[Gerbang Bahagia]
Kelereng sipit itu bergerak pelan. Mata sayunya perlahan mengendar. Lima menit sudah berlalu, namun yang bisa ia lakukan hanyalah terdiam, menikmati sensasi nyeri pada seluruh bagian tubuhnya.
“Ares? Bisa dengar suara dokter?” Tanpa disadari Ares, Bara sudah berdiri di sisi kanan ranjang, dengan Cano yang ada di belakangnya. Keduanya tampak mengenakan baju steril bewarna biru.
“Ares bisa denger suara dokter?” Karena tak mendapat jawaban, Bara kembali bertanya disertai gerakan membuka lebar pupil Ares dan menyorotnya dengan pen light.
“Tingkat kesadarannnya belum normal.” Dokter Bara memberitahu Cano.
“Dok...ter...” Ares bergumam pelan dibalik masker oksigen yang menindih wajahnya.
“Kenapa? Ares sakit? Ada yang sakit? Tahan dulu ya, setelah ini kita adakan operasi lanjutan biar Ares nggak sakit, biar Ares bisa sembuh cepat” Dokter Bara memberi pengertian. Ia mengelus kening Ares dengan lembut.
Bukannya menjawab, Ares hanya menggeleng pelan.
“Gak usah... Ares su.. dah sem.. buh” Suara Ares kembali menguar pelan, tertindih suara napasnya sendiri.
Bara mendekati anak itu. Lalu kembali mengelusnya.
“Iya, habis ini sembuh.”
“Nggak.. Ares udah sembuh sekarang..” Ares menatap Bara dengan mata yang penuh keyakinan.
“Dul..u.. Ares kira.. sakitnya Ares ka..rna gin..jal A..res... tapi ternyata bukan. Disini.. Ar res kesakitan k..rna ar..res belum bisa maafin sm..anya... Ar..es ms..ih dendam sama smu..anya..” Meskipun dengan gerakan patah-patah, Ares berhasil membawa tangannya ke arah dada miliknya.
Matanya masih tetap lurus menatap Bara. Meskipun mata itu sudah berkaca-kaca, tetapi ada keyakinan penuh di sana.
“T..pi.. skar..ang dah sembuh..” Ares berusaha menyunggingkan senyum dibalik masker oksigen miliknya.
Diantara Bara dan Cano tak ada satupun yang menyahut perkataan Ares. Saat ini ada rasa takut yang mendekati hati mereka.
“Disini..dah gak sakit lagi... A..res..dah.. maafin smu..anya... A..res.. s..dah menerima takdirnya A..res..” Kelopak indah itu perlahan mulai meneteskan air matanya. Meskipun diucapkan dengan tersenyum, keduanya paham bahwa saat ini Ares tak sedang baik-baik saja.
“Dok..ter...” Ares kembali memanggil Bara.
“Hidup Ar..es.. ud..ah gak lama, ya?”
Bara memejamkan matanya sejenak. Ia sungguh menyayangi pasien yang sudah ia anggap seperti putranya ini.
“Masih lama. Dokter bakal usahain semuanya buat Ares. Jadi, Ares harus tetap optimis, ya?”
Lagi dan lagi, Ares hanya menggeleng pelan.
“A..res.. u..dah ca..pek. Peng..en tidur..”
“Tidur dulu gak papa. Biar pas masuk ruang operasi bisa lebih baik badan kamu.” Untuk pertama kalinya, suara milik Cano terucap lembut kepada Ares.
“Ka..Cano..pus...”
“Apa, hmm? Adeknya Abang mau apa?” Cano bertanya sembari mengelus punggung tangan Ares yang jarinya terdapat oxymeter.
“Bo..leh A..res panggil Abang Ano?” Ares bertanya pelan. Cano mengangguk.
“Titip ma..kasih..buat.. semuanya... Ma..af ... ka..lau hadirnya..A..res..bikin.. s..muanya han..cur” Air mata Ares turun semakin deras. Begitupun juga dengan Cano yang kini mulai memperlihatkan perasaannya.
“Nggak. Maafin abang, Maafin kita semua. Sembuh ya? Bertahan dikit lagi, ya?”
Ares tak menyahut.
“A..bang.. ti..tip jan..tung A..res untuk Lang..it”
Tak bisa dibendung lagi, kalimat itu membuat Cano mulai terisak.
“Dok..ter.. jan..ji ya?” Bara memejamkan matanya. Sulit sekali untuk mengabulkan permintaan Ares.
“Gapa..pa.. A..res pergi. Ta..pi.. seenggaknya j..ntung A..res ba..kal bisa ngrasain ba..hagia.. disayang sama keluar..ga A..res.. sebe..lumnya kan.. be..lum per..nah”
“Enggak boleh! Abang Ano sayang sama Ares. Mama, Bang Alta, semuanya sayang sama Adek. Jangan pergi ya?” Hancur sudah pertahanan Cano. Apalagi saat mendengar permintaan Ares, sekelebat bayangan mengenai potret foto keluarga yang diamankan dari TKP, membuat hati Cano semakin teriris.
“Bang.. A..res mau egois... sekali aja.. A..res ca..pek.. ma..af..A..res tid..ur dulu...” Mata itu perlahan menutup kembali. Suara pelan yang tadi beriringan dengan tarikan napas, kini sudah berhenti, menyisakan suara kasar napasnya beserta denging pada bedside monitor.
Cano menggeleng pelan. Menginginkan semua ini hanyalah mimpi buruk dalam hidupnya. Dia tidak siap, dia tidak akan pernah siap kehilangan Antares, adik kecilnya yang bahkan belum pernah ia sayang dengan tulusnya.
Cano benci mengakui ini, tapi Cano tidak ingin Ares egois. Cano tahu, ini mungkin saat yang paling ditunggu oleh Ares. Ares dapat bertemu dengan sosok yang ia rindu, Ibu dan abang —yang meski dulu tak menyayanginya— namun masih selalu ada disampinya.
Cano harus mengalah. Ares mungkin lelah. Semesta terlalu kejam kepadanya. Dia sudah berjalan dengan peluh dan letih hingga sampai titik ini, Dia sudah berlapang dada sampai hari ini, dan hari ini, mungkin hari terbaik baginya untuk menerima kebahagiaan yang abadi.
-Sea