[Hujan Sore Hari]

Hujan gerimis mengguyur kota sore itu. Suasana nampak syahdu karena langit masih bisa menunjukkan warna merah ungu meskipun ia tengah gerimis.

Ares bersenandung ringan sembari membawa potret berukuran 20R ditangan kanannya. Sejenak ia pandangi potret itu, nampak sangat indah dengan isi tujuh orang-meskipun aslinya hanya ada enam orang, namun Ares benar-benar takjub dengan hasil edit Bapak Fotografer itu. Ares seolah-olah benar-benar berada diantara tawa keluarganya, ya hanya seolah-olah.

Beberapa menit kemudian, Ares menghentikan langkahnya. Dia baru tersadar, saat ini ia salah melangkahkan kaki. Harusnya ia langkahkan kaki kecil itu ke arah kontrakan, namun malah sekarang ia tersadar sudah di perempatan dekat rumah milik keluarga Jainendra.

Ares menghembuskan napas sejenak, memandang rumah besar yang sudah tampak dari tempatnya berdiri itu. Jujur saja, Ares bingung dengan dirinya hari ini. Bisa-bisanya rasa rindu terhadap keluarganya begitu terasa seperti ini, hingga tanpa sadar menggerakkannya hingga sampai di posisi ini.

Ares memandang rumah itu bergantian dengan pandangannya ke arah potret yang sedang ia pegang. Ia rindu.. Ia rindu dengan semua hal yang pernah terjadi bersama dengan keluarga barunya itu—Ya meskipun banyak sedihnya, tapi ada beberapa memori menyenangkan dalam benak Ares.

Dengan sedikit terpaksa, Ares melangkahkan kakinya untuk pergi meninggalkan perempatan itu. Namun lagi dan lagi ia harus menghentikan langkahnya tatkala melihat Mama dan juga Archtur yang tengah berjalan keluar dari supermarket. Keduanya nampak asyik tertawa bersama hingga tidak ada yang menyadari bahwa dari arah kanan melaju. sebuah mobil dengan kecepatan tinggi.

Entah dapat dorongan dari mana, Ares berlari mendekati posisi Ibu dan kakaknya itu.

“MAMA AW—”

“BRAKK!!!”

Belum sempat kalimat itu terlontar penuh, tubuh kecil itu sudah melayang setelah terhantam mobil hitam tersebut. Semuanya berjalan dengan sangat cepat, hingga tubuh itu telah terlentang di aspal dengan jarak beberapa meter dari kedua orang yang tadi sempat ia dorong.

Ares terdiam. Semua sisi dari tubuhnya terasa amat sangat menyakitkan. Saking sakitnya, bahkan ia tidak dapat menggerakkan tubuhnya barang seujung jari. Menikmati sensasi ngilu itu, Ares menatap Langit di atasnya. Semburat oranye keunguan itu kini perlahan pudar tergantikan langit abu. Air yang tadi jatuh dengan sopan, kini berubah menjadi bulir-bulir besar yang kasar. Bau anyir begitu menguar, tubuh kecil itu kini berada di atas genangan darahnya sendiri.

Ares menarik napasnya meskipun terasa sulit. Kepalanya ia tolehkan ke samping, ke arah tangan kanan yang tadi menggenggam erat potret keluarga miliknya. Ares menyunggingkan senyum, kala melihat potret itu tidak terlempar jauh dari tangannya. Genggaman eratnya tadi berhasil mempertahankan potret itu meski kini kondisi potret itu juga tak kalah memprihatinkan. Kaca diatasnya pecah dan ada beberapa siratan darah Ares yang tadi mengenai potret itu.

“A...res?” Ares kenal suara ini meski kali ini suara yang biasanya tenang itu terdengar begitu bergetar.

Ares hanya bisa tersenyum memandang mama yang menghampirinya dengan wajah menangis. Raut khawatir itu begitu jelas tersirat dalam wajah wanita cantik di depannya itu.

“Arch.. Arch... panggil Ambulan.. kak alta .. atau papa ... iya papa... cepatt!!” Mama panik, ia berteriak kepada Arctur.

Jalanan kompleks itu sangat sepi. Tidak ada yang membawa handphone saat ini. Archtur berlari ke arah rumah meskipun ada beberapa bagian dari tubuhnya yang juga terluka.

“Ares.. jangan tidur dulu!” Mama berteriak pada Ares yang mulai menutup mata.

Dengan perlahan, Erina membawa kepala Ares yang penuh darah ke pangkuannya.

“Nya...man...” Ares berujar pelan. Matanya tertutup, namun senyum itu masih sempat ia berikan.

“Kalau nyaman, buka mata Ares ya? Jangan tidur disini.. Ares mau kan tidur sama mama?” Erina meracau. Harusnya ia senang, anak yang ia harapkan mati, kini akan mati tepat di depan matanya. Harusnya ia senang, tetapi mengapa ada bagian dari hatinya ikut merasakan sakit luar biasa ketika melihat tubuh kecil itu berlumuran darah?”

“Ma...” Ares mencoba memanggil Erina.

“Apa sayang? Hmm?” Erina bertanya lembut sembari mengelus kening Ares pelan.

“Ambil... Jant..ung ..A..res ..tuk.. La..ngit” Ares tersenyum, matanya kini mengalirkan buih.

“Enggak. Maafin mama. Harusnya mama gak minta itu dari kamu. Maafin mama.” Erina menggeleng, tangisannya semakin kencang tatkala menyadari dosanya dulu.

“Ar...es.. ng..ntuk..” Ares berucap semakin lirih.

“NGGAK! NGGAK BOLEH! ARES DENGERIN MAMA! ARES GAK BOLEH TIDUR!!!” Erina berteriak seperti kesetanan ditengah hujan yang semakin lebat.

Ares tersenyum. Hatinya menghangat meski tubuhnya mulai tak dapat ia rasakan. Erina ternyata juga menyayanginya, meskipun itu baru dapat ia rasakan kini. Tapi ia sendiri sudah merasa bahagia. Hidupnya sudah terasa cukup kali ini. Dan andaikata ini kali terakhir ia dapat bernapas, ia benar-benar berterima kasih pada Tuhan yang telah memberikannya rasa bahagia meskipun untuk terakhir kalinya.

“Ma...Ma..af... ma..k..si..”

Senyum itu perlahan luntur. Mata sayu itu mulai menutup, hingga jeritan Erina berhasil menutup pendengarannya sebelum kegelapan dan keheningan berhasil merenggut kesadaran tubuh yang kian meluruh itu.


Sea