[Bertemu]

“Terimakasih Pak Pradipa. Kami senang anda mempercayakan putra anda yang kedua di sekolah ini” Wakil kepala sekolah tersenyum sembari menghantar Pradip untuk keluar ruang kepala sekolah.

Pradip tersenyum maklum, seperti ia terbiasa untuk mendapatkan perlakuan seperti ini. Bagaimana tidak? Siapa di sekolah ini yang tidak mengenal Pradipa Jauhar? Sosok pengusaha sukses yang memiliki putra berotak brillian, Liam. Dan juga seorang dermawan yang seringkali membantu dana sekolah.

“Terima kasih kembali, Pak. Saya titip anak bungsu saya ya. Mungkin sedikit lebih susah daripada Liam karena kondisinya istimewa.”

“Bapak jangan khawatir. Serahkan saja pada kami. Kami aka—“

“KAMU ITU ANAK PUNGUT ATAU ANAK SIAPA?”

Suara sedikit bernada tinggi itu berhasil menembus pendengaran Pradip ketika melewati ruang BK.

“Saya tahu kamu pintar. Tapi tolong komunikasikan lagi hal-hal mengenai sekolah kepada orangtua kamu. Sudah beberapa rapat yang dilewatkan oleh walimu.” Suara lain menginterupsi agak sedikit lembut.

“Kita ini sekolah bergengsi. Sekolah terbaik yang membentuk murid-murid terbaik. Tapi kami tidak bisa jika hanya searah dari kami. Kami perlu mengkonsultasikan evaluasi bulanan kamu pada orangtuamu juga, Anzelo Jauhar!”

Deg!

Ada sedikit getar yang tiba-tiba menghampiri dada Pradip. Itu, itu nama anak itu. Nama yang juga menyandang nama luhurnya. Sedikit mengintip, dapat Pradip lihat sesosok remaja yang seperti tengah disidang oleh beberapa guru wanita disana. Anak itu tampak menundukkan pandang, enggan mengucap pembelaan apapun.

“Saya tidak mau tahu. Besok, bawa salah satu walimu ke sekolah.” Telak, ucapan itu terlontar dari sosok guru senior yang Pradip ketahui sebagai senior kesiswaan murid di Neo.

“Mohon maaf, Bu. Apakah boleh diwakilkan? Orang tua saya sibuk” Anak itu menjawab lirih, seperti takut terkena semprot lagi.

“Kamu pikir di sekolah ini hanya orangtua kamu saja yang sibuk? Lihat teman-teman kamu. Mereka sama, dari keluarga yang sama sibuknya. Tapi orangtua mereka masih menyempatkan, kan? Atau lebih mending biodata kamu ditulis sekalian tidak punya orangtua, biar segalanya mudah bagi sekolah memutuskan.” Anzel cukup tertegun dengan apa yang dikatakan oleh gurunya itu.

Ia tahu, sekolah ini selalu melibatkan apapun dalam hal perkembangan belajar siswa. Tapi ia tidak mengira bahwa sepenting itu untuk harus selalu berbicara dengan orangtua murid dalam pengambilan keputusan. Oh, sekolah mahal.

“Saya minta maaf” Hanya itu yang dapat Anzel katakan meskipun banyak sumpah serapah yang ingin ia lontarkan.

“Hubungi orangtuamu. Dan jangan harap kamu bisa pulang sebelum salah satu dari mereka datang.” Bu Sri, guru senior itu memutus. Meskipun tampak ada tatapan menolak dari Bu Sarah, pembimbing akademik Anzel, tapi tetap saja itu tidak mengubah keadaan.

“Ehem” Deheman wakil kepala sekolah memutus suasana tegang disana. Bu Sri yang awalnya bermuka masam, kini langsung tersenyum rekah saat melihat sosok Pradipa Jauhar di depan pintu.

Anzel tiba-tiba tersenyum saat melihat eksistensi dari lelaki itu.

“Aduhh, Pak Pradipa sudah mau pamit, ya? Maaf ya Pak kalau tadi sedikit ramai. Biasa, anak baru harus didisiplinkan” Bu Sri tersenyum.

“Oh iya Bu, tidak apa-apa. Tadi saya hanya tidak sengaja lewat. Kalau begitu mari, Bu.” Pradip tersenyum hormat sembari melangkahkan kakinya menjauh dari ruangan itu. Meninggalkan Anzel yang matanya tak lepas membidik tubuh tegap Pradip.

Oh ayolah, ini kesalahannya. Tak seharusnya ia menaruh harap, apalagi pada Pradip. Bodoh kamu, Anzel! Seharusnya kamu yang paling tahu kalau ayah datang bukan untukmu.

Ayah? Ntahlah, masihkah Anzel harus memanggil Pradip sebagai Ayah? Nyatanya Pradip tak pernah sekalipun menjadi Ayah yang sebenarnya untuk Anzel. Anak itu menunduk, mencoba meredam rasa luka akibat harapannya sendiri. Dia kan sudah terbiasa, harusnya ini tidak akan sakit, kan? Tapi kenapa hatinya masih sangat sakit mendapat perlakuan seperti ini.

“Kamu lihat tadi? Beliau salah satu pengusaha tersohor di negara ini. Tapi beliau masih menyempatkan diri untuk rapat mengenai perkembangan putranya. Bilang ke orangtuamu, contoh beliau.”

—————— Sea