[Not Fine]

“Hah...hah... he...lp..”

“Mo..mmy..d..ad..hah.. help...”

Dengan nafas yang hampir habis anak berusia lima tahun ini mencoba memanggil bantuan. Mengharap sebuah keajaiban datang di tempat paling menakutkan ini.

Sudah sekitar tiga minggu dia di dalam ruang kotor itu. Penampakkannya sangat mengenaskan. Ia duduk di lantai kotor itu, tangan dan kakinya diberi rantai yang diikat pada tiang yang memang sengaja dibuat untuk anak itu, kedua bagian rantai itu nampak menimbulkan kemerahan disertai darah, bahkan sebagian telah menimbulkan nanah disertai rasa nyeri yang luar biasa bagi anak sekecil itu.

Anak itu hampir menyerah. Semua usahanya terasa sia-sia. Tiga minggu dalam kurungan gelap memberikan ketakutan luar biasa pada anak itu. Dia diperlakukan layaknya hewan, hanya diberi makan dan minum setiap dua hari sekali, bahkan dengan cara yang sangat kasar. Wanita tua itu akan datang untuk menarik rambut anak itu kuat-kuat, mengelusnya sejenak, kemudian menamparnya dengan membabi buta. Terkadang dia juga membawa makanan, menyuapkannya dengan banyak dan cepat hingga membuat anak itu tersedak dan sebagian nasinya keluar lewat hidung.

“O..ma... ja..ngan... A..el m..aaf...” Anak itu menangis kala eksistensi wanita tua itu mulai nampak dari ujung pintu.

“Once again”

“No..pl..ease..A..el..sa..kit..so..ly...iam.. so..ly” Bocah yang memanggil dirinya dengan sebutan Ael itupun mulai memohon.

PLAKKK!!!

“ANAK KURANG AJAR! SAMPAI KAPAN PUN, MAAFMU TIDAK AKAN SAYA TERIMA! KARENA KAMU! KARENA ANAK SIALAN SEPERTI KAMU, PUTRI SAYA KEHILANGAN MASA DEPANNYA! KALAU SAJA KAMU MATI SEBELUM LAHIR, PASTI PUTRI SAYA SEKARANG SUDAH JADI WANITA DENGAN HIDUP CERAH! DASAR ANAK SIALAN! MATI KAMU!!!!”

Wanita itu mulai mencekik Ael kecil. Ael sendiri pun tak bisa berontak sama sekali. Ia ingin semuanya berakhir dengan cepat, namun naluri manusianya masih ingin mempertahankan hidup.

“MATI KAMU ANAK SIALAN!!!!!”

“Please oma... Ael solly... maaf.. uhuk uhuk.. ampun.. A-Ael masih mau hidup..”

“MATI KAMU BAJINGAN KECIL!!!”


“Hah.. hah.. hah..” Lagi dan lagi. Ael terbangun dengan keadaan seperti ini. Ini masih pukul tiga pagi dan mimpi itu selalu datang mencekiknya setiap malam, membuatnya selalu terbangun dalam keadaan sulit bernapas.

“Uhuk..uhuk.. ” Ael terbatuk kala merasakan udara yang perlahan menjauhinya.

“Please.. jangan sekarang.. hah..hah.. inhealernya mana..hah...” Ael mulai mengeluarkan suara mengi yang amat ketara. Tangannya sibuk mengobrak abrik laci nakas sisi tempat tidur.

Ah sial, tidak ada Inhealernya disana. Satu-satunya tempat yang ada obat-obat miliknya adalah lemari khusus, tepatnya lemari yang ada diujung kamar tersebut.

Ael menatap lemari itu tatapan sayu. Tubuhnya mulai melemas kala tak dapat menghirup oksigen disekitarnya, matanya juga mulai berkunang-kunang. Dengan langkah pelan, ia berusaha bangun.

BRAKK!!!

Tubuhnya ambruk kala kakinya melemas dengan sempurna. Ael memejamkan matanya, menikmati rasa sakit yang kini menghujam dadanya.

“Astaghfirullah! Dek, lo kenapa ?” Sayup-sayup Ael dapat mendengar suara ini.

“Uhuk uhuk..t..o..long.. di le..mari po..jok..uhuk hah hah” Ael berkata lemas, matanya masih tertutup. Pendengarannya kini menangkap langkah kaki itu nampak cepat menuju lemari yang ditunjuk Ael.

Tidak. Ael kini merasakan kepalanya sangat berat. Namun, saat telinganya mulai menangkup dengung, sebuah benda tepat masuk ke dalam mulutnya. Ael tahu, ini mouth piece dari inhealernya.

Ael masih terlalu lemas untuk membuka mata, namun ia dapat merasakan jika kini tubuhnya di tegakkan dan ditempatkan di dada orang yang menolongnya.

“Pelan pelan.. tarik nafas yang kuat..” Lelaki itu membantu Ael untuk memegang inhealer bocah itu.

Beberapa menit berlalu, usai semprotan ke delapan, Ael mulai tampak sedikit tenang, meskipun napasnya masih tersengal.

“Kuat buat jalan? Mas gendong ya ke tempat tidur.” Lelaki yang menyebut dirinya sebagai Mas itu langsung menggendong Ael ala bridal style.

Ditatanya bantal di headboard agar punggung anak itu tetap tegak dan napasnya bisa semakin lancar. Sejenak lelaki itu menatap Ael dengan pandangan khawatir. Perlahan tangannya mulai mengelus wajah pucat Ael yang kini tengah bermandikan keringat.

“Ael gak pantas hidup... Ael bikin sial..sakit.. sakit.. tangan sama kaki Ael sakit oma...sorry... sorry... A- Ael mau mati...”

Ael mulai terisak. Bayangan mimpinya selalu berhasil mengalahkannya disaat ia lemah seperti ini. Rama yang melihat anak itu menangis sambil terpejam hanya bisa mengelus kepalanya pelan, sembari membisikkan kata penenang.

“Enggak, itu cuman mimpi buruk tadi. Udah gak papa. Sekarang Ael aman sama Mas. Udah gak papa”

Sepuluh menit berlalu, isakan Ael mulai terhenti. Perlahan ia membuka matanya, maniknya kini langsung menatap manik Rama yang kini tampak khawatir.

“Udah, gak papa. Mau Mas panggilkan dad?”

Ael menggeleng lemah.

“Jangan kasih tahu Dad. Takut nanti Dad marah. Kata dad, Ael gak boleh manja kalau mau sembuh. Jadi jangan ganggu Dad kalau cuman mau bilang ini. Ini udah biasa kok, Mas. Ael gak papa”

Ael menatap Rama dengan mata yang berkaca. Meskipun jawaban itu ia sampaikan dengan tersenyum, tapi kini Rama mulai menyadari satu hal.

Percakapan kemarin pagi sepertinya cukup membekas baginya. Adiknya itu tidak baik-baik saja.


Sea