[Tentang Luka]
Pukul dua dini hari, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Jean yang memang belum tertidur pun akhirnya menyibak selimutnya kala mendengar suara beberapa barang terjatuh di bawah.
“Mas..?” Jean bersuara, menyusuri tangga, sembari menyalakan lampu utama.
Usai lampu benderang, Jeandra cukup terhenyak kala melihat pandangan di depannya.
Mas yang biasanya berpenampilan rapi, kini nampak kacau dengan setelan yang sudah sedikit terbuka. Matanya tertutup, tetapi bibirnya masih menggumamkan sesuatu. Pipinya yang putih bersih kini nampak memerah, dan menguar juga bau alkohol yang cukup menyengat.
“Mas? Tidur di dalem yuk. Di sini dingin.” Jean mendekat, membopong Darrel ke arah kamarnya yang berada di lantai satu. Dengan perlahan, Jean membawa Darrel ke tempat tidur, memposisikan Darrel agar dapat tertidur dengan nyaman.
Jean menatap lekat Darrel. Jarang sekali ia bisa sedekat ini dengan Darrel saat orang itu dalam keadaan sadar. Kemudian, tangannya dengan gesit melepaskan sepatu serta kaus kaki milik Darrel. Ia juga membuka baju Darrel, menggantikannya dengan kaos yang nyaman, lalu mengambil handuk kecil dan mmembersihkan badan Darrel agar kakaknya itu lebih nyenyak.
“Mas Tian..” Darrel mulai mengigau tak jelas.
“Maaf... Maaf.. Maafin Darrel yang gak bisa jadi abang yang baik buat adek-adek..” Meskipun matanya terpejam, namun terlihat perubahan wajah Darrel seperti orang bersedih.
“Ma..af...”
“Jeje kita sekarang udah besar...”
“Jeje sekarang sama Darrel.. Tapi.. Darrel gak bisa ngasih dia kebahagiaan” Kelopak mata Darrel mulai mengeluarkan air mata.
“Hati Darrel masih sakit ketika ngeliat Jeje.. Darrel selalu ingat sama Mas.. Harusnya itu bukan salah Jean.. Tapi kami semua.. menyalahkannya..”
Jean terdiam. Ia sendiri bingung harus bagaimana. Ini adalah cerita yang sama yang telah kesekian kalinya ia dengar. Semua dari bibir kakaknya itu, Jean tidak pernah ingat. Siapa Tian, Alasan perceraian kedua orang tuanya, hingga alasan kebencian saudara-saudaranya, Ia tak pernah tau dengan jelas.
Yang ia tahu hanya satu. Semua ini karena kesalahannya. Begitu kata keluarganya.
“Jean sendirian... Pasti dia kesepian..”
Gumaman Darrel itu berhasil membuat mata Jean berkaca-kaca. Ia kira Masnya itu begitu abai terhadapnya, nyatanya tidak.
“Jean... Maaf...”
“Maaf...maaf...”
Hanya gumaman meminta maaf itu yang terus terdengar hingga Darrel benar-benar terlelap, meninggalkan Jean dengan pertanyaan besar dalam hatinya, serta dengan luka yang masih menganga.
Sea