[Sakitnya Laut, Sakitnya Ayah]
“Loh Bang? Sendirian? Laut mana?” Tanya Damar saat melihat eksistensi putra sulungnya di ruang makan.
“Gatau. Tadi aku dari kebun belakang, Yah. Tanam semangka.” Jawab Arent sembari mencomot kripik di atas meja.
“Coba kamu cek du—–”
PRANGGG
Kedua mata Damar dan Arent langsung saling tatap. Dengan kecepatan kilat mereka berdua berlari menuju sumber suara.
Jantung Damar rasanya berdetak dengan sangat kencang. Apalagi saat melihat putra bungsunya itu bersimpuh di lantai ditemani pecahan gelas yang sepertinya baru saja terjatuh.
“Maaf, Ayah. A-aku cuman minum. Ta-tapi tangan sama kaki aku geter terus.” Laut menatap kosong ke arah tangan dan kaki palsunya itu.
“It's okay. Gapapa. Gak usah peduliin gelasnya. Adek gimana? Gak ada yang luka kan? Sini ayah bantu ke tempat tidur.” Damar mendekati Laut sembari menenangkan, sedangkan Arent nampak memegang sapu guna membersihkan pecahan gelas di kamar Laut.
Namun, belum sempat jantungnya berdetak selaras, suara Laut lebih dulu menghujamnya.
“A.. yah... sa..kiit.. rasanya sakit banget.. badan Laut kayak kepisah-pisah.. semuanya nyeri... a..yah... tolong.. tolongin Laut...” Isakan penuh kesakitan yang sering Damar dengar 10 tahun kebelakang ini nyatanya tak pernah membuat Damar terbiasa. Hatinya sakit, apalagi melihat raut puttanya yang penuh peluh, tanpa rona kehidupan.
“No.. jangan pingsan! Adek sadar! A.. ayah tolongin adek...tolong tetap disamping ayah..”
“Adek!!!” Arent mendekat membawa tissue, apalagi saat melihat cairan merah kental turun dari hidung bangir adiknya itu.
“Calm down, Laut. Inhale-exhale..” Arent memberi instruksi kepada Laut yang kini tampak kesulitan bernapas.
PTSD. Post Traumatic Stress Disorder. Ya, benar. Kecelakaan sepuluh tahun lalu tidak hanya merusak fisik Laut, tetapi juga mentalnya.
“Ayah! Do something! Ayah juga harus waras!” Arent menyentak Damar yang tampak hanyut dengan keadaan Laut.
Meskipun ia dokter hebat ternama, namun jika dihadapkan dengan kondisi Laut yang memburuk, akan membuat lelaki itu seakan menjadi bodoh. Selalu seperti itu. Lelaki paruh baya itu benar-benar mencintai Laut hingga seakan ia rela menggantikan posisi Laut yang begitu kesakitan.
“Ly.. tolong.. jangan .. jangan bawa Biru dari aku.. tolong..”
“Biru belum bahagia, Emilie. Biarkan dia bahagia disini ya sama aku? Aku janji akan jaga dia.. tolong Ly..” Damar bermonolog lirih sembari memasang nebulizer Laut.
Mata anak itu semakin sayu. Rasa kantuk mulai menyerangnya saat jalur napasnya telah terasa sedikit membaik.
“A..yah.. sa..kit... mau bunda..”
-Sea