[Dia Tidak Pergi]

Gelap. Satu kata yang melingkupi ruangan berukuran 6x6 tersebut. Perlahan, siluet seorang pemuda jakung menyembul dari balik tebalnya selimut. Tangannya meraih saklar lampu tamaram yang ada di belakang headboard tempat tidur.

Dengan gerakan yang nampak malas, pemuda itu berdiri mendekati jendela. Menyibak hordeng hingga membuat sinar mentari menembus jendela kaca itu.

Menatap ke arah mentari sejenak, pemuda itu lalu berbalik ke titik fokus di depan tempat tidur. Ia tersenyum menatap kamera digital yang kini merekam kegiatannya.

“Haiiiii haiii!!! Wellcome to my chanell!!! It's me, Jean! Hari ini, kita akan buat a day in my life ala-ala toktok gitu yaa. Hehehe. Kalian jangan bosen ya buat ikutin video ini. Paling cuman pendek kok karena Jean juga gatau mau ngerekam apa. Tapiii.. hari ini Jean akan masak besar buat besok hari raya. Tanpa buang waktu, Lesgoooo!!!”

Tawa renyah dilontarkan Jean hingga memunculkan bulan sabit diwajah mungilnya. Pucat pasi dan tubuh yang terlihat letih tampaknya tak menyurutkan semangat Jean kali ini.

Jean senang. Rasanya ia bahagia melakukan banyak hal untuk keluarganya. Apalagi khayalnya ketika melihat senyum abang miliknya mencicipi makanan buatannya, membuat api tubuhnya menggelora.

Dalam video itu, nampak Jean yang tengah membersihkan sisa merah pekat di hidungnya. Terkadang anak itu akan mencari jeda untuk duduk, meminjit pelipis, dan bernapas. namun akan memulai sesi sibuknya lagi dalam mengolah bahan dapur itu. Meskipun gurat lelah itu hampir memenuhi wajah tampannya, tapi senyum manisnya tak pernah hilang.

“Okaayyy dahh siap guysss. Ttaraaa~~ opor dan tetek bengeknya ala chef Jean!!” Ucapnya sedikit berteriak heboh di depan makanan yang telah di platting sedemikian rupa.

“Yang ini buat keluarga di rumah dan yang dibungkus of course buat bestie bestie laknatku wkwkw. JANGAN LUPA RIPIUWW BWANGG HAHAHAHAHA” Tawa itu masih tampak menggelegar sebelum beberapa notifikasi pesan masuk. Hamparan cerah di rautnya berubah mendung seketika.

“Yah, ternyata pada gabisa dateng hehehe.” Anak itu nampak tersenyum kecut sembari memperlihatkan pesan yang ia terima di depan kamera. Sorot mata terluka tak lepas dari manik Jean.

“Hehh Jean gaboleh negative thingking ah. Mungkin mereka lagi sibuk. Tapi pasti nanti kesini. Kita tunggu aja dehh” Anak itu bermonolog seolah kamera digital itu adalah teman miliknya.

Beberapa jam berlalu video itu terputar hanya menampilkan sosok Jean yang duduk termangu di meja makan. Menatap ke arah pintu, sembari menanti kehadiran beberapa orang yang begitu bermakna dihidupnya.

“Kalian lama. Jean capek nungguin nih. Kesel ahh!! Jean kesel sama papa, mama, abang!!!” Anak itu menggerutu persis seperti anak usia 5 yang sedang dijaili.

Dia masih sempat tersenyum sejenak sebelum senyum itu luntur saat menatap tumpukan makanan di meja yang masih belum tersentuh sama sekali.

Anak itu lalu berdiri, mengambil seporsi kecil opor raya buatannya.

“Selamat hari raya, papa, mama, abang-abang kesayangan Jean. Maafin kesalahan Jean, ya. Oh iya, Jean izin makan dulu ya. Kasian ini perut dari semalem gamau diisi apa-apa.”

Anak itu lalu menyendokkan ketupat ke mulutnya. Mengunyahnya tanpa rasa dan menelannya dengan berat. Meskipun bibir tipis itu mencoba tersenyum, namun aliran air tak henti terjun dari pelupuk mata miliknya.

“Jean udah selesai makan nih, guysss. Karena Jean capek banget, mari kita boti dulu alias bobo cantik di kamar hehehe.”

“Selanjutnya kita —hhuk- uhhuk.. argh..”

“Kamu aku pasang di sini dulu ya- hhuk uhhukk” Kalimat-kalimat yang Jean lontarkan terputus dengan batuk nyaring dan menyakitkan itu. Setelah batuk berkepanjangan itu nampaknya Jean kehabisan tenaga. Perlahan ia posisikan tubuhnya untuk tidur.

“Kayanya a day in my lifenya berubah jadi last day in my life ya hehhehe” Dengan napas tersengal, anak itu tampak mencoba bercanda ditengah kepayahan yang menimpanya.

“Pa...” “Ma...” “Mas..Bang.. Ka..kak..” Anak itu berhenti sejenak tanpa menghilangkan senyum pada garis bibir pucatnya.

“Jean ca..pek.. .. Dunia itu.. bikin lelah..” “Jean.. butuh.. rum..ah..” “...buat ti..dur...”

Mata sayu anak itu kini menatap lekat kamera. Mulutnya yang juga ia gunakan untuk bernapas, kini terdengar menggumamkan suara hati miliknya.

“Bukan pergi... tapi... Je..an pu..lang”

Mata itu perlahan tertutup, menghentikan bulir air mata diujung pelupuk. Senyum dibibirnya tak memudar meskipun tubuhnya telah kehilangan jiwa.

Ya, hari itu, Jeandra pergi. Ah bukan, dia bukan pergi melainkan pulang. Pulang kepada rumah yang selalu menerima kepulangannya. Rumah yang akan memberikan kebahagiaan baginya. Rumah terbaik dan paling ramah baginya.

-Sea