[Potret Keluarga]
Sudah tiga puluh menit Ares terdiam duduk ditempatnya. Tak ada suara apapun di meja pojok itu, meskipun Hagan sudah sampai disana lima belas menit yang lalu. Tadi saat dirumah, ia merasa ingin mengunjungi tempat ini dan kini, ia tahu mengapa hatinya menginginkan itu.
Disana, di ujung kedai yang dijadikan sebagai Studio Photo, Ares dapat melihat dengan jelas bagaimana tawa dan raut bahagia yang kini tengah terpancar dari keenam anggota keluarganya. Ah ralat, keenam orang yang seharusnya jadi anggota keluarganya. Meskipun terhalang oleh ornamen pohon, namun Ares tetap bisa melihat semuanya lewat celah celah yang ada.
“Pindah aja yuk? Ganti ke tempat lain” Hagan berusaha mencegah Ares untuk masuk kedalam luka miliknya.
“Gausah. Gue gak papa” Ares tersenyum, meskipun lagi dan lagi, pancaran nestapa itu menguar dari balik matanya.
“Lo yakin? Gak papa.. gausah ditahan. Lo boleh nangis kalau emang pengen” Hagan berujar pelan.
Mendengar suara Hagan, Ares hanya menunduk. Lalu tak lama bahu ringkih miliknya mulai bergetar. Melihat hal itu, Hagan yang awalnya berada di depan Ares, kini berpindah posisi ke kursi samping Ares, guna merengkuh tubuh kecil itu.
“Gak papa nangis.. Lo udah hebat buat bertahan sampai sini. Hari ini, Nangis lo gak bakal buat lo jadi orang yang lemah. Karena kita semua udah tahu, kalau lo orang yang hebat” Hagan berucap ditelinga Ares, membuat isak Ares semakin terlihat.
Sekuat mungkin, Ares menggigit bibirnya, agar isaknya tak mengambil perhatian orang yang ada disana. Perlahan, bayangan Ibu, Bang Naka, kilas balik kehidupannya, hingga bagaimana pertemuannya dengan Erina kemarin mencuat di pikiran Ares.
“Gan.. salah ya gue hidup? Salah ya kalau gue masih ingin bertahan sama keadaan gue meskipun itu sulit? Salah ya kalau gue belum pengen mati? Salah ya gue ada di dunia ini?” Ares terisak pelan, terasa begitu menyakitkan.
“Enggak...enggak. Lo gak salah. Lo berhak hidup Res. Lo berhak hidup dengan bahagia”
“Tapi kenapa rasanya Tuhan jahat sama gue? Semua orang gak pengen gue ada disini. Bahkan semesta pun mendukung hal itu dengan skenario hidup yang udah diluar nalar gue. Gue capek rasanya. Setiap gue mau mengakhiri semuanya, kenapa selalu datang harapan-harapan baru? Tapi kenapa harapan-harapan itu selalu berakhir menyakitkan buat gue? Harapan baru itu berakhir sangat menyakitkan sampai dia berubah menjadi alasan gue buat mati.”
Ares menangis hingga membuat Hagan juga menjatuhkan airmata.
“Enggak. Lo gak boleh gitu. Tau gak kenapa Tuhan ngasih cobaan ini ke lo? Karena Tuhan percaya, lo lebih kuat dari semua orang yang ada buat nanggung ujian itu. Karena Tuhan percaya lo lebih kuat.. lo lebih bisa.. lo lebih hebat.. makanya Tuhan kasih lo itu”
Hagan berusaha menenangkan Ares.
“Boleh gak sih kalau gue bilang omongan lo itu bullshit?”
“Boleh. Tapi gini deh, pernah gak lo mikir kenapa Tuhan selalu gagalin lo tiap kali lo mau mengakhiri semuanya?”
Ares terdiam, mencerna pertanyaan Hagan.
“Itu karena Tuhan sayanggg banget sama lo. Makanya Dia gak rela kalau lo harus mati lewat jalan yang salah.” Hagan mengelus bahu Ares lembut.
“Lo itu hebaatttttt banget. Jadi, bertahan lebih lama lagi ya? Gue belum siap kalau harus kehilangan lo”
Obrolan panjang antara Ares dengan Hagan akhirnya berakhir setelah dua jam lamanya. Sepuluh menit yang lalu, Hagan mendahului pulang karena ia ada keperluan mendadak. Sedangkan Ares, ia masih duduk dikursi itu. Ia diam, tetapi otaknya memproses segala nasehat yang Hagan berikan untuknya.
Hagan benar, tidak seharusnya Ares mengakhiri hidup singkat ini dengan bunuh diri. Hagan benar, bahwa hidup yang singkat ini tidak perlu dipersingkat lagi. Hagan benar, Ares harus selalu percaya bahwa Tuhan itu baik kepada semua hambaNya.
Perlahan Ares berdiri, menghampiri studio photo yang sudah kosong di kedai itu.
“Pak, saya mau photo, bisa?” Tanya Ares dengan senyuman, meskipun wajahnya masih menampakkan bekas tangisan.
“Bisa-bisa. Itu ada properti atau busana yang bisa digunakan. Mau foto sendiri?” Bapak itu bertanya.
Ares tersenyum lalu mengangguk.
“Saya foto sendiri Pak. Tapi boleh saya minta tolong?” Tanya Ares sopan.
“Minta tolong apa, nak?”
“Disini disediakan jasa edit foto juga kan, Pak? Tolong pilihkan pose untuk saya ya, lalu editkan saya masuk kedalam protret keluarga yang bapak photo tadi” Ares tersenyum, matanya sendu, nampak memohon.
Bapak itu tampak menimang sejenak. Ares yang paham dengan keraguan Bapak tersebut hanya tersenyum sembari berkata,
“Saya ini gak punya keluarga Pak. Cuman, saya pengen ngerasain gimana foto keluarga secara lengkap. Enggak akan saya gunakan untuk kejahatan kok Pak. Hanya akan saya gunakan sebagai kenangan bagi saya”
-Sea