[Berat, ya?]
Disinilah Jean berada sekarang. Di samping danau yang nampak tenang, ditemani dengan dinginnya angin malam serta segelas susu cokelat yang masih nampak mengepul. Sungguh menenangkan.
Sejenak, pandangannya ia arahkan ke arah danau, lalu kembali lagi ia arahkan kepada ketiga kawannya yang kini tengah sibuk bermain kartu di depannya. Senyumnya pun kadang juga ikut mengembang ketika melihat teman-temannya itu saling lempar candaan hingga umpatan yang masih dalam batas wajar.
“Lo ngapa liat doang? Ikut maen sini!” Ucap Hanan.
“Tau tuh, daritadi cuman senyam-senyum, abis itu liatin danau, terus senyum lagi, kayak sok-sok an galau lo,” Renan ikut berkomentar.
Sudah tiga bulan lebih sejak pertemuan Jean dengan ketiga orang yang saat ini telah menjadi temannya itu. Seiring berlalunya waktu, Ia jadi paham betul bagaimana watak dari teman-temannya itu.
Hanan, lelaki berkulit tan itu merupakan orang yang humoris dibalik kecenderungannya yang suka melakukan hal-hal yang cukup “ekstream”. Ia sendiri bukanlah lelaki yang takut akan sesuatu ketika ia merasa kelakuannya sudah dijalan yang benar. Kedua adalah Renan. Lelaki bertubuh mungil itu diberkahi dengan mulut berlebih dan kapasitas tahan emosi yang tipis. Ia cukup mudah untuk meledak, juga lelaki yang paling sensitif di sini. Meskipun begitu, ia merupakan pendengar dan penyuport yang baik diantara ketiganya. Dan yang terakhir adalah Nendra. Lelaki yang cukup abstrak menurut Jean. Ada kalanya Ia akan menjadi seorang yang kalem, namun ada kalanya juga ia menjadi seorang yang aneh. Entahlah, Ia adalah lelaki terandom, namun memiliki hati yang paling peka.
“Lah sempak! Malah diem aja nih bocah. WOY!!!” Teriak Renan di depan telinga Jean.
“Ass-astaghfirullah! Budek gue bentar lagi.” Jean menatap Renan dengan pandangan menyebalkan.
“Lo mikirin apa sih? Dari tadi bengong terus.” Nendra ikut menimpali.
“Gak ada”
“Yakin?” Hanan menatap mata Jean lurus.
“Gue cuman mikir, kok bisa ya kita jadi temen kayak gini.” Jean menatap ketiga temannya sambil terkekeh.
“Takdir” Hanan menjawab singkat.
“Takdir baik karena hidup yang buruk, ya? Wkwkw” Lagi dan lagi, Jean terkekeh. Membuat ketiga temannya tahu bahwa lelaki dengan mata bulan sabit itu tengah dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
“Tuhan nggak sejahat itu kok. Gak ada hidup yang buruk. Cuman kurang baik aja, dari perspektif kita.” Renan tersenyum halus sambil menepuk bahu Jean pelan.
“Ya kadang emang bangsat tapi yaudahlah ya? Mau gimana lagi? Meskipun hidup seanjing ini tapi kita harus bersyukur kan dikasih kehidupan dimana kita enggak perlu mikir besok ada uang atau enggak buat makan?” Hanan juga ikut berkomentar dengan pembawaannya yang khas.
“Je, lo ada cerita apa? Sini bagi ceritanya ke kita. Even kita gak bisa mengubah hidup lo, seenggaknya kita bisa bantuin lo melewati itu.”
Bukannya bercerita, perkataan Nendra justru membuat Jean menunduk. Lelaki itu nampak meremat tangannya kuat, sedangkan bahunya terlihat sedikit bergetar.
“Hidup itu.... berat ...ya..?”
Sea