[Hilang Lagi]
Jean membuka matanya kala mendengar knop pintu yang berputar. Senyum tipis langsung terpancar dari wajahnya kala netranya menangkap ketiga orang yang memasuki kamarnya itu.
“Udah, tiduran aja kalau belum kuat buat duduk.” Renan berucap saat matanya menangkap raut Jean yang sedikit kepayahan untuk duduk.
“Lo sakit apa? Sampai di infus gini dirumah?” Hanan mulai menelisik. Jiwa keponya seakan berkembang ketika melihat keadaan Jean.
“Emang separah itu ya tonjokan Rayyan? Kok gue baru sadar sih kalau lebamnya sebanyak ini?” Kini giliran Nendra yang menyahut.
“Enggak papa. Gue baik. Ya cuman capek aja. Emang jatahnya sakit kali” Jawab Jean sembari tersenyum hingga menerbitkan bulan sabit pada wajahnya.
“Oh iya, sorry ya. Cuman ada makanan itu. Kalau kurang pesen aja pakai hp gue.” Suara parau Jean melanjutkan percakapan.
“Ini udah banyak banget anjir” Hanan menjawab sembari mengangkat beberapa plastik yang ia tenteng dari meja makan Jean.
“Lo kalau ada apa-apa tuh ya, ngomong bege. Nggak tiba-tiba ilang kayak perawan ngambek.” Nendra mulai berceramah selayaknya ibu-ibu, sedangkan yang dicerca hanya meringis.
Ceramah itu berlangsung tak terlalu lama karena setelahnya, mereka mulai bercerita random tentang hal-hal lucu sembari memainkan PS yang ada di kamar Jean.
Sore itu, setelah sekian lama, akhirnya rumah ini terasa hidup lagi karena adanya ketiga sahabat barunya. Sebercak rasa hangat pun juga mulai menjalar dalam hati Jean. Sembari merekam jejak tawa kawannya, Jean berharap jika rasa bahagia ini akan menetap pada hatinya untuk waktu yang lebih lama.
Terkadang, harap hanya akan menjadi harap. Begitupun tentang harapan yang Jean labuhkan beberapa saat yang lalu.
“Jean!” Suara bass memanggil namanya dari luar, membuat keempat orang di sana berhenti melakukan aktivitasnya masing-masing.
“Kalian di sini dulu. Gue keluar dulu.” Jean berucap sembari mencabut paksa infus yang tadi merekat pada tangannya.
“Jean anjir itu darah lo netes!” Hanan membelalakkan matanya terhadap apa yang Jean lakukan.
“Gak papa. Gue duluan, bentar kok.” Jean sendiri mulai melangkahkan kakinya meskipun dengan cara jalan yang terseok-seok.
“Papa? Papa apa kabar? Mau Jean bikinin kopi nggak?” Jean tersenyum cerah ketika melihat siapa yang duduk di sofa ruang tamu.
“Duduk!” Lelaki yang dipanggil papa itu menjawab salam manis Jean dengan tatapan yang penuh akan intimidasi.
“Papa, Jean kangen banget deh sama Papa. Kemarin waktu Jean ke rumah Pa-”
“Kamu sakit?” Tanya Damian tiba-tiba, membuat hati Jean sedikit berbunga karena merasa diperhatikan.
“Nggak papa kok, Pa. Jean cuman—”
Bugh!!!
Bukan pelukan, melainkan bogeman dari Damian tiba-tiba sudah mendarat di wajah Jean, membuat kepala Jean yang tadi sedikit pening malah semakin berputar.
“Pa-”
“GARA-GARA KAMU, ANAK SAYA SAKIT! RAYYAN MASUK RUMAH SAKIT!” Suara Damian menggelegar diseluruh penjuru ruang.
Hati Jean mencelos ketika mendengar kalimat Damian. Ternyata, lelaki itu datang bukan untuk sekadar bertanya bagaimana kabarnya, tetapi hanya untuk memberikan penghakiman, seperti kakak-kakaknya yang lain.
“Pa.. sekali aja.. papa nggak bisa ya liat Jean? Jean juga sakit, Pa..” Suara Jean terdengar parau. Matanya sudah siap untuk meneteskan air mata.
“Saya nggak peduli. Yang jelas, Jangan pernah lagi kamu dekati anak-anak saya, termasuk Rayyan.”
“Kenapa? Kenapa harus Jean? KENAPA, PA?!” Jean sedikit berteriak ketika merasa tak sanggup lagi dengan perkataan Damian.
“Kenapa harus kamu? Harusnya kamu yang paling mengerti tentang alasan itu. Apa tidak cukup dengan berhasil membunuh Tian? Apa tidak cukup sehingga kamu mau membunuh putra saya yang lain? KAMU ITU TIDAK LEBIH DARI SEKEDAR SAMPAH PEMBAWA SIAL DI KELUARGA SAYA! HARUSNYA WAKTU ITU KAMU TIDAK PERLU LAHIR! HARUSN-”
Bughhh!! Bughh!! Bughh!!
Suara tonjokan bertubi-tubi berhasil meredam suara Damian. Bukan, bukan Jean yang memukul Damian, tetapi Samuel.
“Gue bertanya-tanya darimana asal sikap sampahnya Jevan, ternyata ajaran bapaknya sendiri”
“Gak usah sok menasehati. Lo sendiri bukan ayah yang baik. Buktinya sampai sekarang belum ketemu kan sama anak dan istri lo. Mikir, Sam! Jean anak gue, dan gue berhak atas hidup dia!”
“Siapa lo? Tuhan? Lo nggak lebih dari salah satu makhluk yang nggak sengaja Tuhan kasih harta berlimpah. Dan itu doang. Selebihnya, karakter lo kayak Tai. Lo nggak berhak nentuin hidup Jean! Semua tentang Tian itu kesalahan Lo sama Tania, bukan Jean! In case kalau lo lupa”
“BANGSAT LO, SAM-”
Jean hanya bisa menatap pemandangan ayah dan kembarannya itu bertengkar. Kepalanya semakin terasa berputar. Apalagi ketika ia selalu mendengar nama Tian dalam semua kekacauan ini. Sebenarnya, siapa Tian? Kenapa semua ini menjadi seperti ini? Memikirkan namanya saja membuat kepala Jean seperti terasa pecah.
“Sshh..” Tanpa sadar, anak itu mulai merintih. Kesadarannya nampak mulai terbang, berbanding terbalik dengan tubuhnya yang kian merosot.
“Jean!” Samuel terkejut melihat tubuh Jean yang tiba-tiba meluruh.
“Jean? Jean hey! Jangan tutup matanya! Jean!” Samuel mulai menepuk-nepuk pipi Jean, sedangkan Damian hanya menatap kejadian itu dengan pandangan acuh tak acuh.
“Shh.. u..dah... jangan berantem sa..ma pa..paa.. Papa gak sa..lah.. yang salah Je..an...” Kalimat itu berhasil menjadi kalimat terakhir sebelum kesadaran Jean benar-benar terenggut.
Sea