[Meaning]

Kaki putih itu mulai menapak pada anak tangga dengan hati-hati. Pandangannya sedikit berbayang, namun ia harus menuju dapur. Tenggorokannya terasa sangat kering, apalgi ditambah dengan suhu tubuh yang tinggi menambah rasa lemas pada diri anak itu.

Ia lelah. Hidupnya selalu terasa seberat ini. Selalui melewati malam panjang dengan mimpi buruk yang tak berkesudahan, lalu terbangun dalam keadaan yang lelah. Jujur saja, bukan hanya mentalnya yang rusak namun seperti fisiknya juga ikut melebur.

Rumah mewah itu nampak sepi, tidak ada siapa-siapa disana karena ini hari Jumat. Semua masih beraktivitas seperti biasa, kecuali dirinya, yang selalu saja tertinggal seperti ini.

Langkah lemah kakinya kini berhenti kala telinganya dengan samar menangkup suara yang amat ia rindukan. Kedua insan yang sangat ia ingin kehadirannya. Tubuhnya ia sembunyikan dibalin panil jati yang memisahkan ruang tamu itu dengan ruang keluarga.

“Sudah sepuluh tahun, ya?” Suara itu milik Aline, wanita yang telah berhasil menghadirkan sosok Aelazar ke dunia ini.

Tak ada jawaban apapun dari Devian kecuali deheman singkat.

“Mau apa kamu kesini?”

“Cuman mau mengapresiasi kamu saja. Ternyata bisa juga ya kamu membesarkan anak itu sampai sekarang.” Wanita itu terkekeh.

“Jelas. Dan masih sesuai perjanjian, kan?” Dev menjawab dengan dingin.

“Hahaha.. Devian.. Devian.. ternyata kamu masih sama ya?”

Dev hanya menaikkan alisnya untuk menjawab Aline.

“Ku kira setelah sepuluh tahun bersamanya akan ada rasa sayang kepadanya hahaha. Ternyata kamu masihlah tetap Devian yang lama.”

“Tugasku hanya untuk membesarkannya. Masalah aku menyayanginya atau tidak, itu tidak disebutkan ke dalam perjanjian”

“Ckckck tipekal Devian, hanya mau mengeksploitasi keuntungan. Bagaimana rasanya mempunyai perusahaan yang maju dengan cara memeras orangtuaku sebagai sumber investasi mu, Dev? Kamu gunakan bukti-bukti kekerasan Mami pada Ael untuk mendapatkan semua ini, kan?”

Devian mengeratkan genggaman tangannya erat hingga buku kukunya nampak memutih. Mimik mukanya menampilkan aura gelap yang cukup mencekat, namun itu malah membuat wanita di depannya terkekeh.

“Aku jadi penasaran, bagaimana perasaan bocah itu saat tahu bahwa ayah yang selama ini menyayanginya hanyalah menggunakan dirinya sebagai umpan? Oh ralat, bukan menyayangi tapi hanya 'nampak menyayangi', kan? Kau pikir aku tak tahu? Kau memperkerjakan asisten untuk bocah itu, selalu memberikannya dorongan untuk hidup lebih lama, tapi padahal niatmu tak setulus itu. Kau menjaganya tetap hidup agar bisa terus memeras mamiku. Kau menjaganya tetap hidup agar mami tak bisa menghilangkannya dari dunia ini kan? Karena kalau dia mati, kau tak bisa lagi menakuti mami.”

Saat telinganya berhasil menangkap kalimat-kalimat menyakitkan itu, Ael meluruh detik itu juga. Bahunya merosot, bersamaan dengan tubuhnya yang tiba-tiba terasa lemas luar biasa.

Degup jantungnya aneh. Ada juga perasaan yang sangat menyakitkan menembus ulu hatinya. Hawa panas juga mulai merambah ke manik Ael, hingga beberapa buliran air pun tak lagi dapat ia bendung.

“Ngga ... mungkin..... kan?” Ael bertanya kepada dirinya sendiri. Ia terkekeh dengan keadaannya yang seperti ini. Miri, ternyata memang selama ini ia tak hidup dengan perasaan cinta orang lain. Dia hanya hidup dalam angan 'dicintai' yang ia buat sendiri dikepalanya, padahal nyatanya tidak.

Daddy.. nggak mungkin kan sejahat itu?

“Mau kamu apasih, Lin?!” Suara Devian meninggi.

“Mau aku? KURUNG ANAK ITU DAN JANGAN SAMPAI DIA MENDEKATI KELUARGAKU LAGI!” Aline membalas suara dev dengan tinggi juga.

“Maksud kamu?”

“Kamu pura-pura nggak ngerti atau gimana sih, Mas? Anak kamu itu GILA! Sungguh memalukan. Apalagi dia yang kemarin mendekati Eden saat aku di taman. Aku nggak mau ya kejadian ini terulang lagi. Bilang sama dia untuk berhenti mengganggu hidupku! HIDUPKU SUDAH SANGAT SEMPURNA TANPA KALIAN!”

“Hidup aku juga sudah sempurna sekarang. DAN TANPA ANAK ITU. Aku mau akhirin perjanjian itu. Perusahaanku sudah besar, aku tak perlu lagi invest dari orangtuamu. Sebagai gantinya, bawa anak itu pergi dari sini!”

Benar-benar perkataan yang amat tak layak untuk keluar dari mulut orang yang harusnya melindungi buah hati mereka.

Sakit. Rasanya sakit sekali untuk Ael mendengar ini semua. Jujur, hatinya seperti ingin meninggalkan obrolan sampah itu, tapi kakinya seperti tak ingin meninggalkan tempatnya kini.

“Sepuluh tahun anak itu bareng kamu, harusnya kamu bertanggung jawab dong ke dia! Jangan main asal lempar ke aku! Aku gak mau hidup yang sudah sesusah payah ini aku bangun akan jadi kacau dengan keberadaan anak itu.”

“Benar-benar ibu yang buruk, kamu Aline.”

“Dan orang yang membuatku seperti adalah kamu! KAMU! KAMU SENDIRI, DEVIAN GENIO!” Aline berteriak marah. Emosinya benar-benar seperti meledak.

“KAMU BRENGSEK! KAMU HANCURIN HIDUP AKU! SEMUA MIMPI AKU! BAHKAN KETIKA AKU SUDAH MENERIMA KEADAAN ITU KAMU MALAH SELINGKUH DENGAN PELACUR ITU!”

PLAKKKK

Suara tamparan menggema dari arah ruang tamu. Dapat Ael lihat, Aline nampak sedikit gemetar usai ditampar oleh Devian.

“Tutup mulut kamu! Jangan pernah sebut Asmara sebagai pelacur!”

“Lalu harus aku sebut apa? Wanita berhati malaikat yang telah berhasil mengambil hati suamiku? Ngigau kamu. KALAU DIA EMANG BERHATI MALAIKAT, DIA NGGAK AKAN HAMIL ANAK KAMU SAAT AKU JUGA HAMIL ANAK KAMU! ANAK ITU, ANAK KEMBAR YANG SANGAT KAU SAYANG ITU CUMA ANAK DARI HASIL HUBUNGAN LELAKI BAJINGAN DAN PELACUR RENDAH-”

“ALINE!!!”

PYARRR

Suara kaca pecah mengisi ruang. Aline masih menutup mata saat pandangan terakhirmya tadi menangkap wajah Dev yang penuh amarah, sedangkan tangan kirinya membawa gelas kaca yang digerakkan ke arahnya.

Sepersekian detik tak terasa apapun pada Aline selain adanya dekapan dari seseorang, hingga saat ia membuka mata, baru ia tahu kenapa gelas itu tak melayang padanya.

Dihadapannya kini, tampak Devian dengan nafas terengah memegang gelas kaca yang tinggal seperempat bagian saja. Sedangkan didekapnya, ada anak laki-laki dengan kepala dan wajah yang berdarah. Bahkan di wajahnya nampak beberapa serpih pecahan gelas yang masih menempel.

Perlahan anak itu mengambil posisi diantara kedua orang disana. Meski bocah itu tersenyum, namun matanya terlihat berkaca-kaca, seperti menahan kesakitan yang luar biasa.

“Ayah boleh benci Ael, tapi jangan sampai sakiti Mom. Ayah itu lelaki yang meski nampak biasa, tapi tenaganya kuat. Sedang Mom itu wanita yang harus diperlakukan dengan lembut. Kalau ayah pengen Ael pergi dari kehidupan ayah, Ael bisa pergi. Tapi jangan paksa Mommy dan sampai bikin Mom terluka kaya gini. Dan untuk Mom, Ael minta maaf kalau kehadiran Ael udah hancurin kehidupan berharga Mommy. Pasti Mom kesusahan banget ya karena Ael? Maaf ya. Maaf juga untuk kemarin kalau pertemuan kita yang tidak sengaja malah membuat hari mommy memburuk. Ael benar-benar minta maaf kepada kalian berdua”

Anak itu menunduk. Ia tak bisa lagi menahan tangisnya. Dengan kasar, ia mengelap air mata itu. Lalu kembali menatao kedua orangtuanya dengan wajah penuh arti.

“Ael ke kamar dulu, mau beres-beres buat pergi. Mommy nanti kalau nyetir pulang hati-hati ya.. Ael sayang Mommy”

Anak itu mengambil tangan lembut Aline, lalu menciumnya dengan cukup lama. Setelah itu ia membalikkan badan, menjauh dari kedua orang yang kini menatapnya dengan tatapan penuh arti.


Sea