[Rainy night]

Hujan lebat mengguyur kota. Suasana nampak sepi mungkin karena orang-orang sibuk untuk mencari kehangatan masing-masing.

Di tengah hujan itu, nampak seorang pemuda menuntun sepedanya menyusuri jalan yang nampak lengang. Pundak tegapnya kini nampak bergetar, memperlihatkan betapa rapuhnya ia kini.

Setelah kepergian Erina tadi, Ares hanya menuruti Juno Jainendra untuk melakukan tes DNA di rumah sakit. Setelah itu, ia bersi keras untuk kembali ke kafe dan menolak semua yang Jainendra tawarkan. Jika boleh jujur, sebenarnya itu semua hanya alibi Ares untuk menjauh. Kepalanya terasa ingin pecah bersama suara retakan di dalam hatinya.

Ares menatap langit di atasnya, kemudian ia berhenti, membiarkan lututnya tertekuk bersamaan dengan jatuhnya sepeda yang ia tuntun. Ares menangis tersedu, mencoba menerima takdir yang baru saja ia terima.

“Ibu.. apakah kasih sayang Ares ke ibu itu kurang? Apakah Ares memang tidak layak untuk hidup dalam kasih sayang? Ibu membuang Ares kepada orang yang kata ibu adalah keluarga Ares.. Tapi, Bu.. apa ibu tahu? Bahkan orang yang ibu sebut dengan ibu kandung Ares tidak mau menerima Ares. Dulu.. Ares hidup, Ares tertawa, sampai Ares tampak baik-baik saja itu semua Ares lakukan untuk ibu. Hanya ibu sama bang Naka penyokong hidup Ares. Kalau abang pergi lalu ibu menyusulnya, kepada siapa lagi Ares berpulang? Kepada siapa lagi Ares bisa menunjukkan senyum Ares? Kepada siapa lagi Ares bisa menguatkan diri Ares kalau dunia kejam ini baik-baik aja buat Ares? Kalau bukan ke ibu dan Bang Naka.. kepada siapa lagi? Ibu.. Hidup ini berat, rasanya Ares capek.. Ares sendirian disini.. Dingin Bu... Ares takut... Marahi Ares bu, Pukul Ares kalau perlu.. Asal jangan buang Ares.. Ares cukup besar untuk bisa kerja sesuai keinginan ibu.. Tapi apakah Ibu tahu? Ares masih terlalu kecil, Bu.. Ares terlalu kecil untuk hidup sendiri di dunia yang luas ini...”


-Sea