[Titik Paling Dalam]

Pengukur waktu yang menempel di dinding itu kini menunjukkan pukul satu. Sambil menghirup napas dalam, Cano menengok keadaan sekitar stase penyakit dalam, stase yang akan menjadi bagian dari pembelajaran kliniknya untuk tiga bulan kedepan. Cano masih berdiri, menatap pintu ruangan bertuliskan dr. Bara.

“Semoga kali ini nggak killer ya Allah...” Cano bergumam pelan, lalu sebuah suara menginterupsi heningnya.

“Lhoh? Dek koas ya? Udah mulai rolling lagi to?” Tanya seorang wanita paruh baya, dengan rambut yang digelung alus.

“Iya, Sus. Baru hari pertama.” Jawab Cano sembari tersenyum.

“Shiftnya masih jam dua kan ya? Kok sudah sampai? Apa nggak ingin menikmati waktu satu jam berhargamu?” Suster Laila tampak menggoda. Sudah berpuluh tahun ia bekerja di rumah sakit, jadi paham betul bagaimana pola hidup anak-anak koas disana.

“Hehe, niatnya mau nemuin Dokter Bara dulu, Sus. Salam kenal gitu istilahnya hehe”

“Oh iya saya sampai lupa. Dokter Bara lagi di ruang hemodialisa. Tadi beliau kasih pesan, buat cari aja kesana.”

“Apa enggak ganggu pasien kalau saya tiba-tiba masuk?”

“Kalau Dokter Bara nyuruh gitu, berarti enggak, kan? Pasiennya pasien kesayangan Dokter Bara. Biasanya patuh kalau cuci darah, tapi akhir-akhir ini udah sering telat padahal frekuensi cuci darahnya udah nambah. Dan hari ini, dia malah tantrum, gak mau cuci darah.” Suster Laila menghela napas pelan, gurat kesedihan juga tercetak di wajah cantiknya.

“Pasiennya udah tua , Sus?”

“Masih muda, dek. Umur tujuh belasan. Saya salut sama dia, tapi juga sedih. Akhir-akhir ini dia udah kayak kehilangan semangat hidup, padahal dulu dia semangat sekali untuk sembuh.” Suster Laila mulai bercerita. Matanya sedikit berkaca-kaca.

Mendengar cerita suster Laila, entah mengapa Canopus juga penasaran mengenai sosok pasien tersebut. Usai pamit, Cano langsung berjalan menuju ruang hemodialisa.

Diantara sekian bed, hanya satu yang terisi, yaitu bed yang paling pojok. Perlahan, Cano mendekat kearah ranjang yang dibatasi dengan gorden bewarna biru muda itu. Samar-samar telinganya berhasil menangkap suara isak tangis dari balik gorden.

Sedikit mengintip, Cano mengamati lekat bagaimana cara interaksi Dokter Bara yang kini tengah memeluk pasiennya itu.

“Sekarang kamu maunya gimana? Hmm?” Dokter Bara bertanya lembut. Tangannya ia gunakan untuk mengusap kepala remaja yang kini tengah terbenam di pundaknya.

“Gak mau cuci darah lagi.. semuanya sakit.. tangan Ares, kaki Ares, Badan Ares, semuanya sakit, dok. Apalagi dada Ares rasanya sesek banget tiap cuci darah. Ares udah gak mau.. Ares gak mau sembuh.. Ares mau pergi.. Ares mau nyusul Ibu sama Bang Naka.. Ares capek..”

Cano terhenyak. Hatinya merasakan nyeri mendengar suara yang pernah singgah ditelinganya itu kini merintih dengan amat putus asa. Cano tidak tuli, ia tidak salah mengenali bahwa suara itu milik Ares, adiknya yang belum sempat ia terima.

“Ares boleh capek. Ares nanti boleh nyusul Ibunya Ares, tapi hari ini kita cuci darah dulu ya? Sekali aja, ya?” Dokter Bara masih mencoba membujuk.

“Gak mau. Dokter jahat. Kenapa Dokter masih mau nyoba sembuhin Ares? Kenapa dokter mau ngelihat Ares kesiksa kaya gini?!”

Isak itu semakin mengeras. Benar kata suster Laila, bahwa Ares kini tengah mengalami mental breakdown.

“Enggak. Dokter pengen lihat Ares bahagia, enggak sakit lagi. Jadi mau ya? Dilakuin dulu. Hidup kita itu enggak lama, Nak. Jadi tidak perlu dipersingkat lagi. Bertahan ya?”

“Kenapa dihidup yang singkat ini Tuhan nggak ngasih bahagia ke Ares? Kenapa dihidup yang singkat ini semesta masih jahat banget buat mainin takdir kecil milik Ares? Kenapa?? Kenapa dihidup yang singkat ini Ares selalu sendirian? Ares egois.. Ares gatau diri.. Ares pembawa sial.. makanya Tuhan nggak ngasih bahagia buat Ares.. Ares minta maaf.. Ares minta maaf... ARES MINTA MAAF!!!”

Suara teriakan Ares diikuti suara vas terjatuh membuat Cano segera menarik gorden itu. Dilihatnya, posisi Dokter Bara yang kini tengah kesusahan untuk mendekap tubuh Ares yang terus berontak.

“Tolong, gantikan posisi saya!” Dokter Bara terlihat kalang kabut. Dengan cekatan Cano menggantikan posisi dokter bara yang tadi mendekap Ares agar mencegah tangannya melukai dirinya sendiri. Ares sendiri masih meraung meminta maaf, seperti tak sadar dengan apa yang telah ia lakukan dan bagaimana lingkungannya kini.

Tak lama kemudian, sebuah suntikan berisi penenang berhasil diinjeksikan ke tubuh Ares. Sepersekian detik, tubuh dalam dekapan Cano mulai terasa luruh. Teriakannya kini mulai tinggal gumaman gumaman disertai isak tangis kecil, namun berhasil menyentuh titik paling dalam dari seorang Canopus.

“Ares kesepian... Dunia gak mau terima Ares... Ares ... harus kemana... Ares nggak kuat la..gi..”


-Sea