[Boleh Ael Cicip?]
Bagi beberapa orang mungkin mereka memiliki hari-hari yang membahagiakan dan menyenangkan meskipun terkadang juga singgah perasaan sedih. At least mereka tidak hidup seperti zombie, begitu pikir Ael.
Aelazar Genio, lelaki itu menghembuskan napas kasar kala pikirannya menerawang jauh. Sebenarnya apa maksud dari Tuhan menciptakan dirinya? Dia itu hanya anak lemah dan cengeng, sangat mudah sekali menangis. Sebenarnya apa yang Tuhan perlihatkan kepadanya sampai Aelazar menyetujui untuk lahir di dunia ini? Ntahlah, Ael pun juga bingung. Satu yang ia yakini saat ini, mungkin memang Tuhan sedang menyiapkan kebahagiaannya.
Ael menutup lembar diary yang tadi ia tulis. Ia pandangi lagi kalimat terakhir yang ada pada lembar itu sembari hatinya pun ikut mencoba memaknai.
“Kita saja mau menanti masakan chef mahal terbaik dengan riang hati, mengapa kita harus ragu-ragu dalam menanti takdir yang Tuhan ciptakan untuk kita?”
Ael tersenyum melihat tulisan itu, tapi entah mengapa sebulir air terlepas begitu saja dari kelopak mata indahnya.
“Tapi Ael pun sampai sekarang gak dapet rambu-rambu apapun tentang kebahagiaan itu Tuhan. Hanya ada rumpang.”
Kosong. Entahlah, bagian mana dari dirinya. Yang jelas, hati, jiwa, bahkan seluruh persediannya merasakan kekosongongan. Sunyi, dunia miliknya hanya terasa seperti hembusan angin, pergi tanpa terlalu dihiraukan.
Rasanya memang kosong, tapi sangat menyesakkan. Jiwanya ingin menjerit, tapi saking kosongnya perasaannya tak mampu menyampaikan apapun.
“Sekali aja... sekali aja Tuhan... Ael mau merasakan keramaian yang damai di hati Ael. Bukan hanya perasaan kosong yang menyesakkan dada seperti ini. Apakah boleh? Boleh Ael cicipi sedikit?”
Sea