[Jean dimata Marsel]
Mentari pagi menyinar begitu terik. Suasana lapangan sekolah itu mulai tampak ramai meskipun Pak Jono —selaku guru BK— tengah berdiri di mimbar upacara dengan alunan ceramah panjangnya.
Bagaimana untuk tak kondusif ? Pak Jono sudah memulai ceramahnya sejak empat puluh lima menit yang lalu, hingga membuat telinga siswa terasa kebas.
Diantara barisan-barisan itu, nampak satu kelas yang kini mulai cukup tidak beraturan. Di sana, nampak seorang siswa bertubuh gempal dengan kulit tan yang terus-terusan berperang kaki dengan pemuda berperawakan mungil disampingnya.
“Hanan anjir lo! Jangan injek kaki gue mulu” Pemuda bername tag Renan Juanda itu mulai nampak terganggu, sedangkan pemuda tan yang disebut sebagai Hanan itu malah terkikik.
“Jangan kenceng-kenceng, ntar kedengeran Sosisnya” Salah satu pemuda yang berbaris dibelakang kedua orang itupun nampak memperingati.
Sedangkan, diantara ketiga orang disana, ada satu orang yang ikut terjebak dalam anak-anak nakal itu. Dia adalah Jean, lelaki yang kini berdiri di belakang kedua orang tadi, tepatnya di samping pemuda lain yang bernama Nendra.
Bukan Hanan namanya kalau akan menyerah untuk mengacau, ia masih mencoba mengganggu Renan, padahal ia tahu kalau Renan itu mudah sekali mele....
“ANJING!!!”
dak.....
Suasana tak kondusif di lapangan menghening seketika. Semua mata kini nampak tertuju pada keempat pemuda di sana.
“Suara siapa tadi?!” Itu Pak Jono, ia bertanya dingin lewat microphone.
“Tolong pihak OSIS segera ditangani kekacauan ini.” Pak Jono kembali berucap. Mengingat ini adalah hari pertama peserta didik baru hadir, ia tidak ingin turun tangan langsung hari ini.
“Buat kepala empat biji tadi, keluar dari barisan!” Kakak kelas dari pihak OSIS mulai mengerubungi barisan tadi, menjalankan instruksi dari Pak Jono.
“Heh! Kamu ngapain?! Keluar!” Suara serak basah itu cukup menggelegar. Membuat beberapa kelas menatap ke arahnya.
Semua nampak diam menatap pemuda yang tak beranjak mengikuti ketiga kawannya yang lain.
“Saya, kak?” Tanyanya saat bahu kanannya disenggol.
“Iya kamu!”
“Tapi saya nggak salah kak.” Jean mulai membela diri.
“Alasan saja kamu. Keluar dari barisan!” Salah seorang perempuan berjas resmi OSIS itu mulai menimpali perkataan sebelumnya.
“Tapi saya benar-benar tidak melakukan kesalahan. Saya bahkan tidak mengenal ketiga orang tadi.” Jean berusaha tenang, meskipun sebenarnya ia sedikit gemetar. Ia tak suka menjadi bahan tontonan seperti ini, apalagi memperlihatkan dirinya yang tengah dimarahi seperti ini.
“Kenapa ramai-ramai?” Seorang dengan suara yang familiar di telinga Jean, datang menghampiri gerombolan OSIS disana.
“Sorry Mars, tapi dia bebal banget. Udah disuruh baik-baik malah nggak mau nurut. Berandalan banget.” Wanita dengan kuncir kuda itu mengadukan sikap adik kelasnya pada Marsel, seorang yang cukup disegani di OSIS.
Marsel menatap wajah teduh itu dengan tatapan yang sangat tajam, hingga membuatnya menunduk. Dengan perlahan, Marsel mendekati Jean, kemudian menarik kasar tangan Jean yang terasa dingin dan berkeringat itu.
“Keluar.dari.barisan.sekarang.ju.ga.”
Telak. Selalu seperti ini. Suara yang Jean harap dapat ia dengar menyapanya dalam keadaan lembut, malah membuatnya merasa terintimidasi setengah mati.
“Baru sehari belum usai aja udah melakukan hal yang memalukan. Memang ya, nggak ada yang bisa diharapin dari orang kaya kamu, dek.”
Pelan sekali suara Marsel pada telinga Jean, tetapi begitu berhasil menusuk hati dari pemuda yang kini berusaha menahan tangisannya itu.
Mungkin benar kata Marsel. Seseorang sepertinya tak layak untuk diharapkan. Tak layak untuk bahagia, atau bahkan tak layak untuk hidup.
Sea