[Ego]
Mentari menampakkan sinarnya tanpa malu. Jarum di dinding baru menunjukkan pukul 7.30 namun sinar itu telah berhasil masuk menusuk ruang-ruang kosong dari balik jendela dan pintu.
Berbeda dengan pagi biasanya yang sepi, kali ini pagi di rumah mewah itu tampak riuh. Harum masakan pun juga menguar ke segala penjuru, membuat cacing-cacing di perut lebih bersemangat.
“Awas panas” Suara Ibun kala mendaratkan wadah sayur soup yang masih menguap.
“Selamat makan kesayangan Ibun” Ibun tersenyum lalu mempersilahkan suami beserta anak-anaknya untuk makan.
“Wahh enak banget, sayang” Devian berucap, membuat semua mata menuju ke arahnya. Sedangkan ibun tersenyum malu, lalu mencubit perut Devian.
“Mas, ada anak-anak disini.”
“Nanti dulu adegan dewasanya ya pak, buk. Kasian yang disini pada jomblo.” Lelaki dengan lesung di kedua pipinya itu menyahut membuat kedua pasutri baru itu senyum cengengesan.
“Oh iya, Sena sama Ael besok udah masuk sekolah, kan?” Ibun membuka topik.
“Mereka seumuran gak sih, bun?” Si sulung bertanya, ibun mengangguk.
“Satu kelas juga” Itu Sena, yang tiba-tiba ikut menimpali percakapan.
“Oh iya? Kok Ael gak bilang ke Dad?” Dev menatap Ael yang daritadi hanya diam menyimak obrolan.
“Ael gak tahu kalau sekelas”
“Iyalah gak tahu. Orang hari pertama aja udah bengek duluan sebelum bel.” Sindir Sena, membuat beberapa orang disana terkejut.
“Loh? Kenapa? Ael sakit?” Ibun nampak khawatir, sedangkan Ael hanya tersenyum lalu menggeleng.
“Trauma. Jadi buat dia gampang kena serangan panik.” Devian menjawab sembari tetap melahap makanannya.
“Beneran? Dulu Sena juga ada trauma. Kadang juga serangan panik, tapi sekarang udah biasa aja tuh” Ibun berucap pelan. Tanpa sadar membuat Devian sedikit berpikir.
“Mungkin Mas terlalu memanjakan Ael, makanya dia gak sembuh-sembuh.” Ibun berkata dengan spontan tanpa menyadari ada dua hati yang sedang terusik dengan kalimatnya.
“Mental orang kan beda-beda, Bun. Nggak semua bisa disamaratakan pake perlakuan yang sama.” Rama menengahi setelah menyadari perubahan ekspresi milik adik barunya itu.
“Benar juga. Tapi wah hebat ya putra ayah yang satu ini. Keren, udah bisa survive.” Devian tersenyum sembari mengacak rambut Sena pelan.
Jujur saja, sebenarnya Ael ingin menangis kali ini. Ia tak suka menjadi bahan pembicaraan dengan topik sesensitif ini. Ia tidak suka kalau ada orang lain yang dibandingkan dengannya. Ia tahu kalau sekarang anak ibun juga menjadi anak Dad. Tapi Ia tak rela kalau harus berbagi kasih dengan seperti ini. Jika Ael merasa sedih, apakah ia egois?
Sea