[Hari saat Kehilanganmu]

“Bunda!!! Bilu seneng soalnya akhilnya Bilu pulang dali lumah sakit yeyyy!!” Dengan wajah yang masih pucat, anak itu tampak menebar senyum cerianya.

“Biru senang bisa pulang dari rumah sakit?” Lily tersenyum hangat sembari mengelus rambut lembut putranya itu.

“Hu'um. Soalnya kata yayah, yayah janji belikan Bilu mainan banyak-banyak, telus kita bakal pelgi piknik hihihi. Bilu senanggg sekali” Anak itu cekikikan sembari mengingat bagaimana Jeff yang datang tiba-tiba kemarin sembari menawarkan janji-janji indah kepadanya.

Lily tersenyum senang melihat betapa antusias putranya ini. Andaikan, Jeff berubah seperti ini dari dulu, mungkin Biru akan menjadi anak paling bahagia.

“Loh Pak Man? Kok bukan lewat jalan biasanya?” Tanya Lily saat menyadari jalan yang mereka tempuh bukan jalan yang biasanya.

“Iya Bu. Tadi kata Bapak, jalan yang biasanya itu lagi diperbaiki, makanya beliau nyuruh saya lewat sini.”

Lily hanya mengangguk menanggapi Pak Man, supir kepercayaan keluarga Adyatama.

Aneh. Tidak ada apapun saat ini. Birunya juga tampak bahagia. Namun, mengapa hati lily terus merasa gelisah?

Lima belas menit berlalu, terasa sangat sebentar bagi lily yang kini tengah menikmati tawa kecil putranya itu.

“Bunda? Bunda kenapa dalitadi liatin Bilu?” Tanya Biru kecil saat menyadari bahwa sedari tadi atensi Lily hanya diberikan kepadanya.

“Engga papa. Bunda suka lihat Birunya Bunda bahagia.” Lily menjawab sembari mengusap rambut lembut Sabiru.

“Bunda.. bunda tau ndak?” Biru menatap Lily dengan manik kecilnya.

“Di dunia ini, sebenalnya Bunda adalah olang favolit Bilu” Biru tersenyum hangat sembari melanjutkan perkataannya yang terpotong.

“Maafin Bilu ya Nda? Bilu tahu, Bunda suka malahan sama yayah soalnya Bilu seling ngomong kalau kangen yayah. Tapi.. Bilu mau bunda tau kalau sayangnya Bilu ke Bunda itu guedeeeeee buangettt hihihihi” Anak itu kembali membawakan tawa renyahnya.

Tak sampai disitu, Biru menarik tangan Lily. Mengelusnya pelan. Lalu tiba-tiba mendorongkan tubuh mungilnya dalam dekapan Lily.

“Bilu udah biasa kalau ndak ada yayah. Tapi Bilu kayaknya bakalan nangis telus kalau ndak ada Bunda. Soalnya Bunda Lily itu kesayangan Bilu belatus latus tlilyun.”

Lily tersenyum. Hatinya sangat menghangat kali ini. Aliran kecil pun juga tak bisa ia bendung dari ujung pelupuk mata miliknya.

“Bunda juga sayang sama Biru. Sangatt sayang sekali. Biru itu dunianya bunda. Cinta Bunda ke Biru juga besarr sekali melebihi cinta Bunda ke ayah Jeff. Jadi, Biru harus janji sama Bunda okay? Nanti, ada atau nggak ada Bunda di samping Biru, Biru tetap harus bahagia. Soalnya Bunda ngga akan pernah ninggalin Biru karena tempat Bunda ada disini...”

Lily menjeda ucapannya. Ia membawa tangan Biru ke arah dada mungil anak itu.

”...Bunda selalu bersama Biru disini. Di hati Biru.”

CITTTT BRAAKKK!!!!!

Usai mengucapkan kalimat itu. Waktu seolah berjalan sangat cepat memberikan perasaan terkejut tatkala posisi kedua tubuh yang saling berpelukan itu kini menjadi terbalik dengan latar kaca-kaca pecah yang berserakan dimana-mana.

Tubuh Lily terasa melemah. Meskipun pandangannya begitu berbayang. Dapat Lily lihat bahwa didepannya tubuh putranya itu nampak lebih mengenaskan. Separuh tubuh mungil itu kini tertindih oleh puing pintu mobil dan kaca. Darah bersimbah hampir menutupi seluruh tubuh mungilnya.

“Bi...ru..” Ingin Lily mengeluarkan suara untuk putranya itu, namun apadaya, dia sendiri tak memiliki kuasa.

Lily menangis. Bukan hanya menangisi kehidupannya melainkan kehidupan kecil milik malaikatnya. Tak ada apapun yang bisa Lily lakukan selain merapal harap dalam hati. Doa segenap hati dengan rasa pinta yang luar biasa.

“Tuhan.. jika Engkau memang benar ada. Tolong.. selamatkan putraku. Kalau perlu, ambil hidupku untuk digantikan kepadanya. Tuhan..”

Lily terisak hebat tanpa bisa mengeluarkan suara. Darah yang mengalir dari kepalanya terasa seperti anakan sungai yang menemui hulu.

Lily terdiam. Hatinya semakin pasrah tatkala melihat mobil rusak yang menaunginya kini mengeluarkan asap.

“Lily!!!...”

Sebuah teriakan dengan suara familiar menyambangi telinga Lily seolah menjadi samudra di tengah gurun pasir.

Damar mencoba menarik pintu mobil dari sisi samping Lily, namun hasilnya terus nihil, tidak sejalan dengan api yang kian membesar.

“Bi..ru... tolong... titip... ” Lily terbata-bata. Tenggorokannya seperti enggan mengeluarkan suara.

“Ja...ngan.. tahu..je..ff. To..long..Biru. ka..sih.. ta..u .. ka..lau.. Bu..nda.. sa..yang.. Bi..ru..” Damar merasa dunianya hancur tatkala melihat wanita yang daridulu Ia cintai itu melemas. Mata wanita itu tertutup tepat setelah mengucapkan keinginannya.

Karena pintu dari sisi Lily tidak bisa dibuka, Damar langsung bergegas ke arah pintu satunya. Raut terkejut tidak bisa ia tutup tatkala melihat bagaimana kondisi putra dari wanita yang dia cintai itu begitu mengenaskan.

Berpacu dengan waktu, Damar menarik paksa pintu rusak itu.

“Biru!!”

DUARRRRR

“LILYYYYYY!!!”

Tepat setelah Damar menarik Biru keluar lewat jendela, mobil itu meledak.

Sore itu, segala kehilangan dalam kehidupan lelaki baik ini dimulai. Damar kehilangan cinta pertamanya. Dan Biru, anak itu kehilangan semuanya. Semestanya luruh seketika tatkala matanya tertutup sejenak. Hari itu juga, Biru kehilangan mentari yang selalu memberinya senyuman hangat. Kehilangan Laut yang selalu memberikannya kedamaian. Kehilangan semuanya. Pun kehilangan jiwanya sebagai Sabiru Adyatama.

-Sea