[Belum Cukup Baik]

Darrel menatap lekat kearah pemuda yang kini berbalut selimut tebal disertai kompresan pada dahinya. Wajahnya nampak merah karena suhu tubuhnya yang begitu tinggi dan jangan lupakan beberapa luka lebam yang ada disana.

“Nggak gini kalau kamu mau didik adik kamu.” Seorang lelaki berkepala empat itu membuka suara.

“Om tahu kamu mungkin nggak suka lihat Jean terlibat perkelahian, tapi apa pantas kamu pukul dia, kurung dia di gudang yang engap kayak gitu, bahkan nggak kamu kasih makan dua hari. Itu salah, Darrel!”

“Maaf, Om Sam. Darrel lupa.”

“Bisa-bisanya kamu lupa tentang hal yang menyangkut nyawa. Kalau tadi Om nggak ke sini, kapan kamu bakal inget Jean? Tau-tau ingetnya kalau udah kecium bau bangkai dari gudang.” Lelaki bernama Samuel itu sedikit memberikan kalimat sarkas pada keponakannya.

“Udah sih Om, Toh juga bocahnya nggak jadi mati, kan?” Jevan yang kebetulan juga berkunjung menjawab kalimat Samuel.

Samuel cukup terperangah mendengar apa yang dilontarkan ponakannya itu.

“Jevan! Jean itu adik kamu! Kamu nggak sepantasnya ngomong kaya gitu.”

“Kenapa? Manusia baik aja juga bakal mati, kan? Apalagi manusia sampah kayak dia.”

“Jevan! Kalian salah paham! Semua ini kesalah pahaman yang dibuat orangtua kalian. Berhenti anggap Jean sam-”

“Gimana bukan sampah kalau cuman bawa sial? Bang Tian pergi karena Jean. Mama sama papa cerai juga karena dia. Dia yang udah ngerusak kebahagiaan keluarga ini. Dia nggak layak buat hidup bahagia! Dia pantas buat mati!”

Plakkk!!!!

Tamparan keras dari Samuel menghujam Jevan. Darrel sendiri hanya membisu ditempatnya ketika melihat adik dan pamannya saling adu mulut.

Jevan terkekeh pelan sembari mengeluarkan senyum meremehkan, “Om sendiri yang bilang kalau nggak boleh ndidik pakai kekerasan, tapi Om lakuin itu ke Jevan cuman buat bela anak sialan ini.” Kalimat Jevan sebelum ia keluar dari kamar Jean dan menutup pintunya dengan keras menyisakan hening dalam kamar Jean.

“Darrel pamit, mau kerja.”

“Nggak usah kerja dulu. Jean lagi sakit, dan ini karena kamu.”

“Aku ada pasien penting di rumah sakit.”

“Buat apa kamu jadi dokter yang rawat dan sembuhin orang lain, sedangkan buat adik kamu sendiri kamu malah jadi sumber penyakitnya? Jean butuh kamu, Darrel.”

“Tapi aku nggak butuh dia!”

Darrel berlalu begitu saja menyisakan Samuel dan Jean yang nampaknya terlelap sedari tadi, mungkin.

“Om..”

Suara parau menyentak kesadaran Samuel.

“Boy? Udah sadar? Ada yang sakit?” Jean hanya menggeleng lemah menanggapi Samuel.

“Jangan marah sama abang. Disini yang salah Jean, jadi Om nggak perlu marah ke Mas sama Abang.. Jangan pukul abang lagi. Rasanya dipukul itu sakit, biar Jean aja yang ngerasain dipukul, abang-abang Jean jangan sampai” Meskipun terdengar lemah, suara anak itu berhasil menembus hati Samuel.

“Kamu denger darimana aja tadi?”

“Semuanya mungkin?” Jean menjawab dengan mata yang nampak terluka. Tak bisa dipungkiri bahwa diam-diam hatinya terasa teriris oleh perkataan kedua kakakknya tadi.

“Jean-”

“Nggak papa, Om. Jean baik-baik aja. Yang jelas, Om jangan marahin abang lagi ya? Jangan juga pukul abang lagi.”

“Kenapa kamu baik banget, huh?” Samuel mengusap surai Jean, lembut.

“Enggak. Jean belum cukup baik, makanya semesta masih belum ramah sama Jean. Semoga aja besok, waktu semesta udah menganggap Jean layak buat dapat hidup yang lebih baik, Jean masih ada disini. Ngerayain hidup bahagia bareng abang-abangnya Jean.”


Sea