalik persepsi itu. Kita gabisa baca pikiran orang lain, kan? Bisa aja maksud dia berpikir kaya gitu itu bukan maksud jahat. Kayak gini deh contohnya, abang sama ayah yang kadang keliatan overprotective sama adek. Bukan maksud kami memandang adek gabisa buat ngelakuin ini dan itu sendiri, kami yakin kok adek hebat, toh kami yang lihat gimana dulu adek berjuang. Cuman abang sama ayah khawatir, takut kalau adek kenapa-napa terus kita gak ada yang bisa bantuin adek karena abang pun sama ayah masih banyak kurangnya. Maafin abang sama ayah, ya?”

Arent mengelus kening Laut yang terpasang gel penurun panas. Sedangkan Laut terdiam mendengar pembicaraan Arent yang tepat sasaran. Benar, mungkin saat ini Ia belum mengerti. Tidak seharusnya Ia marah dengan Ayahnya tadi sore.

“Heh! Kok malah nangis?” Arent terperanjat ketika bahu Laut bergetar.

“Hiks...adek tadi udah.. hiks ...salah. Adek marah-marah ke Ayah hiks”

Arent terkekeh gemas melihat mata dan hidung adeknya yang memerah itu, sangat menggemaskan.

“It's okay. Kita itu manusia. Sometimes we make a mistake,but itu yang dinamain proses dalam hidup. Adek udah ngerti kalau adek salah, jadi it's okay. Besok minta maaf sama ayah ya? Sekarang bobo sini abang peluk.”


Sea

[Kapan Ayah Percaya?]

Laut tersenyum ketika matanya menangkap siluet mobil HRV putih yang sangat ia kenali itu.

“Lama ya? Maaf ya, tadi ayah kena macet” Damar berucap kala tubuh putranya itu memasuki mobil dengan tubuh yang penuh peluh.

“Gak papa. Gak lama kok. Tadi tuh ditemenin sama temen Laut. Cuman mereka sekarang ada rapat buat sportday besok senin.” Laut berucap sembari menyenderkan tubuhnya. Sejujurnya kakinya pun terasa sedikit kebas karena sempat berdiri menunggu jemputan selama 15 menit.

“Ayah, besok kalau nggak ada yang bisa anter aku, mending aku ojol aja. Jangan bilang ke Renja. Kasian, dia nanti repot.” Laut memanyunkan bibir, membuat Damar terkekeh gemas.

“Memangnya kenapa?” Damar menggoda.

“Kan akutuh bukan anak kecil lagi ayah. Meskipun aku cacat, aku bisa buat ngelakuin hal sepele kaya gini. Ayah jangan kasian terus batasin aku buat lakuin hal-hal remeh kaya gini bisa, gak?”

Suara Laut yang meninggi membuat Damar memelankan laju mobilnya. Bukan pertanda baik kalau putranya itu menjadi sensitive seperti ini.

“Kamu sakit? Ada yang ngerasa gak enak? Bilang sama ayah hmm?” Damar berucap lembut sembari melayangkan tangan kirinya untuk mengecek suhu tubuh Laut.

“Aku baik-baik aja.” Laut menampik tangan halus Damar.

“Baik darimana? Badan kamu panas gini. Pasti kaki sama tangan kamu juga kebas.”

“Ayah bisa gak sih percaya sama aku sekali aja? Ayah jangan berlebihan kaya gini. Rasanya aku jadi orang yang gak berguna tau gak sih yah?” Damar terdiam. Ia hanya mengelus punggung Laut yang bergetar. Tidak bagus untuk menjawab Laut saat anak itu sedang seperti ini.

“Iya, maafin ayah ya?”

“Sebenarnya kapan?.... kapan ayah bakal percaya sama aku?”


Sea

[Pinta Milik Laut]

Pukul 23.18. Damar beranjak dari kamarnya menuju kamar putra bungsunya. Sangat pelan ia memutat knop pintu, takut jika aksinya itu akan mengganggu sang pemilik kamar.

“A..yah?” Laut langsung merubah posisi tatkala menyadari bahwa seseorang memasuki kamarnya.

“Adek kok belum tidur?” Damar mendekat ke arah ranjang kemudian meletakkan tubuhnya di samping tubuh kurus putranya.

“Laut gabisa tidur hehe. Soalnya mau tidur sama ayah” Anak itu tersenyum lalu menaruh kepalanya di dekat dada bidang sang ayah.

“Dasar.. katanya gamau dibilang bocil, tapi kelakuan masih sebelas duabelas kayak bayik” Damar tertawa gemash sembari mengusak rambut lembut milik Laut.

Hening menemani sentuhan halus tangan Damar pada kening Laut, hingga suara Laut membuyarkan ketenangan itu.

“Ayah, makasih ya udah jadi ayah terbaikkkk untuk Laut. Laut senang, senang sekali punya ayah dalam hidup Laut. Gimanapun keadaannya nanti, jangan pernah tinggalin Laut ya, yah? Laut gamau kehilangan lagi..”


Sea

[Teman untuk Biru]

“Laut, kan? Gue Hekal, yang kemarin dari grup” Sebuah tangan berkulit tan terulur di depan wajah Laut.

Laut yang tadinya hanya menatap lapangan basket dari jendela kelasnya, kini menatap lekat pemilik tangan tersebut. Tangan salah satu orang yang paling Ia rindukan di sini.

“Eh bocah malah plonga-plongo. Iya, gue tahu, gue emang ganteng”

Ia masih tetap sama. Masih sangat PD dan menggemaskan seperti Haekal yang ia kenal sepuluh tahun yang lalu.

“Terpesona apa gimana lo sama Hekal? Anjir gue juga pegel nih udah ngangkat tangan daritadi” Lelaki imut di sebelah Haekal ikut menggerutu. Nakula, ia masih saja bawel, membuat Laut sedikit terkekeh.

“Malah ketawa. Songong banget tangan gue dianggurin” Haekal memberengut. Niatnya ingin berteman baik pun rasanya sudah mengampas. Ia kesal saat si Laut ini seperti tidak ingin berteman dengan mereka. Buktinya ia bahkan tidak mau membalas uluran tangannya.

Sedikit badmood, dengan kesal Haekal hendak menarik tangannya, tetapi terlebih dahulu sebuah tangan yang tak terasa seperti tangan mencekal lengan itu.

“Sorry.. sorry. Tangan gue agak lama buat dikendaliin hehehe kalau pakai tangan kiri takut gasopan.”

Laut tersenyum memunculkan sabit di wajahnya. Lain halnya, Haekal yang kini menatap tangan —yang ternyata merupakan tangan buatan — itu dengan perasaan terkejut serta menyesal sekaligus.

“Maaf, gue gatau kalau tangan lo sakit.” Haekal mengucap maaf.

“It's okay. Kalian kan emang gatau. Dan gue sebenernya juga gapengen kalian tau” Laut menjawab sambil terkekeh.

“Kenapa? Kalau lo ngomong kan kali aja kita bisa bantu kalau lo ada butuh sesuatu.” Nakula menimpali.

“Gak papa. Gue gamau dipandang beda. Kalian pun, jangan pernah lihat gue sebagai orang cacat ya? Jangan kasihan sama gue karena sikap kasihan kalian bakal jadi beban buat gue. Cukup kalian yakin aja kalau gue bisa, toh gue juga udah kebiasa sama keadaan kaya gini.”

Laut menatap ketiga temannya dengan tatapan tegar yang disertai senyum. Anak itu memang tersenyum, namun entah bagaimana matanya dapat menyiratkan luka sekaligus.

“Btw, thanks buat nerima gue sebagai teman kalian. Gue bersyukur banget. Dan kayanya bakal selalu bersyukur buat pertemanan kita ini.”


—Sea

[Hari saat Kehilanganmu]

“Bunda!!! Bilu seneng soalnya akhilnya Bilu pulang dali lumah sakit yeyyy!!” Dengan wajah yang masih pucat, anak itu tampak menebar senyum cerianya.

“Biru senang bisa pulang dari rumah sakit?” Lily tersenyum hangat sembari mengelus rambut lembut putranya itu.

“Hu'um. Soalnya kata yayah, yayah janji belikan Bilu mainan banyak-banyak, telus kita bakal pelgi piknik hihihi. Bilu senanggg sekali” Anak itu cekikikan sembari mengingat bagaimana Jeff yang datang tiba-tiba kemarin sembari menawarkan janji-janji indah kepadanya.

Lily tersenyum senang melihat betapa antusias putranya ini. Andaikan, Jeff berubah seperti ini dari dulu, mungkin Biru akan menjadi anak paling bahagia.

“Loh Pak Man? Kok bukan lewat jalan biasanya?” Tanya Lily saat menyadari jalan yang mereka tempuh bukan jalan yang biasanya.

“Iya Bu. Tadi kata Bapak, jalan yang biasanya itu lagi diperbaiki, makanya beliau nyuruh saya lewat sini.”

Lily hanya mengangguk menanggapi Pak Man, supir kepercayaan keluarga Adyatama.

Aneh. Tidak ada apapun saat ini. Birunya juga tampak bahagia. Namun, mengapa hati lily terus merasa gelisah?

Lima belas menit berlalu, terasa sangat sebentar bagi lily yang kini tengah menikmati tawa kecil putranya itu.

“Bunda? Bunda kenapa dalitadi liatin Bilu?” Tanya Biru kecil saat menyadari bahwa sedari tadi atensi Lily hanya diberikan kepadanya.

“Engga papa. Bunda suka lihat Birunya Bunda bahagia.” Lily menjawab sembari mengusap rambut lembut Sabiru.

“Bunda.. bunda tau ndak?” Biru menatap Lily dengan manik kecilnya.

“Di dunia ini, sebenalnya Bunda adalah olang favolit Bilu” Biru tersenyum hangat sembari melanjutkan perkataannya yang terpotong.

“Maafin Bilu ya Nda? Bilu tahu, Bunda suka malahan sama yayah soalnya Bilu seling ngomong kalau kangen yayah. Tapi.. Bilu mau bunda tau kalau sayangnya Bilu ke Bunda itu guedeeeeee buangettt hihihihi” Anak itu kembali membawakan tawa renyahnya.

Tak sampai disitu, Biru menarik tangan Lily. Mengelusnya pelan. Lalu tiba-tiba mendorongkan tubuh mungilnya dalam dekapan Lily.

“Bilu udah biasa kalau ndak ada yayah. Tapi Bilu kayaknya bakalan nangis telus kalau ndak ada Bunda. Soalnya Bunda Lily itu kesayangan Bilu belatus latus tlilyun.”

Lily tersenyum. Hatinya sangat menghangat kali ini. Aliran kecil pun juga tak bisa ia bendung dari ujung pelupuk mata miliknya.

“Bunda juga sayang sama Biru. Sangatt sayang sekali. Biru itu dunianya bunda. Cinta Bunda ke Biru juga besarr sekali melebihi cinta Bunda ke ayah Jeff. Jadi, Biru harus janji sama Bunda okay? Nanti, ada atau nggak ada Bunda di samping Biru, Biru tetap harus bahagia. Soalnya Bunda ngga akan pernah ninggalin Biru karena tempat Bunda ada disini...”

Lily menjeda ucapannya. Ia membawa tangan Biru ke arah dada mungil anak itu.

”...Bunda selalu bersama Biru disini. Di hati Biru.”

CITTTT BRAAKKK!!!!!

Usai mengucapkan kalimat itu. Waktu seolah berjalan sangat cepat memberikan perasaan terkejut tatkala posisi kedua tubuh yang saling berpelukan itu kini menjadi terbalik dengan latar kaca-kaca pecah yang berserakan dimana-mana.

Tubuh Lily terasa melemah. Meskipun pandangannya begitu berbayang. Dapat Lily lihat bahwa didepannya tubuh putranya itu nampak lebih mengenaskan. Separuh tubuh mungil itu kini tertindih oleh puing pintu mobil dan kaca. Darah bersimbah hampir menutupi seluruh tubuh mungilnya.

“Bi...ru..” Ingin Lily mengeluarkan suara untuk putranya itu, namun apadaya, dia sendiri tak memiliki kuasa.

Lily menangis. Bukan hanya menangisi kehidupannya melainkan kehidupan kecil milik malaikatnya. Tak ada apapun yang bisa Lily lakukan selain merapal harap dalam hati. Doa segenap hati dengan rasa pinta yang luar biasa.

“Tuhan.. jika Engkau memang benar ada. Tolong.. selamatkan putraku. Kalau perlu, ambil hidupku untuk digantikan kepadanya. Tuhan..”

Lily terisak hebat tanpa bisa mengeluarkan suara. Darah yang mengalir dari kepalanya terasa seperti anakan sungai yang menemui hulu.

Lily terdiam. Hatinya semakin pasrah tatkala melihat mobil rusak yang menaunginya kini mengeluarkan asap.

“Lily!!!...”

Sebuah teriakan dengan suara familiar menyambangi telinga Lily seolah menjadi samudra di tengah gurun pasir.

Damar mencoba menarik pintu mobil dari sisi samping Lily, namun hasilnya terus nihil, tidak sejalan dengan api yang kian membesar.

“Bi..ru... tolong... titip... ” Lily terbata-bata. Tenggorokannya seperti enggan mengeluarkan suara.

“Ja...ngan.. tahu..je..ff. To..long..Biru. ka..sih.. ta..u .. ka..lau.. Bu..nda.. sa..yang.. Bi..ru..” Damar merasa dunianya hancur tatkala melihat wanita yang daridulu Ia cintai itu melemas. Mata wanita itu tertutup tepat setelah mengucapkan keinginannya.

Karena pintu dari sisi Lily tidak bisa dibuka, Damar langsung bergegas ke arah pintu satunya. Raut terkejut tidak bisa ia tutup tatkala melihat bagaimana kondisi putra dari wanita yang dia cintai itu begitu mengenaskan.

Berpacu dengan waktu, Damar menarik paksa pintu rusak itu.

“Biru!!”

DUARRRRR

“LILYYYYYY!!!”

Tepat setelah Damar menarik Biru keluar lewat jendela, mobil itu meledak.

Sore itu, segala kehilangan dalam kehidupan lelaki baik ini dimulai. Damar kehilangan cinta pertamanya. Dan Biru, anak itu kehilangan semuanya. Semestanya luruh seketika tatkala matanya tertutup sejenak. Hari itu juga, Biru kehilangan mentari yang selalu memberinya senyuman hangat. Kehilangan Laut yang selalu memberikannya kedamaian. Kehilangan semuanya. Pun kehilangan jiwanya sebagai Sabiru Adyatama.

-Sea

[Sakitnya Laut, Sakitnya Ayah]

“Loh Bang? Sendirian? Laut mana?” Tanya Damar saat melihat eksistensi putra sulungnya di ruang makan.

“Gatau. Tadi aku dari kebun belakang, Yah. Tanam semangka.” Jawab Arent sembari mencomot kripik di atas meja.

“Coba kamu cek du—–”

PRANGGG

Kedua mata Damar dan Arent langsung saling tatap. Dengan kecepatan kilat mereka berdua berlari menuju sumber suara.

Jantung Damar rasanya berdetak dengan sangat kencang. Apalagi saat melihat putra bungsunya itu bersimpuh di lantai ditemani pecahan gelas yang sepertinya baru saja terjatuh.

“Maaf, Ayah. A-aku cuman minum. Ta-tapi tangan sama kaki aku geter terus.” Laut menatap kosong ke arah tangan dan kaki palsunya itu.

“It's okay. Gapapa. Gak usah peduliin gelasnya. Adek gimana? Gak ada yang luka kan? Sini ayah bantu ke tempat tidur.” Damar mendekati Laut sembari menenangkan, sedangkan Arent nampak memegang sapu guna membersihkan pecahan gelas di kamar Laut.

Namun, belum sempat jantungnya berdetak selaras, suara Laut lebih dulu menghujamnya.

“A.. yah... sa..kiit.. rasanya sakit banget.. badan Laut kayak kepisah-pisah.. semuanya nyeri... a..yah... tolong.. tolongin Laut...” Isakan penuh kesakitan yang sering Damar dengar 10 tahun kebelakang ini nyatanya tak pernah membuat Damar terbiasa. Hatinya sakit, apalagi melihat raut puttanya yang penuh peluh, tanpa rona kehidupan.

“No.. jangan pingsan! Adek sadar! A.. ayah tolongin adek...tolong tetap disamping ayah..”

“Adek!!!” Arent mendekat membawa tissue, apalagi saat melihat cairan merah kental turun dari hidung bangir adiknya itu.

“Calm down, Laut. Inhale-exhale..” Arent memberi instruksi kepada Laut yang kini tampak kesulitan bernapas.

PTSD. Post Traumatic Stress Disorder. Ya, benar. Kecelakaan sepuluh tahun lalu tidak hanya merusak fisik Laut, tetapi juga mentalnya.

“Ayah! Do something! Ayah juga harus waras!” Arent menyentak Damar yang tampak hanyut dengan keadaan Laut.

Meskipun ia dokter hebat ternama, namun jika dihadapkan dengan kondisi Laut yang memburuk, akan membuat lelaki itu seakan menjadi bodoh. Selalu seperti itu. Lelaki paruh baya itu benar-benar mencintai Laut hingga seakan ia rela menggantikan posisi Laut yang begitu kesakitan.

“Ly.. tolong.. jangan .. jangan bawa Biru dari aku.. tolong..”

“Biru belum bahagia, Emilie. Biarkan dia bahagia disini ya sama aku? Aku janji akan jaga dia.. tolong Ly..” Damar bermonolog lirih sembari memasang nebulizer Laut.

Mata anak itu semakin sayu. Rasa kantuk mulai menyerangnya saat jalur napasnya telah terasa sedikit membaik.

“A..yah.. sa..kit... mau bunda..”

-Sea

[Rumah Ramah]

Gundukan itu nampak terawat. Jejak bunga yang masih segar seakan tak pernah hilang dari atas tanah berselimut rumput itu. Dua tahun berlalu, tetapi tidak memudarkan bayangan senyum sabit itu dari ingatan orang-orang yang ia tinggalkan dengan perasaan penuh rasa sesal.

“Je... Lo apakabar?” Lelaki berperawakan cilik itu terlihat duduk sendiri ditemani sepi.

“Udah dua tahun ternyata. Lo pergi dan gue lari karena gabisa ngeikhlasin lo buat pergi. Gue... pengecut ya, Je? Malah terbang ke China pas lo pulang. Saat itu, gue gak sanggup, Je. Gue denial atas kepergian lo, sosok yang udah gue anggep kaya keluarga gue sendiri. Kebetulan bokap dinas ke China dan akhirnya gue ngikut sekalian ngelanjutin sekolah di sana. Sorry ya, Je. Lo pasti udah lama banget kan mau denger gimana review opor lo?”

Pemuda itu terdiam sejenak. Setiap kata yang ia lontarkan selalu ia bersamai dengan senyuman pada bibirnya, meskipun titik air mata tak bisa berhenti dari sudut manik sipitnya.

“Opor lo.. opor lo enak, Je. Kuah opornya berasa banget. Apalagi sambelnya.. beuhh mantul pisan! Cuman Je, kayanya lo harus belajar cara bikin ketupatnya deh! Soalnya ketupat yang kemaren kamu buat belum mateng sempurna. Tapi gapapa. You did well!! Overall 8,5 per 10 ya, Je! Hehehe”

“Belajar lagi ya Je! Ehhhh jangan deh! Mending tidur aja yang nyenyak disana. Dulu kan Lo udah berjuang keras disini. Sekarang saatnya lo bener-bener istirahat aja disana.”

“Tenang ya, Je.. Semua orang yang nyakitin lo udah dapat balasannya masing-masing. Gue tahu, kalau Lo masih ada disini, mungkin Lo gabakal suka ngeliat gimana keadaan mereka saat ini. Tapi, Tuhan itu adil dan penyayang kan, Je? Tuhan sayang sama Lo, makanya Dia ambil Lo buat tidur di pangkuan-Nya. Sedang Ia juga Maha Adil, makanya lagi ngasih balasan setimpal buat keluarga Lo.”

“Lo mau tahu ga, Je? Kejayaan keluarga Lo udah abis. Orangtua lo masuk penjara atas penggelapan dana investor. Denger-denger sih cuman 7 tahun penjara. Tapi, seenggaknya bakalan sedikit jera gak sih, Je? Hehehe soalnya Bokap lo malah sakit. Dia pingsan saat sidang. Pembuluh darahnya pecah, sekarang dirawat sebagai pasien stroke yang bahkan mau buang air aja gabisa. Sedang nyokap ngelanjutin hukuman di penjara. Kalau abang-abang lo, tinggal marsel doang yang agak waras. Marshell jadi bahan bully di kampus barunya. Keluarga lo yang lain juga berantakan. Jefan sekarang jadi sosok yang gapernah sadar. Setiap kesadarannya muncul, dia selalu minum alkohol lagi biar mabok. Dan setiap dia tipsy, selalu nama lo yang disebut. Dan terakhir, Darren... Dia saat ini sekarat. Setelah percobaan bunuh diri yang mungkin udah ke puluhan kalinya. Setelah Lo pergi, dia mulai berhalusinasi bahwa ada Lo disampingnya. Setiap hari dia tertawa sendiri, mengobrol, dan bermain seolah-olah ada lo sebagai adik yang dia temani. Semenjak Marshell mencoba menyadarkannya atas kepergian Lo, Darren mulai berteriak-teriak kehilangan dan mencoba suicide. Akhirnya dia dibawa ke RSJ, ya meskipun akhirnya pun dia juga mencoba bunuh diri disana. “

“Je, Lo inget video yang lo buat dulu ga? Video itu ditonton seluruh keluarga Lo setelah mereka mengetahui apa yang salah. Kakak-kakak yang sangat Lo cintai itu akhirnya menangis dan semenyesal itu sama Lo, Je. Lihat! Sekarang mereka hancur kan atas kepergian, Lo? Jadi, Lo harus pergi dengan nyaman ya ! Gak ada lagi yang perlu Lo sesali disini, okay? Selamat jalan. Tidurlah nyenyak di rumah paling ramah, kawan.”

-Sea

[Dia Tidak Pergi]

Gelap. Satu kata yang melingkupi ruangan berukuran 6x6 tersebut. Perlahan, siluet seorang pemuda jakung menyembul dari balik tebalnya selimut. Tangannya meraih saklar lampu tamaram yang ada di belakang headboard tempat tidur.

Dengan gerakan yang nampak malas, pemuda itu berdiri mendekati jendela. Menyibak hordeng hingga membuat sinar mentari menembus jendela kaca itu.

Menatap ke arah mentari sejenak, pemuda itu lalu berbalik ke titik fokus di depan tempat tidur. Ia tersenyum menatap kamera digital yang kini merekam kegiatannya.

“Haiiiii haiii!!! Wellcome to my chanell!!! It's me, Jean! Hari ini, kita akan buat a day in my life ala-ala toktok gitu yaa. Hehehe. Kalian jangan bosen ya buat ikutin video ini. Paling cuman pendek kok karena Jean juga gatau mau ngerekam apa. Tapiii.. hari ini Jean akan masak besar buat besok hari raya. Tanpa buang waktu, Lesgoooo!!!”

Tawa renyah dilontarkan Jean hingga memunculkan bulan sabit diwajah mungilnya. Pucat pasi dan tubuh yang terlihat letih tampaknya tak menyurutkan semangat Jean kali ini.

Jean senang. Rasanya ia bahagia melakukan banyak hal untuk keluarganya. Apalagi khayalnya ketika melihat senyum abang miliknya mencicipi makanan buatannya, membuat api tubuhnya menggelora.

Dalam video itu, nampak Jean yang tengah membersihkan sisa merah pekat di hidungnya. Terkadang anak itu akan mencari jeda untuk duduk, meminjit pelipis, dan bernapas. namun akan memulai sesi sibuknya lagi dalam mengolah bahan dapur itu. Meskipun gurat lelah itu hampir memenuhi wajah tampannya, tapi senyum manisnya tak pernah hilang.

“Okaayyy dahh siap guysss. Ttaraaa~~ opor dan tetek bengeknya ala chef Jean!!” Ucapnya sedikit berteriak heboh di depan makanan yang telah di platting sedemikian rupa.

“Yang ini buat keluarga di rumah dan yang dibungkus of course buat bestie bestie laknatku wkwkw. JANGAN LUPA RIPIUWW BWANGG HAHAHAHAHA” Tawa itu masih tampak menggelegar sebelum beberapa notifikasi pesan masuk. Hamparan cerah di rautnya berubah mendung seketika.

“Yah, ternyata pada gabisa dateng hehehe.” Anak itu nampak tersenyum kecut sembari memperlihatkan pesan yang ia terima di depan kamera. Sorot mata terluka tak lepas dari manik Jean.

“Hehh Jean gaboleh negative thingking ah. Mungkin mereka lagi sibuk. Tapi pasti nanti kesini. Kita tunggu aja dehh” Anak itu bermonolog seolah kamera digital itu adalah teman miliknya.

Beberapa jam berlalu video itu terputar hanya menampilkan sosok Jean yang duduk termangu di meja makan. Menatap ke arah pintu, sembari menanti kehadiran beberapa orang yang begitu bermakna dihidupnya.

“Kalian lama. Jean capek nungguin nih. Kesel ahh!! Jean kesel sama papa, mama, abang!!!” Anak itu menggerutu persis seperti anak usia 5 yang sedang dijaili.

Dia masih sempat tersenyum sejenak sebelum senyum itu luntur saat menatap tumpukan makanan di meja yang masih belum tersentuh sama sekali.

Anak itu lalu berdiri, mengambil seporsi kecil opor raya buatannya.

“Selamat hari raya, papa, mama, abang-abang kesayangan Jean. Maafin kesalahan Jean, ya. Oh iya, Jean izin makan dulu ya. Kasian ini perut dari semalem gamau diisi apa-apa.”

Anak itu lalu menyendokkan ketupat ke mulutnya. Mengunyahnya tanpa rasa dan menelannya dengan berat. Meskipun bibir tipis itu mencoba tersenyum, namun aliran air tak henti terjun dari pelupuk mata miliknya.

“Jean udah selesai makan nih, guysss. Karena Jean capek banget, mari kita boti dulu alias bobo cantik di kamar hehehe.”

“Selanjutnya kita —hhuk- uhhuk.. argh..”

“Kamu aku pasang di sini dulu ya- hhuk uhhukk” Kalimat-kalimat yang Jean lontarkan terputus dengan batuk nyaring dan menyakitkan itu. Setelah batuk berkepanjangan itu nampaknya Jean kehabisan tenaga. Perlahan ia posisikan tubuhnya untuk tidur.

“Kayanya a day in my lifenya berubah jadi last day in my life ya hehhehe” Dengan napas tersengal, anak itu tampak mencoba bercanda ditengah kepayahan yang menimpanya.

“Pa...” “Ma...” “Mas..Bang.. Ka..kak..” Anak itu berhenti sejenak tanpa menghilangkan senyum pada garis bibir pucatnya.

“Jean ca..pek.. .. Dunia itu.. bikin lelah..” “Jean.. butuh.. rum..ah..” “...buat ti..dur...”

Mata sayu anak itu kini menatap lekat kamera. Mulutnya yang juga ia gunakan untuk bernapas, kini terdengar menggumamkan suara hati miliknya.

“Bukan pergi... tapi... Je..an pu..lang”

Mata itu perlahan tertutup, menghentikan bulir air mata diujung pelupuk. Senyum dibibirnya tak memudar meskipun tubuhnya telah kehilangan jiwa.

Ya, hari itu, Jeandra pergi. Ah bukan, dia bukan pergi melainkan pulang. Pulang kepada rumah yang selalu menerima kepulangannya. Rumah yang akan memberikan kebahagiaan baginya. Rumah terbaik dan paling ramah baginya.

-Sea

[Takut Kehilangan]

Jean meremat tangannya pelan guna meredakan kegugupannya. Ini adalah kali pertama ia akan bertemu dengan salah satu orangtua dari sahabatnya. Pengalaman ditolak yang ia miliki cukup memiliki pengaruh negatif pada pikirannya. Bagaimana jika bundanya Nendra tidak menyukainya? Bagaimana jika bundanya Nendra akan menyuruh Nendra menjauhinya? Oh ayolah, Jean benar-benar takut untuk menghadapi itu semua.

“Je, lo masih sakit? Keringetan gitu Lo” Renan yang memperhatikan Jean mulai bertanya, membuat kedua orang lainnya memberikan fokus pada Jean yang nampak pucat.

“Enggak. Gue cuman gugup”

“Kenapa?” Tanya Hanan

“Itu.. gue-”

Belum selesai ucapan Jean, lebih dulu seorang wanita paruh baya yang masih sangat cantik menghampiri mereka di ruang tamu sembari membawa nampan berisi macam-macam camilan rumahan.

“Haloo kesayangan Ibun, udah pada cuci tangan belum?” Wanita yang menyebut dirinya sebagai Ibun itu tersenyum ramah kepada keempat remaja di sana.

“Udah dong, kan mau makan masakan Ibun” Hanan menjawab disertai kerlingan mata.

“Heh babi, nggak usah nggoda nyokap gue cuih” Nendra menoyor kepala Hanan, membuat Renan dan Ibun terkekeh.

“Nendra, bahasanya!” Peringat Ibun.

“Iya bundaa.. maaf..” Wajah cemberut Nendra sukses membuat tawa di sana.

“Eh, ini nak Jean ya? Aduhh gantengnya anak baru bunda yang satu ini!” Bunda tersenyum, sembari mengelus puncak kepala Jean hingga membuat anak itu terkejut. Ada perasaan hangat yang tiba-tiba menjalar pada relungnya. Perasaan hangat yang membuatnya rindu kepada sosok ibu.

“Ha-halo tante” Jean menjawab Ana dengan sedikit canggung.

“Panggil bunda, dong! Masa tante. Ntar dikira tante ini sugar mommy lagi” Ana menanggapi Jean dengan candaan, berharap bahwa anak lelaki itu akan menemukan kenyamanannya.

“I-iya bunda”

“Jean saudaranya mirip-mirip kah sama Jean? Bunda pernah loh punya temen yang wajahnya mirip sama Jean”

“Oh iya?”

“He'em, namanya Damian. Damian Putra Bi-”

“Stop, Bun.” Nendra memutus obrolan Ana secara sepihak. Wajah yang tadinya tersenyum cerah seketika menjadi merah padam, sarat akan marah.

“Jangan pernah sebut nama salah satu keluarga itu lagi. Karena mereka, bunda sama aku hidup sengsara kayak gini. Mereka juga yang udah bunuh nenek. Mereka itu hanya kaya tetapi-”

“Berhenti, Nendra! Bunda nggak pernah ajarin Nendra buat bilang kaya gitu, kan?”

“Tetep aja,Bun. Nendra nggak bisa. Nendra benci banget lihat keluarga dari mereka! Gimana bisa mereka hidup tenang setelah menghancurkam kehidupan orang lain?”

Nendra menatap Ana dengan pandangan berkaca. Disisi lain, Jean berusaha keras memproses segala perkataan Nendra. Hati Jean berdenyut nyeri melihat betapa bencinya Nendra terhadap keluarganya. Saat ini, Nendra belum mengetahui siapa Jean. Jean dirundung perasaan takut saat ini. Bagaimana jika suatu saat nanti Nendra mengetahui fakta bahwa Jean itu salah satu bagian dari Binendra, apakah Nendra akan membencinya? Apakah Nendra akan meninggalkannya? Tuhan, Ia hanya tak ingin kehilangan lagi.. lalu menjadi sendirian lagi.


Sea

[Akhir, Penyesalan]

Gundukan tanah basah itu masih membuat betah beberapa orang disana. Gundukan tanah baru berlapis bunga itu benar-benar membuat banyak mata menangis karenanya.

“Jeno.. ayo pulang sama Bunda.. kemarin katanya mau bobok sama Bunda, hmm? Bunda kan belum bobok sama Jeno.” Anne menangis sembari mengelus nisan atas nama putra bungsunya itu.

Jeffri sendiri hanya diam menatap Anne yang nampak begitu menyedihkan. Gaun putihnya bahkan kini sudah berselimut tanah karena sudah lama terduduk didekat rumah baru putranya. Munafik rasanya jika ia tak merasakan sakit dan menyesal seperti Anne, karena nyatanya dahulu memang dahulu bukan Anne saja yang bersalah, tetapi ia juga.

“Ne, udah. Jeno udah bahagia di sana, Ne.” Krystal mencoba mengelus punggung Anne.

“Enggak. Jeno bilang dia bahagia sama aku. Dia seneng pelukan sama aku.. dia sendirian di dalam sana.. gimana bisa dia bahagia? Di..dia.. di..sana gelap kak.. nanti anakku kalau takut gimana? Kak.. disana nggak ada selimutnya.. kalau anakku kedinginan gimana?.. bawa Jeno balik.. bawa Jeno pulang ke aku.. ak..aku..aku janji nggak akan ngelukain dia lagi.. bawa Jeno balik.. bawa jeno pulang...” Tangisan Anne semakin menjadi membuat orang yang tertinggal disana merasakan sayatan pilu.

“Jeff.. lakuin sesuatu!” Krystal menyentak bahu adiknya. Sedangkan Jeffri hanya menggeleng pelan.

“Jeff nggak ikhlas mbak. Jeff pengen bawa Jeno pulang. Jeff belum jadi ayah yang baim buat dia. Jeff mau kesempatan sekali lagi. Tapi kenapa Tuhan nggak kasih kesempatan itu buat Jeff?” Bahu Jeffrian terlihat semakin bergetar. Membuat Krystal merengkuh tubuh Jeffrian.

“Mbak.. anak aku udah pergi ndahuluin aku. Anak aku pergi sebelum aku bilang ke dia kalau dia itu hadiah paling indah yang pernah ada di hidup aku. Anak aku pergi sebelum dia ngerasain gimana punya ayah yang baik. Aku..aku gagal mbak.. aku..aku nggak ikhlas Tuhan ambil Jeno.. Jeffrano itu anaknya Jeffrian... Mbak.. aku mau Jeno pulang bareng aku... ak..aku gagal jadi ayah.. aku gagal..” Jeffri menumpahkan segalanya.

Ya, begitulah kehidupan. Penyesalan selalu ada. Penyesalan selalu datang pada akhir dimana kita sudah tak dapat merubah setitik kejadian pun.


Sea