[Bad Day]
G. Aelazar J.S. Begitulah nama yang kini tersemat di atas saku lelaki bule itu. Kulitnya yang putih dengan rambut yang bewarna blonde diantara kepala-kepala hitam, membuatnya terlihat amat sangat mencolok.
Setelah cukup lama berdiri memandang pintu yang bertuliskan XI MIPA 1, Ael pun melangkahkan kakinya dengan perlahan. Suasana kelas yang awalnya ramai langsung menjadi senyap kala Ael menapakkan kakinya ke dalam. Jujur saja, Ael sangat membenci menjadi pusat perhatian seperti ini. Dia sangat risih.
Ael menelisik kelas. Ini baru pukul 6.15, sehingga baru setengah dari kursi kelas yang terisi. Dengan langkah pasti, ia menuju kursi pojok belakang, tepatnya kursi di dekat jendela.
Ael sadar jika dirinya kini masih menjadi pusat perhatian di kelas. Ia muak, sungguh sangat memuakkan. Dengan tatapan amat sangat tajam, Ael pun membalas tatapan teman sekelasnya itu hingga membuat mereka kelabakan.
Ael menghadap ke arah jendela. Dari tempat duduknya, ia bisa melihat lapangan sekolah beserta taman yang ada pada tiap sisi-sisi bangunan. Angin yang berhembus, serta sinar mentari yang kini mulai menelisik lewat ventilasi sungguh membuat Ael merasa nyaman. Hingga tanpa sadar, ia memejamkan matanya sembari menikmati kedamaian itu.
BRAKKK!!!
kedamaian itu buyar kala seseorang menggebrak mejanya dengan keras. Ael begitu terkejut, jantungnya kini terasa berdetak tak karuan. Abai dengan sakit yang kini ia rasakan, Ael menolehkan kepala hingga menangkap presensi dari tiga orang yang kini berdiri disamping mejanya.
“Gue Genta. Dan ini tempat duduk gue”
Lelaki berkulit tan itu mendekat ke arah Ael sembari menampilkan wajah yang kurang bersahabat.
“So?” Ael membalas tatapan itu dengan tatapan yang lebih dingin hingga membuat Genta terkejut.
“Ya gue mau duduk” Genta sedikit gemas dengan manusia blonde di depannya ini.
Beberapa detik berlalu. Tak ada sedikitpun pergerakan dari Ael, seolah-olah kalimat Genta barusan hanyalah angin lalu.
“You know Indonesia? Go away from my chair” Genta kembali menggertak dengan bahasa inggris yang ala kadarnya kala melihat keabaian Ael.
“Gue gak mau. Siapa lo nyuruh-nyuruh gue?” Ael memberikan deathglare kepada Genta. Sejujurnya, Ael kini juga merasa gelisah. Ia hanya mempraktekkan apa yang Tedi ajarkan, namun jauh dilubuk hatinya masihlah ada katakutan yang perlahan mulai muncul kembali.
“Woy, berani bener nih bocah cari masalah” Lelaki bername tag Atarruk itu menanggapi.
Suasana kelas nampak tegang, namun tak ada yang memisah. Warga kelas sendiri pun sebenarnya sudah mengetahui watak Genta dan kawannya kala mereka mengajak berteman —-Karena dulu mereka juga pernah menjadi korban kejahilan. Memang caranya mengajak berteman aneh, tapi percayalah, sesungguhnya ketiga orang yang nampak menggertak itu sebenarnya adalah badut kelas.
“Gue diem daritadi. Gak ada nama lo dimeja ini. Jadi sah-sah aja dong gue duduk di sini?” Datar. Benar-benar amat datar dan dalam suara milik Ael.
“Wuidiihh suaranya serak-serak basah nie boss slebeww Hahahaha” Jemian yang baru saja masuk kelas tiba-tiba menyahuti membuat anak-anak disana tertawa.
De javu. Tawa teman-teman sekelasnya membuat ketakutan milik Ael semakin menjalar dengan hebat. Bayang-bayang masalalu kembali muncul pada permukaan memorinya. Bulir-bulir keringat mulai jatuh dari pelipisnya. Napasnya yang teratur kini menjadi cepat dan sedikit menimbulkan suara mengi.
Lelaki bernama Antasena yang daritadi duduk disamping Ael mulai merasa was-was kala melihat pergerakan aneh dari anak baru disampingnya. Ia tidak salah mendengar, meskipun tawa teman-teman sekelasnya membuat riuh, namun telinganya mampu mendengar suara mengi dari anak baru itu.
“Udah Gen. Berhenti. Lo kelewatan kali ini.” Itu suara Antasena, suara yang jarang-jarang menguar di kelas ini. Seketika suasana kelas nampak hening.
“Yahh, padahal bentar lagi klimaks.” Genta memanyunkan bibirnya pada Sena.
“Gue tahu, kalian ingin temenan. Tapi kali ini udahan aja anjir. Kasian tuh bocah. Udah pucet gitu mukanya” Raynan yang tadi hanya melihat pun kini ikut menyela.
Genta menghela napas mendengar wejangan dari teman-temannya. Dengan cepat ia memandang kembali Ael, dan merubah rautnya menjadi raut cengengesan, sangat bersahabat.
“Sorry. Gue tadi bercanda. Selamat bergabung dalam persaudaraan MIPA satu. Gue Gentala”
Gentala mengulurkan tangannya. Sedangkan Ael hanya menatap tangan itu dengan tatapan lemah.
“Sorry elah. Tangan gue mau lo anggur— EH ANJIR”
Teriakan samar-samar dari Genta pada akhirnya menjadi menutup pendengaran Aelazar sebelum kegelapan lagi dan lagi merenggut kesadarannya.
Sea