[Sesal Milik Darel]
Lelaki berbalut jas hitam itu menarik kasar tangan kurus dibelakangnya untuk memasuki kamar diujung lantai.
“JEANDRA!” Suara keras itu menguar memenuhi seluruh penjuru ruang.
PLAK! Satu kali tamparan.
PLAK!!! Tamparan kedua telah berhasil mendarat di wajah yang penuh lebam itu.
Hampir tangan itu melayang untuk ketiga kalinya, namun kemudian dihempaskan kasar oleh empunya.
“Berapa kali Mas bilang untuk tidak memalukan wajah mas?! BERAPA KALI?!” Darrel berteriak tepat di depan wajah adiknya yang kini tengah diam menunduk.
“Kamu itu bisa nggak sih sekali aja banggain keluarga? Kelakuan kayak berandalan. Mau jadi apa kamu? Jadi preman? Iya?!”
“Seenggaknya kalau kamu nggak berguna, cukup jangan ngerugiin yang lain, bisa?” Darrel mengucapkan kalimat menyakitkan itu dengan penuh penekanan.
“Apalagi ini Rayyan. Rayyan itu saudara kamu, Jean! Bisa-bisanya kamu menyakiti dia seperti ini.”
“Kenapa selain nggak punya otak, kamu juga nggak punya rasa persaudaraan sama sekali?! Benar kata Jevan, Kamu itu cuman anak pembawa sial yang nggak tau diuntung!”
“Terus Mas pengen Jean kayak gimana?” Jean mulai membalas, setelah sumpah serapah Darrel keluar banyak.
“Mas pengen aku diem aja saat dikeroyok gengnya rayyan sampai aku mati gitu? Oh iya lupa. Itu kan yang kalian pengen? Kalian cuman pengen Jean cepet-cepet lenyap dari dunia ini. Kenapa nggak bunuh Jean aja daridulu? Toh Jean nggak pernah diinginkan kan di sini?”
Jean melanjutkan, suaranya terdengar bergetar meski ia sampaikan dengan kekehan pelan. Sedangkan di seberang matanya, Darrel menatap Jean dengan pandangan tak percaya. Rasa kesalnya kini benar-benar meledak tergantikan oleh amarah yang membara.
PLAKK!!!
“TIDAK TAU DIRI! Bisa-bisanya kamu bicara seperti itu setelah saya berikan kamu kehidupan seperti ini? Bisa-bisanya kamu berbicara seperti itu di depan saya yang sudah mau menampung pembunuh sialan seperti kamu!” Sangat datar. Suara yang sangat datar sari Darrel, bahkan disertai dialog 'saya'.
“Kamu harusnya bersyukur! Kalau bukan karena Bang Tian, Mana sudi saya mau menampung pembunuh sepertimu? Harusnya kamu cukup sadar diri anak sialan.”
Setelah itu, Darrel mendekat kearah 'adiknya' itu. Tangannya menangkup kasar wajah penuh luka itu.
“Tidur disini selama skorsing kamu berlangsung. Dan jangan harap kamu bisa berteman lagi dengan bajingan-bajingan kecil yang membawa arus buruk ini.”
“Satu lagi. Percayalah, Jika pada akhirnya saya tahu bahwa kamu tetap menjadi bajingan sialan seperti ini, hari itu lebih baik saya membiarkanmu mati. Saya menyelamatkanmu waktu itu, dan kini saya menyesalinya.”
Sea