[The Thruth]
Sore telah lama singgah hingga hendak pulang. Hamparan biru dengan selimut kelabu menyertai rintik gerimis yang jatub. Suasana alam nampak suram, begitupun suasana yang terjadi di meja tengah keafe bergaya klasik tersebut.
Sepasang suami istri dengan seorang wanita paruh baya nampak serius berbincang. Hingga tibalah saat wanita paruh baya itu mengeluarkan sebuah map berisi beberapa berkas penting.
“Apa ini?” Tanya Jainendra setelah menampilkan raut muka muak kepada wanita di depannya.
“Berhari-hari kamu mengganggu di kantor saya hanya untuk ini? Padahal kita juga tidak saling mengenal, Ibu Sintia.”
Jainendra nampak muram. Sedangkan istrinya – Erina – masih menatap wanita di depannya itu dengan tanda tanya.
“Sebelumnya maafkan saya. Hanya saja hari ini saya akan membuat pengakuan dosa kepada kalian. Enam belas tahun lalu, tepatnya tanggal 23 April saya telah melakukan dosa besar dengan menukar putra anda dengan putra milik saya.”
Erina menutup mulutnya kaget. Jainendra semakin menunjukkan rasa tidak suka.
“Berani – beraninya wanita rendahan seperti kamu bermain lelucon dengan keluarga saya?”
“Ini bukan lelucon. Bukankah aneh apabila janin sehat anda kala itu lahir dalam keadaan cacat jantung nyonya? Anak yang bersama anda seharusnya adalah anak saya. Saya sengaja menukar keduanya karena saya ingin anak saya mendapatkan perawatan terbaik dan akhirnya itu terwujud. Langit, putra saya sudah tumbuh menjadi remaja yang sehat. Setiap saat saya mencari berita tentang Langit, dan saya semakin yakin bahwa anda berdua menyayanginya dengan sepenuh hati”
PLAKK!!!
“WANITA GILA!! APA MAKSUDMU?!” Erina murka, ia menampar wanita di depannya.
“Saya memang gila, nyonya! Karena itu saya lakukan dosa besar itu! Tapi hari ini, saya kembalikan putra anda kepada anda. Bawa anak itu menjauh dari saya. Anda boleh masukkan saya ke penjara tapi bawa putra kandung anda kembali. Tentang Langit putra kandung saya, saya juga merelakan Langit tetap tinggal kepada kalian.”
“BAJINGAN GILA!” Jainendra berteriak kepada Sintia.
“Sama memang bajingan. Saya memang wanita paling berdosa. Saya tahu saya salah. Enam belas tahun, saya namakan anak itu dengan Antares sebagaimana anda menamakan kakak kakaknya dengan nama bintang agar saya terus mengingat dosa saya. Enam belas tahun saya biarkan diri saya mengingat dosa-dosa saya hingga rasanya saya ingin pulang ke Tuhan lebih cepat. Enam belas tahun... saya hidup dalam kesengsaran yang telah saya buat. Tapi saya.. saya.. hanyalah seorang ibu yang ingin terbaik untuk putra kandung saya”
Wanita itu menangis, dia benar-benar tampak menyesal dengan hal yang telah ia lakukan.
“Terima kasih sudah membesarkan putra kandung saya dengan sepenuh hati... Tapi maafkan saya. Saya gagal membesarkan putra anda. Saya gagal menjadi ibu yang baik untuknya, Tapi perlu anda ketahui, putra anda tidak pernah gagal menjadi anak. Ini kesalahan saya. Tolong terima dia dan jangan membencinya. Langit dan Ares, keduanya adalah anak yang menjadi korban dari keegoisan saya. Maaf..”
Erina menatap wanita di depannya dengan tatapan tidak menyangka. Matanya ikut menangis mendengar kenyataan yang begitu menghantam jiwanya. Langit... Langit adalah putra bungsunya dan tidak akan bisa tergantikan oleh siapapun.
Mereka bertiga masih dalam suasana yang sangat menegangkan, sampai tidak sadar jika ada tiga remaja yang tadi mendengar semuanya.
“Ibu... itu nggak bener kan?” Suara Ares bergetar. Erina menatap Antares lekat, begitupun dengan Jainendra. Ada rasa rindu yang langsung menyelimuti hati Jainendra, apakah benar remaja di depannya ini adalah putra bungsunya?
Mendengar suara Ares, raut wajah Sintia langsung berubah. Ia tak menangis, namun langsung menunjukkan wajah penuh bencinya.
“Jangan pernah pulang ke rumah saya lagi. Rumah itu sudah saya jual. Saya muak melihat kamu. Pergi jauh! Dan saya harap kita tidak pernah bertemu lagi. Saya membencimu, karena kamu selalu mengingatkan saya kepada dosa saya!”
Wanita itu memberikan sebuah tas punggung besar yang berisi barang-barang kepada Ares.
Lalu dengan gerakan cepat ia mengambil tas dan hendak beranjak dari mejanya. Namun sebelum melangkah, genggaman Ares lebih dulu menahannya.
“Enggak!Ares cuman punya ibu.. kalau Ares gak boleh pulang, Ares mau hidup sama siapa? Ibu boleh marahin Ares, ibu boleh pukul Ares, Tapi ibu jangan tinggalin Ares”
Antares. Lelaki itu menangis, meninggalkan segala rasa ego miliknya. Satu hal yang ia takuti, ia akan sendiri.
Tak ingin mendengarkan tangisan Ares, wanita itu mendorong Ares sekuat tenaga hingga membuat Ares terjatuh di lantai dengan rasa sesak yang menghujam hati kecil miliknya.
Sudah berpuluh menit terlewati namun suasana masih tampak suram. Kejadian tadi begitu menghantam relung hati milik keempat orang di sana.
“Antares, ya?” Jainendra mencoba membuka suara. Ares hanya terdiam tidak menjawab apapun. Namun air matanya masih mengalir diujung kelopak mata sipit miliknya.
Jainendra menghela nafasnya. Kali ini ia harus bisa menjadi pelindung bagi semua keluarganya.
“Udah malam. Pulang dulu, yuk?” Ajak Jainendra.
Erina dan Ares hanya diam. Canopus yang tadi juga di kafe untuk meminta maaf pada Ares juga terlihat gusar melihat situasi saat ini.
“Jangan di bawa pulang” Erina berucap lirih.
“Mah, kalau enggak dibawa pulang Ares mau tidur dimana? Hujan di luar deras kaya gini.” Jainendra mencoba memberi pengertian.
“Kita masih belum tahu kan kalau dia benar anak kandung kita? Bisa saja wanita gila tadi melakukannya karena ingin Ares memiliki harta kita.” Erina berucap kasar, ia denial, namun tanpa sadar kalimatnya itu berhasil melukai hati remaja kecil itu lagi.
“Erina..”
“Enggak. Jangan bawa pulang ke rumah sebelum hasil tes DNA keluar. Aku gak mau Langit drop kalau dia tahu hal yang belum jelas ini.”
Erina menatap tajam Ares. Ares hanya menghembuskan nafasnya. Suasana menjadi hening seketika.
“Cano, ayo pulang sama mamah. Biar Ares di urus papamu. Ingat mas, aku gak mau anak ini pulang ke rumah kita. Pentingin kesehatan Langit”
Wanita itu beranjak menarik Cano meninggalkan dua orang yang saling bersitatap dengan mata sendunya.
“Om pulang saja, Ares bisa jaga diri Ares sendiri”
Jainendra tertegun tatkala mendengar suara Ares yang bergetar namun bibirnya masih menyempatkan senyum.
“Ikut saya ya? Pulang ke apartemen milik saya”
Ares menggeleng lemah. Ia masih tersenyum, namun matanya tak bisa menyembunyikan luka yang kini sedang menggerogoti jiwanya.
“Om sudah lihat? Saya baru saja dibuang oleh wanita yang saya panggil ibu. Mana mungkin sampah seperti saya layak untuk mendapat kemewahan dari Om? Ares masih bisa biayain hidup Ares sendiri tanpa bantuan harta dari om, jadi jangan panggil Ibu dengan sebutan wanita gila harta, ya ? Ibu terlalu berharga untuk dipanggil kasar seperti itu.”
-Sea