[Angan]

Ares menghentikan langkahnya sejenak sebelum pada akhirnya ia memberanikan diri untuk menghampiri wanita paruh baya yang tengah duduk di kursi taman itu.

“Ares? Duduk sini, nak”

Satu kalimat yang tiba-tiba menghangatkan hati Ares.

“Mama dengar, kamu sakit?” Erina bertanya lembut.

Ares tersenyum. Sungguh, rasanya mulai muncul perasaan bahagia dihati miliknya. Rasa yang telah lama hilang itu perlahan muncul kembali.

“Nggak papa kok Ma. Masih bisa Ares tahan” Ares berucap, sembari tersenyum. Jujur saja ia tidak ingin membuat khawatir ibunya.

“Sakit apa?” Mama bertanya lagi. Kini tangannya mengelus punggung Ares pelan.

“Ginjal..” Ares menunduk pelan, raut mukanya tampak sedikit berubah menjadi sendu.

“Parah?”

“Dokter Bara bilang, cukup buruk tapi masih bisa berharap sama pengobatan yang sekarang Ares jalani. Ya meskipun Ares tahu kalau nyatanya itu semua nggak cukup hehe”

Ares menjawab dengan suara bergetar. Beginikah rasanya bisa membagi isi hati dengan sosok Ibu? Rasanya ia seperti ingin mencurahkan segalanya disana.

“Seburuk itu? Sejauh mana bisa bertahan?” Erina beralih mengelus kepala putranya itu.

“Perkiraan dokter Bara, kalau kondisi Ares membaik, Ares bisa bertahan beberapa tahun kedepan, tapi kalau memburuk.... mungkin hanya sekitar satu tahun.” Ares berucap pelan. Bibirnya masih tersunggingkan senyum meskipun matanya sedang berkaca-kaca.

“Terlalu lama...” Erina bergumam pelan. Ares sendiri tidak tuli untuk mendengarkan gumaman itu.

“Apa, Ma?” Ares menatap mata Erina. Mencoba menelisik bahwa apa yang didengarnya adalah kesalahan.

“Kamu. Masih terlalu lama bertahan. Padahal saya kira kamu bisa secepatnya menjadi pendonor jantung untuk Langit”

Duarr. Sepersekian detik rasanya dunia milik Ares hancur lebur. Baru beberapa menit yang lalu, ia kira ia akan mendapatkan tempat bersandar. Nyatanya, semua itu hanyalah khayal yang ia ciptakan di pikirannya sendiri.

Mama, keluarga, sayang, cinta, itu semua hanyalah hal mewah yang Ares impikan dalam dunia kecilnya. Semuanya... semuanya hanyalah angan yang tak pernah menjadi nyata.

Erina berhenti mengelus kepala Ares. Kini tangannya dengan lembut menangkup kedua bahu milik Ares.

“Sekali ini saja. Jadi anak yang berbakti ya sama saya? Kamu tidak akan bertahan lama kan? Jadi, donorkan jantung kamu untuk Langit ya?”

Untuk kesekian kalinya, lagi dan lagi, hati kecil itu pecah bersamaan dengan asa yang kini mulai ikut menguap.


Sea