-Yakin
Suasana rumah sakit sempat begitu sibuk ketika Jeffrey menapakkan kakinya di sana. Dengan cepat, brankar Jeno dibawa memasuki IGD namun tak berselang lama beberapa dokter membawa brankar itu menuju ruang Operasi.
Anne menangis dalam pelukan Jeff. Ia merasa sangat bersalah. Semua penyesalannya menumpuk menjadi satu. Begitupun dengan Jeffrey yang dari tadi masih terdiam, menunggu dokter keluar dari ruangan Jeno.
Disisi lain nampak juga Marven yang kini sedang merapalkan doanya sembari menunggu pintu terbuka. Niatnya pulang terlebih dahulu untuk memberi kejutan, malah dia yang terkejut.
Rasanya Marven benar-benar ingin meninju ayahnya tadi, namun gairah itu menghilang ketika untuk pertama kalinya ia lihat raut khawatir sang ayah untuk adik bungsunya.
2 jam sudah berlalu ketika suara ruangan Jeno terbuka. Bukannya hal baik yang mendatangi, malah kepanikan luar biasa yang menghinggapi ketiganya saat ada perawat keluar untuk mengambil persediaan darah untuk Jeno.
Lama sudah mereka menunggu hingga pada pukul 3 pagi hingga pada akhirnya tenaga medis keluar dari ruang operasi dan mendorong brankar Jeno keluar menuju ICU.
“Dengan wali dari pasien?” Sapa seorang dokter yang diyakini adalah kepala operasi tadi.
“Saya, Dok. Bagaimana keadaan putra saya?”
Jeffrey bertanya dengan raut begitu khawatir. Sesungguhnya lidahnya kelu saat memanggil Jeno sebagai 'putranya'. Masih pantaskah saat ini ia memanggil Jeno putranya?
“Mohon maaf untuk mengatakan ini, namun kondisi pasien saat ini masih dalam keadaan kritis. Terjadi pendarahan internal pada pasien, lebih tepatnya hemothorax hingga menyebabkan penumpukan darah pada bagian lubang pleura sehingga menyebabkan pasien sulit bernapas.”
“Apa dok?Bagaimana bisa?” Anne tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
“Hemothorax biasa terjadi akibat tusukan tulang rusuk patah atau benturan keras pada area perut. Pada kasus putra anda, sata kira Hemotoraxnya berasal dari benturan keras karena juga ditemukan beberapa luka lebam diseluruh bagian tubuhnya.”
Anne menutup mulutnya tidak percaya. Sedangkan Jeff terdiam sejenak. Rasa penyesalan begitu menguar ketika ia kembali membayangkan bagaimana tangannya dengan beringas menyabet Jeno dengan ikat pinggangnya sendiri.
“Melihat pasien yang masih berseragam, saya kira mungkin bapak dan ibu bisa mengusut kasus putra anda barangkali memang terjadi perundungan pada putra anda. Akhir-akhir ini memang ditemui kasus serupa namun tidak sampai separah ini”
Jeff hanya terdiam, menimang perkataan sang dokter. Sedangkan Marven kini sedang mencoba menenangkan Anne yang dari tadi menangis mendengar penjelasan dokter.
“Untuk sementara waktu, pasien akan mendapatkan perawatan intensif di ICU sampai keadaannya stabil. Sekian, Bapak-ibu, saya undur diri.”
“Terima kasih, dok”
Dokter itu tersenyum sungkan kepada pemilik yayasan rumah sakit ; dengan kata lain adalah bosnya sendiri. Ia paham bagaimana perasaan Jeffrey saat ini. Dulu saja saat Narayan mengalami patah kaki, hati Tama sangat sakit. Apalagi kini Jeffrey yang melihat keadaan anaknya dalam kondisi yang sangat menghawatirkan.
“Saya memang orang baru, namun saya yakin putra anda bisa selamat jika mendapat dukungan penuh dari anda. Saya bukanlah orang yang religius, namun saya pernah mendapatkan ilmu, ' berdoalah dengan keyakinan utuh karena Tuhan akan selalu mendengar doa dari hati yang tidak lalai'. Saya permisi. Sekali lagi, terima kasih”