[Anzel dan Teman Lama]

“Bisa saya bicara dengan wali pasien?” Seorang lelaki bersnelli berucap, keluar dari pintu rawat Anzel.

“Joe?” Pradip bergumam kala netranya menatap lelaki yang tak asing di depannya.

“Pradip? Rosie? Orang tua pasien?” Lelaki yang dipanggil Joe itu memastikan apa yang ada di depannya.

“Gimana anakku, Joe?” Rosie memutus keheranan Jonathan.

“Luka dikepalanya hanya benturan biasa dan tadi sudah dijahit. Tetapi..” Joe nampak sedikit berpikir.

“Maaf, apakah Anzello ada gangguan kejiwaan?” Joe bertanya dengan hati-hati, membuat Pradip tertegun.

“Apa maksudmu? Anak itu gak—“

“Iya. Sudah dua tahun ini dia menemui psikiater akibat gangguan PTSD.” Rosaeline menjawab pertanyaan Jonathan. Nampak kesenduan diwajah ayu itu.

“Begini Ros, dari rekaman medis pasien, sebelumnya Anzel memiliki riwayat asma, kan? Sayangnya, dari hasil pemeriksaan yang telah dijalankan, sepertinya ada penyempitan jalur napas pada Anzello. Ini memungkinkan pasien akan lebih sering sesak napas, apalagi mengingat pasien mengalami PTSD. Saran saya sebagai dokter, tolong pantau dan perhatikan gaya hidup Anzello. Jangan biarkan dia memikirkan sesuatu terlalu berat yang dapat memicu stress, serta saya sarankan untuk tetap lanjut konsultasi dengan psikiaternya.”

Jonathan berkata panjang lebar. Sedangkan Rosaeline dan Pradip terdiam.

“Thanks, Joe.” Rosaeline berucap pelan.

“It’s okay. Kalian mau ngopi dulu ke kantin? Anzello kemungkinan akan bangun besok karena pengaruh obat penenang.”

“Joe…” Pradip menyahuti ajakan Jonathan.

“Jangan berpura-pura seolah lo gak lihat apapun disini. Gue sama Rosie—“

“Gak perlu menjelaskan. Itu hidup kalian.” Jonathan berkata dengan datar.

“Jangan cerita apapun tentang Anzello ke Diana. Dia selama ini udah cukup tersakiti dengan tidak dapatnya restu dari orangtua gue. Gue balik dulu. Thanks.” Pradip berlalu usai mengucapkan kalimat yang membuat kedua orang disana membisu.

Sedikit lama Jonathan memandang Rosaeline yang sampai kini matanya masih mengikuti langkah Pradip dengan tatapan sendu.

“Lo okay?” Jonathan bertanya pelan.

Rosaeline tersenyum, tetapi satu tetes dari ujung kelopaknya berhasil meluruh.

“As you see. Bahkan sampai sekarang, sampai dimana gue jadi istri sahnya pun, gue selalu kalah sama Diana. Tujuh belas tahun juga bukan waktu yang mudah bagi gue buat mempertahankan hubungan ini. Gue udah berusaha bikin Pradip at least ngehargain eksistensi dari anak-anak gue. Tapi, nyatanya susah banget Jo. Gue sampai mikir, butuh berapa lama lagi sampai lelaki brengsek itu bisa lihat kalau disini ada gue sama Anzel.”

——- Sea