[Never]

Anzel menatap dinding putih disekelilingnya. Suasana nampak sunyi dan senyap padahal diluar matahari sudah mulai bersinar.

Sepi. Kesepian yang selalu merayapi hatinya dua tahun belakangan ini nyatanya tak membuat ia terbiasa. Dulu, diwaktu sehat maupun sakit, Anzel pasti masih selalu bisa tertawa akibat melihat jiplakannya dengan segala tingkal laku anak itu. Jaziel, separuh jiwa yang telah menemaninya selama tiga belas tahun. Kepergian Jaziel secara tiba-tiba pun tak pernah sekalipun terlintas dalam pikiran Anzel. Jaziel telah menemaninya sangat lama, sampai ia berpikir bahwa Jaziel akan selalu membersamainya untuk selamanya. Namun kenyataannya, anak itu sudah pergi, menyisakan luka besar yang selalu menganga dalam diri Anzel.

“Sudah bangun? Jangan terlalu sering melamun.” Dokter berperawakan gagah itupun tersenyum sembari menjentikkan tangannya di depan mata Anzel.

“Masih pusing? Atau ada yang sakit?” Anzel hanya menggeleng lemah. Sebisa mungkin ia tarik bibirnya untuk tersenyum meskipun sangat tipis.

“Saturasi oksigen kamu sudah membaik. Ini nasalnya saya lepas ya.” Ucap dokter itu lagi sembari melepas alat bantu bernapas milik Anzel.

“Mau minum? Sini saya bantu” Dokter itu kembali berucap sembari melancarkan aksinya. Anzel yang memang kehausan menerima bantuan minun itu dengan perasaan hangat.

“Makasih dok” Anzel tersenyum lemah.

“Sama-sama. Panggil saya Joe. Saya teman orangtuamu. Oh iya, baru saja bunda kamu saya minta pulang. Kasian, dari semalam bunda kamu menangis disini.” Jonathan tersenyum hangat sembari menata surai Anzel.

“Bunda?” Anzel kembali bertanya. Ia terkejut. Sejujurnya, ia tak percaya apakah dokter di depannya ini mengatakan kebenaran atau hanya mengatakan penghiburan.

Ntahlah, orang tuanya dan kasih sayang adalah dua hal yang nampaknya bertolak belakang.

Krieet

Pintu terbuka menampakkan Pradip yang telah berpakaian rapi.

“Karena ayahmu sudah datang, saya pamit ya. Semoga lekas sembuh, Jagoan.” Jonathan tersenyum sembari mengusap pelan kepala Anzel, membuat anak itu tersenyum. Apakah ini kehangatan yang biasa anak lain dapatkan?

“Ekhmm” Suara batuk Pradip menginterupsi pemikiran Anzel. Pradip menarik kursi di sebelah ranjang Anzel, menatap lamat wajah layu dan kuyu itu.

Anzel sedikit tersenyum sebisanya untuk membalas kehadiran sang ayah. Matanya menjelajah setiap inchi dari garis wajah sang ayah, oh beginikah wajah sempurna sang ayah jika dilihat dari dekat?

“Kamu… “ Suara Pradip mengambang memberi jeda.

“Sudah tahu?”

“Tahu apa?” Anzel bertanya dengan lemah.

“Bahwa saya tidak pernah mencintai ibumu. Bahwa kamu… lahir dari wanita yang tidak saya inginkan.”

Ada hati yang tiba-tiba menjadi patah berkeping-keping usai Pradip mengatakan itu. Anzel kira, kejujuran ayahnya tidak akan memberikan efek apapun, toh sudah dari dulu ia mengetahui kebenaran ini. Tapi nyatanya, rasanya tetap sama. Tetap sangat menyakitkan seperti waktu Rosaeline membuka rahasia ayahnya.

“Kamu sudah tahu juga kan jika Liam dan Hanan, teman kamu, itu putra saya? Putra dari wanita yang sangat saya cintai.”

Anzel masih terdiam. Lidahnya kelu untuk mengatakan sepatah katapun.

“Kebenaran ini, jangan sampai Liam dan Hanan tahu. Saya tidak mau mereka tersakiti dengan keberanan yang menjijikkan ini. Jadi tolong, jika ada berita apapun tentang kita, berusahalah seakan kamu tidak mengerti apapun.” Pradip berkata dengan lugas. Sejujurnya, ia sendiri tidak cukup yakin untuk mengatakan ini. Hanya saja, Ia takut kalau berita di media massa akan membawa kabar buruk bagi kesehatan putra bungsunya, Hanan Pradipa.

Dirasa selesai dengan urusannya, Pradip beranjak berdiri tanpa pamit kepada Anzel. Sebelum lelaki itu melewati pintu, sebuah suara parau menghentikan langkahnya.

“Apa … ayah juga tidak pernah menginginkan aku menjadi putra ayah? Apa karena Anzel dan Jazel lahir dari wanita yang tidak ayah inginkan, lantas membuat ayah tidak menginginkan kami juga? Lantas, mengapa ayah harus membuat kami lahir?”

———- Sea