Seantara

[Never]

Anzel menatap dinding putih disekelilingnya. Suasana nampak sunyi dan senyap padahal diluar matahari sudah mulai bersinar.

Sepi. Kesepian yang selalu merayapi hatinya dua tahun belakangan ini nyatanya tak membuat ia terbiasa. Dulu, diwaktu sehat maupun sakit, Anzel pasti masih selalu bisa tertawa akibat melihat jiplakannya dengan segala tingkal laku anak itu. Jaziel, separuh jiwa yang telah menemaninya selama tiga belas tahun. Kepergian Jaziel secara tiba-tiba pun tak pernah sekalipun terlintas dalam pikiran Anzel. Jaziel telah menemaninya sangat lama, sampai ia berpikir bahwa Jaziel akan selalu membersamainya untuk selamanya. Namun kenyataannya, anak itu sudah pergi, menyisakan luka besar yang selalu menganga dalam diri Anzel.

“Sudah bangun? Jangan terlalu sering melamun.” Dokter berperawakan gagah itupun tersenyum sembari menjentikkan tangannya di depan mata Anzel.

“Masih pusing? Atau ada yang sakit?” Anzel hanya menggeleng lemah. Sebisa mungkin ia tarik bibirnya untuk tersenyum meskipun sangat tipis.

“Saturasi oksigen kamu sudah membaik. Ini nasalnya saya lepas ya.” Ucap dokter itu lagi sembari melepas alat bantu bernapas milik Anzel.

“Mau minum? Sini saya bantu” Dokter itu kembali berucap sembari melancarkan aksinya. Anzel yang memang kehausan menerima bantuan minun itu dengan perasaan hangat.

“Makasih dok” Anzel tersenyum lemah.

“Sama-sama. Panggil saya Joe. Saya teman orangtuamu. Oh iya, baru saja bunda kamu saya minta pulang. Kasian, dari semalam bunda kamu menangis disini.” Jonathan tersenyum hangat sembari menata surai Anzel.

“Bunda?” Anzel kembali bertanya. Ia terkejut. Sejujurnya, ia tak percaya apakah dokter di depannya ini mengatakan kebenaran atau hanya mengatakan penghiburan.

Ntahlah, orang tuanya dan kasih sayang adalah dua hal yang nampaknya bertolak belakang.

Krieet

Pintu terbuka menampakkan Pradip yang telah berpakaian rapi.

“Karena ayahmu sudah datang, saya pamit ya. Semoga lekas sembuh, Jagoan.” Jonathan tersenyum sembari mengusap pelan kepala Anzel, membuat anak itu tersenyum. Apakah ini kehangatan yang biasa anak lain dapatkan?

“Ekhmm” Suara batuk Pradip menginterupsi pemikiran Anzel. Pradip menarik kursi di sebelah ranjang Anzel, menatap lamat wajah layu dan kuyu itu.

Anzel sedikit tersenyum sebisanya untuk membalas kehadiran sang ayah. Matanya menjelajah setiap inchi dari garis wajah sang ayah, oh beginikah wajah sempurna sang ayah jika dilihat dari dekat?

“Kamu… “ Suara Pradip mengambang memberi jeda.

“Sudah tahu?”

“Tahu apa?” Anzel bertanya dengan lemah.

“Bahwa saya tidak pernah mencintai ibumu. Bahwa kamu… lahir dari wanita yang tidak saya inginkan.”

Ada hati yang tiba-tiba menjadi patah berkeping-keping usai Pradip mengatakan itu. Anzel kira, kejujuran ayahnya tidak akan memberikan efek apapun, toh sudah dari dulu ia mengetahui kebenaran ini. Tapi nyatanya, rasanya tetap sama. Tetap sangat menyakitkan seperti waktu Rosaeline membuka rahasia ayahnya.

“Kamu sudah tahu juga kan jika Liam dan Hanan, teman kamu, itu putra saya? Putra dari wanita yang sangat saya cintai.”

Anzel masih terdiam. Lidahnya kelu untuk mengatakan sepatah katapun.

“Kebenaran ini, jangan sampai Liam dan Hanan tahu. Saya tidak mau mereka tersakiti dengan keberanan yang menjijikkan ini. Jadi tolong, jika ada berita apapun tentang kita, berusahalah seakan kamu tidak mengerti apapun.” Pradip berkata dengan lugas. Sejujurnya, ia sendiri tidak cukup yakin untuk mengatakan ini. Hanya saja, Ia takut kalau berita di media massa akan membawa kabar buruk bagi kesehatan putra bungsunya, Hanan Pradipa.

Dirasa selesai dengan urusannya, Pradip beranjak berdiri tanpa pamit kepada Anzel. Sebelum lelaki itu melewati pintu, sebuah suara parau menghentikan langkahnya.

“Apa … ayah juga tidak pernah menginginkan aku menjadi putra ayah? Apa karena Anzel dan Jazel lahir dari wanita yang tidak ayah inginkan, lantas membuat ayah tidak menginginkan kami juga? Lantas, mengapa ayah harus membuat kami lahir?”

———- Sea

[Anzel dan Teman Lama]

“Bisa saya bicara dengan wali pasien?” Seorang lelaki bersnelli berucap, keluar dari pintu rawat Anzel.

“Joe?” Pradip bergumam kala netranya menatap lelaki yang tak asing di depannya.

“Pradip? Rosie? Orang tua pasien?” Lelaki yang dipanggil Joe itu memastikan apa yang ada di depannya.

“Gimana anakku, Joe?” Rosie memutus keheranan Jonathan.

“Luka dikepalanya hanya benturan biasa dan tadi sudah dijahit. Tetapi..” Joe nampak sedikit berpikir.

“Maaf, apakah Anzello ada gangguan kejiwaan?” Joe bertanya dengan hati-hati, membuat Pradip tertegun.

“Apa maksudmu? Anak itu gak—“

“Iya. Sudah dua tahun ini dia menemui psikiater akibat gangguan PTSD.” Rosaeline menjawab pertanyaan Jonathan. Nampak kesenduan diwajah ayu itu.

“Begini Ros, dari rekaman medis pasien, sebelumnya Anzel memiliki riwayat asma, kan? Sayangnya, dari hasil pemeriksaan yang telah dijalankan, sepertinya ada penyempitan jalur napas pada Anzello. Ini memungkinkan pasien akan lebih sering sesak napas, apalagi mengingat pasien mengalami PTSD. Saran saya sebagai dokter, tolong pantau dan perhatikan gaya hidup Anzello. Jangan biarkan dia memikirkan sesuatu terlalu berat yang dapat memicu stress, serta saya sarankan untuk tetap lanjut konsultasi dengan psikiaternya.”

Jonathan berkata panjang lebar. Sedangkan Rosaeline dan Pradip terdiam.

“Thanks, Joe.” Rosaeline berucap pelan.

“It’s okay. Kalian mau ngopi dulu ke kantin? Anzello kemungkinan akan bangun besok karena pengaruh obat penenang.”

“Joe…” Pradip menyahuti ajakan Jonathan.

“Jangan berpura-pura seolah lo gak lihat apapun disini. Gue sama Rosie—“

“Gak perlu menjelaskan. Itu hidup kalian.” Jonathan berkata dengan datar.

“Jangan cerita apapun tentang Anzello ke Diana. Dia selama ini udah cukup tersakiti dengan tidak dapatnya restu dari orangtua gue. Gue balik dulu. Thanks.” Pradip berlalu usai mengucapkan kalimat yang membuat kedua orang disana membisu.

Sedikit lama Jonathan memandang Rosaeline yang sampai kini matanya masih mengikuti langkah Pradip dengan tatapan sendu.

“Lo okay?” Jonathan bertanya pelan.

Rosaeline tersenyum, tetapi satu tetes dari ujung kelopaknya berhasil meluruh.

“As you see. Bahkan sampai sekarang, sampai dimana gue jadi istri sahnya pun, gue selalu kalah sama Diana. Tujuh belas tahun juga bukan waktu yang mudah bagi gue buat mempertahankan hubungan ini. Gue udah berusaha bikin Pradip at least ngehargain eksistensi dari anak-anak gue. Tapi, nyatanya susah banget Jo. Gue sampai mikir, butuh berapa lama lagi sampai lelaki brengsek itu bisa lihat kalau disini ada gue sama Anzel.”

——- Sea

Found You

“Anzel dimana, Bi?” Rosa bertanya kepada mbok Inah saat tak melihat eksistensi putra semata wayangnya itu dimana-mana. Biasanya, di jam seperti ini anak itu tengah belajar di kamarnya atau menyantap hidangan kecil di meja makan sembari membawa buku.

“Loh? Saya kira sama ibu atau bapak. Soalnya aden belum pulang Bu dari tadi pagi. Pak Supri juga belum pulang dari sekolah Aden.” Bi Inah menjawa Rosie sekadar yang ia tahu.

Tin!Tin!

Suara klakson mobil dan gesekan gerbang menyapa indera pendengaran Rosa Dengan cepat Ia melangkahkan kakinya ke pintu depan.

“Bagus, ya! Sekolah dari pagi tapi baru pulang? Bunda dapat kabar kamu bo-“ Teriakan Rosa terhenti kala matanya malah menangkap presensi sang suami, Pradipa.

“Dimana Anzel?” Tanya Rosa tegas sedangkan Pradip hanya melengos.

“Maaf Bu, tadi saya diminta jemput Bapak. Kata Bapak, Dek Anzel pulang bersama ibu.” Pak Supri nampak sedikit takut menjelaskan.

Deg

Jantung Rosa rasanya berdetak tiga kali lebih cepat. Dengan langkah tergesa ia masuk ke rumah. Mengambil HP nya, berulang kali menekan nomor Anzel.

“Kenapa kamu ini? Bisa tenang dikit gak? Saya capek, apalagi melihat kamu uring-uringan tidak jelas seperti ini.” Pradip berkata ketus.

“Brengsek kamu, Pradip! Gimana bisa kamu tinggalin anak kamu gitu aja?!” Rosa berteriak marah.

“Ck, lebay sekali. Dia sudah besar, Rosaeline!” Pradip ikut marah, merasa istirahatnya terganggu.

“Arghhhh!!!” Bukannya menjawab Pradip, Rosaeline segera mengambil kunci mobil yang ada di meja.

Melihat perangai aneh dari Rosaeline, Pradip mencoba mengejar wanita itu, menarik tangan lentik Rosa.

“Lepas! Lepasin aku! Aku harus cari Anzel. Minggir!” Rosaeline berteriak marah pada Pradip yang menghalangi jalannya.

“Oke fine, sini kuncinya. Biar saya yang menyetir.”

“Tiba-tiba peduli?”

“Hanya penebusan rasa bersalah. Lagipun saya tidak akan membiarkanmu dengan napas kacau seperti itu untuk menyetir. Kalau kamu mati di jalan, akan sangat merepotkan saya.” Pradip berkata dengan enteng sembari memasuki mobil audi hitam milik Rosa, tanpa menyadari bahwa hari ini ada hati kedua yang telah ia patahkan.

——-

Jalanan nampak tampak sibuk. Rosaeline menatap sekeliling jalan, mencari keberadaan putranya yang tadi sudah tidak ada di area sekolah.

Ckitt.

Pradip mengerem secara mendadak tatkala matanya menangkap sosok yang amat familiar disana.

“Anzel…” Rosie berkata hendak keluar mobil, tetapi tangannya dicekal oleh Pradip.

“Sadar, Rosie! Kamu publik figur! Semua mengenalimu. Kau tau kan apa konsekuensinya?”

“Aku gak peduli. Anakku kesakitan, Pradip!” Rosie berteriak sembari berderai airmata.

Tanpa aba-aba, Pradip membuka pintu mobil. Langsung berjalan ke arah Anzel yang kini tengah menunduk.

“An—“

“Sakit! Sakit!” Belum sempat Pradip memanggil, bocah itu bergumam sembari memukul keras kepalanya.

Ah sial, ada apa dengan orang-orang yang ada disini. Apakah ini tontonan yang menyenangkan hingga mereka mengangkat ponsel mereka?

“ENGGAK! JAZEL JANGAN MENYEBRANG!!”

Suara teriakan yang amat Pradip kenal membuatnya bergeming. Tidak, Pradip kehilangan sepersekian detiknya untuk mencegah anak itu. Dengan kekuatan yang ntah dari mana, Pradip segera berlari, mengikuti langkah sang putra.

“ANZEL!”

BRAK!!!

Kedua tubuh itu mendarat di tepian jalan. Pradip berhasil menangkap dan membawa putranya dari tabrakan itu meskipun sedikit luka mereka dapatkan karena membentur paving jalan.

“Jazel… jangan pergi… “ Pradip lihat putranya itu meneteskan air mata, ia masih nampak tak sadar dengan apa yang baru saja terjadi.

“Jazel…Katanya kita beri kejutan Ayah… Ayah kan akan sayang ke kita….jangan..”

Anak itu bergumam pelan, kemudian menutup matanya. Meninggalkan Pradip dengan berjuta gelayar aneh di dadanya.

———— Sea

[Bertemu Jaziel]

Anzel menatap sekelilingnya. Hari sudah mulai gelap. Lima menit yang lalu, Guru BK pasrah dan menyuruh Anzel pulang karena orangtuanya tak kunjung datang.

Anzel menelisik seluruh area penjemputan. Kosong, tak ada mobil Pak Supri yang biasanya menjemputnya. Karena mulai lelah, Anzel berjalan keluar, duduk di drop point untuk taxi. Ia sedikit menyesal karena semalam lupa mengisi daya ponselnya sehingga ponsel itu mati saat dibutuhkan seperti sekarang.

Waktu berlalu, hampir satu jam anak itu terduduk disana tapi tak ada satupun transportasi umum yang melewatinya. Bagaimana tidak? Ini sudah pukul 20.03 sedangkan pengoperasian bus atau taxi di area sekolahnya hanya sampai jam 6.30.

Dengan langkah sedikit gontai, anak itu mulai keluar ke arah jalan besar, barangkali ia bisa mendapatkan transportasi disana. 15 menit anak itu berjalan, cahaya lampu kendaraan dan suara klakson yang saling tumpang tindih mulai memunculkan perasaan tak nyaman.

Tubuh anak itu mulai bergetar, keringat seukuran biji jagung mulai membantai pelipisnya. Ia menghela napasnya kasar kala merasakan dadanya sedikit terhimpit. Tidak, tidak boleh. Ia tidak boleh seperti ini.

Anzel mulai melanjutkan langkahnya, namun belum ada lima menit, ia kembali berhenti. Kali ini sakit di dadanya seperti tidak bisa ditolerir lagi, membuat napsnya tersengal dan putus-putus.

NGINGGGGG Suara klakson mulai membuat telingannya berdenging. Kelereng Birunya menutup dan membuka dengan cepat sembari merasakan sensasi silai dari kendaraan yang berlalu disampingnya. Ia ingat. Suasana ini, dengingan ini, darahh…

Tolongggg… dadanya terasa ditimpa ribuan kilo jarum. Tidak, dia takut, suasana ini.. suasana persis seperti sore itu. Kilatan kejadian tragis itu kembali muncul dalam kepala Anzel. Sejenak, Anzel mulai memukul kepalanya, mencoba menghilangkan kenangan buruk. Otaknya bergemuruh, tapi dapat ia lihat, orang-orang mulai mengambil handphone untuk merekam aksi Anzel, Anzel sudah gila, mungkin begitu pikir mereka.

Setelah perkelahian batin yang begitu menyiksa, Anzel mulai membuka mata. Tatapan anak itu kosong menatap jalan raya di depannya. Namun sepersekian detik kemudian, anak itu mulai tersenyum. Tangannya seperti melambai ke arah sebrang. Namun, senyum itu hilang kala ia mulai mengingat kejadian yang ada dalam pikirnya.

“ENGGAK! JAZEL JANGAN MENYEBRANG!!!” Anak itu berteriak, seolah-olah ada orang lain yang ia peringatkan.

Tanpa aba-aba, Anzel lngsung berlari, menerjang belasan motor yang tengah berlalu lalang.

Deru klakson yang saling menyahut, denging, bau darah, semuanya seperti meraung di kepala Anzel.

BRAKKK

Hanya suara itu yang dapat Anzel tangkap sebelum kegelapan menyelimutinya.

—— Sea

[Bertemu]

“Terimakasih Pak Pradipa. Kami senang anda mempercayakan putra anda yang kedua di sekolah ini” Wakil kepala sekolah tersenyum sembari menghantar Pradip untuk keluar ruang kepala sekolah.

Pradip tersenyum maklum, seperti ia terbiasa untuk mendapatkan perlakuan seperti ini. Bagaimana tidak? Siapa di sekolah ini yang tidak mengenal Pradipa Jauhar? Sosok pengusaha sukses yang memiliki putra berotak brillian, Liam. Dan juga seorang dermawan yang seringkali membantu dana sekolah.

“Terima kasih kembali, Pak. Saya titip anak bungsu saya ya. Mungkin sedikit lebih susah daripada Liam karena kondisinya istimewa.”

“Bapak jangan khawatir. Serahkan saja pada kami. Kami aka—“

“KAMU ITU ANAK PUNGUT ATAU ANAK SIAPA?”

Suara sedikit bernada tinggi itu berhasil menembus pendengaran Pradip ketika melewati ruang BK.

“Saya tahu kamu pintar. Tapi tolong komunikasikan lagi hal-hal mengenai sekolah kepada orangtua kamu. Sudah beberapa rapat yang dilewatkan oleh walimu.” Suara lain menginterupsi agak sedikit lembut.

“Kita ini sekolah bergengsi. Sekolah terbaik yang membentuk murid-murid terbaik. Tapi kami tidak bisa jika hanya searah dari kami. Kami perlu mengkonsultasikan evaluasi bulanan kamu pada orangtuamu juga, Anzelo Jauhar!”

Deg!

Ada sedikit getar yang tiba-tiba menghampiri dada Pradip. Itu, itu nama anak itu. Nama yang juga menyandang nama luhurnya. Sedikit mengintip, dapat Pradip lihat sesosok remaja yang seperti tengah disidang oleh beberapa guru wanita disana. Anak itu tampak menundukkan pandang, enggan mengucap pembelaan apapun.

“Saya tidak mau tahu. Besok, bawa salah satu walimu ke sekolah.” Telak, ucapan itu terlontar dari sosok guru senior yang Pradip ketahui sebagai senior kesiswaan murid di Neo.

“Mohon maaf, Bu. Apakah boleh diwakilkan? Orang tua saya sibuk” Anak itu menjawab lirih, seperti takut terkena semprot lagi.

“Kamu pikir di sekolah ini hanya orangtua kamu saja yang sibuk? Lihat teman-teman kamu. Mereka sama, dari keluarga yang sama sibuknya. Tapi orangtua mereka masih menyempatkan, kan? Atau lebih mending biodata kamu ditulis sekalian tidak punya orangtua, biar segalanya mudah bagi sekolah memutuskan.” Anzel cukup tertegun dengan apa yang dikatakan oleh gurunya itu.

Ia tahu, sekolah ini selalu melibatkan apapun dalam hal perkembangan belajar siswa. Tapi ia tidak mengira bahwa sepenting itu untuk harus selalu berbicara dengan orangtua murid dalam pengambilan keputusan. Oh, sekolah mahal.

“Saya minta maaf” Hanya itu yang dapat Anzel katakan meskipun banyak sumpah serapah yang ingin ia lontarkan.

“Hubungi orangtuamu. Dan jangan harap kamu bisa pulang sebelum salah satu dari mereka datang.” Bu Sri, guru senior itu memutus. Meskipun tampak ada tatapan menolak dari Bu Sarah, pembimbing akademik Anzel, tapi tetap saja itu tidak mengubah keadaan.

“Ehem” Deheman wakil kepala sekolah memutus suasana tegang disana. Bu Sri yang awalnya bermuka masam, kini langsung tersenyum rekah saat melihat sosok Pradipa Jauhar di depan pintu.

Anzel tiba-tiba tersenyum saat melihat eksistensi dari lelaki itu.

“Aduhh, Pak Pradipa sudah mau pamit, ya? Maaf ya Pak kalau tadi sedikit ramai. Biasa, anak baru harus didisiplinkan” Bu Sri tersenyum.

“Oh iya Bu, tidak apa-apa. Tadi saya hanya tidak sengaja lewat. Kalau begitu mari, Bu.” Pradip tersenyum hormat sembari melangkahkan kakinya menjauh dari ruangan itu. Meninggalkan Anzel yang matanya tak lepas membidik tubuh tegap Pradip.

Oh ayolah, ini kesalahannya. Tak seharusnya ia menaruh harap, apalagi pada Pradip. Bodoh kamu, Anzel! Seharusnya kamu yang paling tahu kalau ayah datang bukan untukmu.

Ayah? Ntahlah, masihkah Anzel harus memanggil Pradip sebagai Ayah? Nyatanya Pradip tak pernah sekalipun menjadi Ayah yang sebenarnya untuk Anzel. Anak itu menunduk, mencoba meredam rasa luka akibat harapannya sendiri. Dia kan sudah terbiasa, harusnya ini tidak akan sakit, kan? Tapi kenapa hatinya masih sangat sakit mendapat perlakuan seperti ini.

“Kamu lihat tadi? Beliau salah satu pengusaha tersohor di negara ini. Tapi beliau masih menyempatkan diri untuk rapat mengenai perkembangan putranya. Bilang ke orangtuamu, contoh beliau.”

—————— Sea

[Rosaeline’s feeling]

“Bisakah kau mendidik anak? Sebenarnya, apa yang selama ini kamu lakukan? Jangan biasakan dia manja di rumah orang lain.”

Pradip berujar ketus sembari menyesap kopi di sofa kamarnya.

“Excuse me? Rumah orang lain? Ini rumahnya, Pradip. Biarkan dia bersikap selayaknya ini miliknya! Aku heran, seorang Pradipa Jauhar mau memasuki kamar wanita ini hanya karena secangkir teh dan beberapa remah roti yang dimakan oleh putranya sendiri? Ahahah aku kehilangan kata-kata.” Rosaeline tersenyum remeh sembari membersihkan makeup di wajahnya.

“Jaga batasanmu, Rosa!” Pradip berkata keras, harga dirinya sedikit tersentil karena mendengar ucapan Rosa.

“Apa?! Kurang jaga batasan bagaimana lagi aku?!” Rosa tersulut.

Pradip memunculkan senyuman miring, sembari menaupkan tangannya pada dagu Rosaeline.

“Apa kau lupa bahwa aku adalah Pradipa Jauhar? Aku bisa menghilangkan orang yang menghalangi jalanku.. bahkan tanpa bersuara.”

Rosaeline terdiam. Ia tatap lekat mata angkuh itu. Memuakkan.

“Apa kau juga lupa? Hanya dengan satu kalimatku di depan kamera, aku bisa memastikan keluarga bahagiamu itu hancur, Pradip. Ahhaha” Rosaeline terkekeh.

“Oh iyaa, bagaimana jantung anak kesayanganmu itu kalau tahu bahwa dia yang selama ini dilabeli dengan ‘permata Pradipa’ hanyalah seorang anak haram? Apakah jantungnya masih akan berdetak? Atau—“

PLAKK!!!

Tangan besar Pradip dengan entengnya menampar pipi putih Rosaeline. Membawa suara nyaring dan jejak merah disana.

“Aku akan memastikan bahwa kamu tidak bisa menyentuh seujung kuku pun milik keluargaku.”

Rosaeline menatap Pradip dengan mata yang memerah. Bukannya takut dengan ucapan Pradip, ia malah tertawa kencang selayaknya orang gila.

“Ouhh maaf.. maaf.. ini sungguh lucu” Ia memainkan tangan untuk mengusap air mata akibat tertawa terlalu kencang.

“Lucu sekali kamu memainkan peran sebagai ayah heroik disini. Ayah yang sangat sayang pada anak-anaknya ahahaha bullshit! Kau bahkan tidak bergeming saat anakmu mati didepan matamu, Pradip! Aku benar-benar ingin tahu, apakah pernah ada rasa kesedihan dihatimu atas kepergian Jazel?” Rosa menatap wajah Pradip lekat, mencoba mencari jawaban pada raut datar itu.

“Anak nakal itu… bahkan.. disaat terakhir napasnya, dia hanya memanggil namamu… anak itu memanggil namamu… apa kau membalas pnggilannya? apakah kau pernah memanggil namanya barang sekali?” Suara Rosa melembut. Tanpa Pradip sangka, wajah Rosaeline yang awalnya marah, kini sudah berderai air mata.

“Anak-anakku.. mereka tidak punya ayah. Jadi, jangan terlalu mengomentari bagaimana tingkah lakunya. Kamu jahat, Pradip.. kamu.. lelaki paling berengsek yang pernah aku temui. Aku menyesal. Aku merasa bersalah dengan putra-putraku. Andainya waktu bisa diulang, aku tidak akan pernah lagi mau untuk mengenalmu, Pradipa Jauhar.”

——- Sea

[Pertemuan dan Permintaan]

“Oh? Ayah?” Anak itu mengerjap pelan saat netranya menangkap siapa yang tadi menekan bel rumahnya itu. Niat menata barang-barang ia urungkan tatkala melihat kedatangan sosok yang ia rindukan.

“Ayah apa kabar?” Anzel teraenyum hendak meraih tangan putih sang ayah namun keburu ditepis oleh empunya.

“Bunda dimana?” Pradip bertanya sembari melepaskan Jasnya.

“Tadi katanya ada meeting sama brand kecantikan, belum balik.”

“Ck, bundamu itu. Masih saja keras kepala bekerja kesana-kemari.” Pradip berkata sembari melihat ponselnya, ketara sekali dia tidak menyukai sikap Rosie.

“Mau kemana kamu?” Pradip bertanya saat Anzel hendak membawa koper ke arah salah satu kamar disana.

“Mau menata barang, Yah. Kata bunda, mulai hari ini kita bakal tinggal serumah.” Anak itu berkata sambil tersenyum.

“Jangan pernah masuk kedalam dua kamar itu. Keduanya sudah mempunyai pemilik. Pakai kamar dilantai atas.”

“Tapi Yah-“

“Saya tidak suka dibantah, Anzel! Ini rumah saya. Saya berhak menentukan dimana kamu akan tidur.”

“Maaf, Ayah.” Anzel menunduk.

“Duduk dahulu. Kenapa kamu mau pergi saat saya berbicara? Bundamu itu tidak mengajarkan kamu sopan-santun hah?” Pradip menatap Anzel nyalang, sedangkan Anzel sedikit beringsut.

Anzel memang bahagia bertemu dengan ayahnya. Tapi mungkin berbeda dengan Pradip yang selalu tidak senang saat bertemu dengan Anzel.

“Pindahlah sekolah. Bilang ke Bundamu kalau kamu mau pindah dari Neoglobal School.”

“Kenapa?” Anzel memberanikan diri menatap Pradip.

“Neoglobal sekolah terbaik disini, Yah. Aku gak mau pindah dari sana. Memangnya ayah tidak ingin aku bersekolah ditempat terbaik? Apa ayah gak pengen yang terbaik buat aku?” Anzel membungkam Pradip.

“Toh kalaupun ayah nyuruh aku pindah, aku bisa apa sih, Yah? Ayah dan Bunda itu sama, sama-sama gak pernah mau dengerin apa yang Anzel mau. Kalau ayah maunya itu terjadi di Anzel, coba ayah sendiri yang bilang ke Bunda. Bunda itu sangat mencintai Ayah, barangkali Bunda mau dengerin omongan ayah. Aku permisi dulu, mau beberes.”

—————- Sea

[Diary Jean]

Dear Mama dan Papa, Orang yang kuanggap sebagai tempat pulang.

Papa, rumah itu apasih? Jean ngga ngerti. Rumah itu bangunan yang isinya kebahagiaan bukan? Tapi kenapa ya, Jean belum dapet kebahagiaan itu di hidup Jean? Berarti Jean tidak punya rumah, ya?

Mama, nyaman itu apasih? Orang bilang rumah bisa memberikan kenyamanan dan kedamaian di hati penghuninya. Tapi Jean belum dapetin kenyamanan itu. Berarti Jean belum punya rumah, ya?

Bangunan yang Jean tempati dengan Mas Darrel ini hanyalah batu bata yang dibangun dengan megah sebagai luaran, tapi di dalamnya kosong. Seperti tak ada kehidupan.

Di rumah sebesar ini, Jean hanya tinggal berdua dengan Mas Darrel, itupun kalau dia tidak sibuk bekerja. Tidak ada tawa disini. Tidak ada kebahagiaan, pun tidak ada kehangatan di rumah ini.

Kalian pergi, meninggalkan Jean dengan berjuta pertanyaan, “mengapa hanya abang dan kakak yang kalian bawa? Mengapa Jean sendirian yang disini? Mengapa Jean tidak bisa bersinggah pada rumah baru kalian? Mengapa kalian meninggalkan Jean pada kesendirian di dalam bangunan yang disebut rumah ini?”

Masing-masing dari kalian telah membangun rumah baru, hanya Jean saja yang belum. Papa dengan Bang Jevan, Rayyan dan Bunda. Mama dengan kak Marshell dan papi. Mas Darrel juga membangun rumahnya sendiri tanpa Jean bisa masuki. Lalu, bolehkah Jean juga membangun rumah Jean sendiri? Tapi dengan siapa? Jean tidak punya siapa-siapa disisi Jean kecuali Tuhan. Haruskah Jean membangun rumah itu bersama-Nya?

—————- Sea

[Boleh Ael Cicip?]

Bagi beberapa orang mungkin mereka memiliki hari-hari yang membahagiakan dan menyenangkan meskipun terkadang juga singgah perasaan sedih. At least mereka tidak hidup seperti zombie, begitu pikir Ael.

Aelazar Genio, lelaki itu menghembuskan napas kasar kala pikirannya menerawang jauh. Sebenarnya apa maksud dari Tuhan menciptakan dirinya? Dia itu hanya anak lemah dan cengeng, sangat mudah sekali menangis. Sebenarnya apa yang Tuhan perlihatkan kepadanya sampai Aelazar menyetujui untuk lahir di dunia ini? Ntahlah, Ael pun juga bingung. Satu yang ia yakini saat ini, mungkin memang Tuhan sedang menyiapkan kebahagiaannya.

Ael menutup lembar diary yang tadi ia tulis. Ia pandangi lagi kalimat terakhir yang ada pada lembar itu sembari hatinya pun ikut mencoba memaknai.

“Kita saja mau menanti masakan chef mahal terbaik dengan riang hati, mengapa kita harus ragu-ragu dalam menanti takdir yang Tuhan ciptakan untuk kita?”

Ael tersenyum melihat tulisan itu, tapi entah mengapa sebulir air terlepas begitu saja dari kelopak mata indahnya.

“Tapi Ael pun sampai sekarang gak dapet rambu-rambu apapun tentang kebahagiaan itu Tuhan. Hanya ada rumpang.”

Kosong. Entahlah, bagian mana dari dirinya. Yang jelas, hati, jiwa, bahkan seluruh persediannya merasakan kekosongongan. Sunyi, dunia miliknya hanya terasa seperti hembusan angin, pergi tanpa terlalu dihiraukan.

Rasanya memang kosong, tapi sangat menyesakkan. Jiwanya ingin menjerit, tapi saking kosongnya perasaannya tak mampu menyampaikan apapun.

“Sekali aja... sekali aja Tuhan... Ael mau merasakan keramaian yang damai di hati Ael. Bukan hanya perasaan kosong yang menyesakkan dada seperti ini. Apakah boleh? Boleh Ael cicipi sedikit?”


Sea

[Kasih Sayang Ibun]

Devian melangkahkan kaki jenjangnya dengan tergesa sembari mendobrak kasar pintu kamar Ael, membuat Ael yang sedang tertidur begitu terkejut.

“Berapa kali ayah bilang buat nggak jadi anak manja, huh? Kurang jelas ayah ngomong apa?” Devian berteriak marah sembari mendudukkan paksa tubuh Ael.

Ael memejamkan matanya. Kepalanya terasa amat pusing dan dadanya mulai kembang-kempis dengan cepat guna meraup oksigen lebih banyak.

“D..ad.. A-ael gatau maksud Dad” Anak itu menjawab dengan napas tersengal.

“Gak tau kamu bilang?! Kamu kan yang bilang ke anak ibun kalau kami ninggalin kamu sendiri dan ngurung kamu di rumah ini?! Mau kamu apa sih? Mau bikin ibun dan ayah keliatan jahat di depan anak-anak kami yang lain?!” Devian meremat pundak Ael keras, membuat anak itu sedikit merintih.

“Udah Mas.. hiks.. udah... jangan karena aku, terus kamu sakitin Ael kaya gini. Aku gak papa kok. Mungkin Ael yang belum bisa nerima aku sebagai pengganti mommynya” Ibun menangis, mencoba mencegah Devian. Sedangkan Devian kini malah menjabak rambut Ael.

“Lihat kamu! Lihat! Karena kamu, Istri saya menangis sedih. Kalau kamu tidak bisa memberikan manfaat apapun dalam hidup kamu, harusnya kamu gak jadi anak yang bikin orang lain kena sialnya, Aelazar Genio!” Devian melepas tangannya kasar, menyebabkan helaian rambut rontok ditangannya.

Ael membisu. Air matanya tak bisa ia bendung. Kali pertama, untuk kali pertama ayahnya bermain tangan secara kasar seperti ini.

“Dengar ayah baik-baik. Cukup kamu hidup dan bernapas saja. Jangan lakukan apapun diluar itu. Jangan sampai ada orang lain, utamanya keluarga ayah yang jadi sial karena kamu. Jauhi anak-anak ayah. Ngerti?”

Devian berkata tegas, menusuk ulu hati Ael.

“Bisu kamu?! Ngerti gak? Atau sekarang udah nggak ngerti lagi bahasa manusia?” Devian berkata dengan smirk diwajahnya, sedangkan Ael hanya mengangguk lemah. Entahlah, mendengar kalimat buruk ayahnya membuatnya kehilangan begitu banyak energi.

“Mas udah, kasihan Ael. Mas sekarang keluar, biar aku yang nenangin Ael.” Ibun mengelus punggung Devian dan membuatnya pergi dari kamar itu.

“Pakai inhealer kamu. Saya gak mau kalau kamu mati disini.” Ibun menyerahkan inhealer Ael yang tadi berada di laci nakas.

Asmara tersenyum sangat hangat sembari mengelus rambut panjang Ael yang terlihat lepek.

“Aelazar.... seharusnya dari awal kamu tidak perlu lahir. Tapi, karena kamu sudah terlahir, maka kamu harus hidup. Harus hidup lama dengan segala kehancuran. Kamu tahu? Itu karma.. Karma karena kehadiran kamu membuat saya pernah hidup tersiksa. Jadi, terima saja ya ,sayang? Terima 'kasih sayang' Ibun barumu ini.”


Sea